Puisi
Ziarah Tanah Adam
I
Pada
setiap yang tumbuh
Nyalang
mata bertemu
Kelopak
sunyi mekar ditakar
Lalu
di tepinya terbakar
Di
sebidang dada hampa
Sirna
menjadi abu dunia
Menyulap
buah-buahan kehidupan
Di
hamparan belantara kerinduan
II
Segenggam
tanah merah
Bertakdir
mengalirkan air
Sungai,
laut dan samudra
Angin
bersiul di udara
Mencipta
irama resah
Membagi
nafas dan darah
Iyalah
perdebatan naluri
Patah
di sayap para malaikat
Dan
Adam hanyut dalam hasratnya
Segalanya
bertahta di kehidupan
Yang
kering kerontang
Di
sana yang tersembunyi
Rahasia
pecah menjadi bumi
Sunyi
menamakan nada
Dengan
cinta
III
Dalam
kemelut terdalam
Segala
yang redup
Tumpah
ruah
Yogyakarta,
2011-2012
Cincin Warisan
Gelisah
menyala darahmu
Membakar
kata-kata pecah berserakan
Kalimat
kesumat tak beralamat
Melumat
isyarat waktu
Merenggut
batu suci bermata seribu mantra
Yang
kau agungkan bersama karma ke karma
Pada
hidup yang hitam legam
Di
jalan-jalan kembara
Dengarlah
sejauh lengking suara memantul
Yang
terlampau parau dalam jerit ketakutan
Suara
itu menceritakan kenangan, harapan, impian
Dan
masa depan yang kau ikrarkan di pekarangan
Rumah-rumah
tua warisan nenek moyang
Semerbak
mayang menyeruak
Di
sudut-sudut udara dan alam yang terserak
Yogyakarta,
Januari 2011
Usia Memelukku
Begitulah
usia disebutkan pada setiap kehidupan
Sejak
musyawarah langit melahirkan bumi
Mengisi
kekosongan sepi yang tak bernama
Tak
berangka tanpa muslihat dan tipudaya
Sebab
ketiadaan yang ada menggenggam rahasia
Bumi
menjadi sandi-sandi sederhana yang tiada
Yang
meruang-mewaktu dengan nama-nama
Dengan
angka yang menyusun rangka dunia
Dengan
rangka-rangka langka di muka bumi
Manusia
berjalan atas nama rahasia kehidupan
Sejak
matahari naik dari kaki sang timur
Sampai
petang mengantar malam bagi lelah
Mimpi-mimpi bertamu
Sunyi sepi membawa gaduh
Biar gelap, rembulan juga cahaya
Sebut saja temaram mendekat
Merambati dahan-dahan malam
Di kedalaman sujud
Ke palung sang wujud
Kehidupan
mengalir sepanjang malam
Menderas
di dada siang
Menyatu
dengan rahasia
Yang
belum diberi nama pada kepulangan
Kutub, 2012
Kau Tarik Tanganku Ke Keningmu
Kuayun Tanganmu Ke Bibirku
Daun
bambu di tepi sungai itu
Masih
melambai dilepas setitik gerimis
Angin
cemas di ujung kukumu
Memuai
cemburu dalam selimut
Padahal
malam belum tuntas
Menetaskan
percikan rembulan
Dan
sungai masih keruh
Aku
merasa ada api di tidurku
Yogyakarta,
Mei 2012
Meja 25 Blandongan Malam
Biarlah
malam yang datang sendirian
Mengulur
bingar suara sampai batas mimpi
Di
meja-meja panjang ini kegalauan senantiasa
Terhampar
membujur pertengkaran mata
Tetapi
bagaimana malam sekental dedak kopi
Orang-orang
datang membawa semeja resah
Orang-orang
pergi meninggalkan sekursi gelisah
Dan
malam tetaplah sendirian menepi di baris pikiran
Merekat
tipis di pelipis yang cacat
Mari
tenangkan segelas bualan di sini
Lepakan
sejenak sepiring cinta dan perempuan
Kecantikan
politik lebih menegangkan dan
Segenggam
rupiah betapa sangat merangsang
Mari
bersiap-siap sebelum malam pecah dua
Sebelum
kantuk membekukan keadaan
Sebab
pagi nanti, matahari masih akan terbit
Dari
ufuk yang sama dengan segala buaiannya
Blandongan,
30 Mei 2012
Selendang Sulaiman, Lahir di
Pajhagungan, Madura 1989. Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab
dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisinya dimuat di berbagai
Media Massa; Seputar
Indonesia, Suara Karya, Minggu Pagi, Merapi, Joglosemar, Metro
Riau, Harian Lahat, Majalah Literasia, Majalah Frasa, Jurnal Maddana, Dan
beberapa antologi bersama; Mazhab Kutub
(PuJa 2010), 50 Penyair Membaca Jogja;
Suluk Mataram (Great Publisher 2011), Bima
Membara (HMP 2012), Presidin Untuk
Presidenku (SP 2012), Jembatan
Sejadah (SP 2012), Jatuh Cinta Pada
Palestina (Umahaju 2012), Satu Kata
Istimewa (Ombak 2012). Bergiat di Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta.