Purwokerto-WAWASANews.com
Persiapan: KSIK sebelum ke Gunung Tugel (Foto: WAWASANews.com/Aan Herdiana) |
Kelompok Studi Islam dan Kemasyarakatan
(KSIK) STAIN Purwokerto menggelar pendidikan dan pelatihan kepada 25 anggota
baru, Jum’at hingga Minggu (22-24/2), di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gunung
Tugel, Kelurahan Kedung Randu, Kecamatan Patikraja, Banyumas.
Sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
yang konsen di bidang kemasyarakatan, KSIK mengajak para peserta menumbuhkan
sifat dan sikap kritis terhadap masalah-masalah sosial. Mereka harus mampu
menyusun gambaran lengkap tentang masalah sosial setelah melakukan analisis
terlebih dahulu.
”Setelah dilakukan pembekalan, peserta
turun ke lapangan, mengaplikasikan teori yang sudah didapat untuk mengetahui
masalah apa yang ada di masyarakat. Ini modal awal yang harus dipunyai kader
KSIK,” jelas Rani Zuhriah, ketua KSIK.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gunung
Tugel dipilih KSIK karena selain menarik untuk dijadikan objeka kajian
peserta, lokasinya lumayan dekat. TPA yang didirikan pemerintah setempat pada
1987 itu terletak di Selatan Kota Purwokerto yang berbatasan langsung dengan
Kecamatan Patikraja, Banyumas.
Sekilas tentang Gunung Tugel, mulanya
sempat diprotes warga setempat ketika dijadikan TPA. Tapi, lambat laun setelah
mengetahui sampah bisa jadi rupiah, mayoritas warga di sekitar Gunung Tugel
malahan menjadikan pemulung sampah jadi profesi utama.
Nilem misalnya, ibu dua belas anak satu
dari sekian banyak pemulung asli warga Gunung Tugel ini, yang bekerja di TPA
dari pukul 09.00 pagi sampai pukul 12.30. mengaku mendapatkan penghasilan Rp.
50 ribu per minggu. Ada yang bisa rata-rata mendapatkan 100 ribuan ke atas per
minggunya, tergantung usia dan cuaca.
“Jika musim hujan, harga sampah
perkilonya lebih rendah dibandingkan harga pada musim kemarau. Musim hujan
sampah akan basah dan mempengaruhi berat sampah, khususnya pada sampah
plastik,” kata Nilem.
Karena berada di tempat yang bau, dalam
pengamatan KSIK, banyak warga yang tidak terlalu peduli kesehatan. Buang hajat
di ladang atau di kebun samping rumah, sudah jadi pemandangan yang lumrah.
Bahkan ada yang memakan makanan yang ditemukan dari sampah yang baru turun dari
truk.
Bila warga Gunung Tugel menyebut sampah
sebagai berkah, namun tidak untuk warga desa tetangga. Hal berbeda, tampak di
desa sebelah.
Wawan, salah satu peserta KSIK yang
terjun ke lapangan menyatakan banyak warga desa tetangga terganggu dengan bau
busuk yang dihasilkan dari sampah di Gunung Tugel. ”Selain bau yang tidak
sedap, limbah dari sampah pun merusak tanaman padi mereka,” jelas Wawan di
Ruang Kelas AI Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto, memaparkan hasil
pengamatannya di lapangan.
Dalam pengamatan WAWASANews,
warga juga merasakan dampak sampah yang belum dikelola baik itu. Menurut salah
satu warga, Mardjito, sumur di desanya sering bau. Ia mengatakan, satu-satunya
sumur yang airnya jernih untuk kebutuhan memasak dan air minuman ada di desa
seberang yang lumayan jauh jaraknya. Untuk memenuhi kebutuhan air, Mardjito
terpaksa membuat sumur sendiri. “Tapi itu lho mas, airnya itu bau, dan juga
warna airnya seperti air kapur,“ katanya.
Menyikapi hal ini, pemerintah, yang
diwakili Unit Dinas Kebersihan setempat mengatakan selama ini sampah memang
belum dikelola dengan baik. Belum adanya pemisahan antara sampah organik dan
non organik menjadi kendala utama. Selama ini, pengolahan sampah hanya
menggunakan sistem open dumping saja yang menyebabkan tumpukan sampah
makin tinggi, dan bau yang sangat menyengat. (Aan)