Puisi
Kepulangan
Lain
apakah
kepergianku akan
membawa kedatanganku
juga?
sewaktu badai, angin, dan ombak mengantarkan
diriku
ke dermaga kenyataan yang sebenarnya tak nyata
bagi kenyataanku yang hampa
kenangan menjadi remang-remang
hanya menjadi kata-kata using
di mana matahari berulangkali menanam
benih cahayanya
menumbuhkan kembali senja
di bibirnya
mengembalikan ingatan tentang
pelayaran panjang
menuju kepulangan lain, setiap kali sentuhan dingin
dan teriakan camar dari seberang
menerpa layar perahu mimpiku yang
oleng
seperti merangkaki bukit-bukit
berbatu, terjal penuh liku
hutan-hutan liar pikiran harimau, mengaum,
menyeret usia yang rumpang
antara batas pengasingan dan jejak
pengembaraan
seketika hadir seperti angin
yang mengubur wasiat hidup
yang hanya mengulang cerita duka
2010
Ode Yang Tertinggal
-ayah
kesendirian
adalah batu
batu-batu
menjadi diriku
terlempar
jauh aku
membentur
kenakalan
menyumbat
aliran comberan tetangga
sampai
genangan tangisan beraroma kebencian
ayah
yang tak tabah mendengar jeritan
dari
sobekan gendongan
yang
telah menancap duri-duri jeruk
terlempar
jauh aku di pemakaman yang lengang
di sanalah malam menjadi teman
paling siang
-nenek
darah yang kau semburkan dari mulut tersumpal sirih,
kapur dan sekerat pinang tua
yang kau ambil sendiri dari pohon doa suci
meski dinding semerah saga
memercik pada kaki bergetar
yang tak kuat lagi memelukmu
walau hanya bayang-bayang saja
-kakek
tidurmu akan menemukan mimpi
yang telah lama menunggu
sewaktu
siang kembali berharap malam
untuk
menangkap batu-batu naga
yang
telah lepas dari tangan rahasia
kebisingan
kembali tumbang
oleh
derap langkah para penghamba
datang
mengadukan bulan padam
merangkaki
tangga-tangga dalam
mendekap
tubuh sampai runtuh
atap
langit terkuak pasrah
segerombolan
angin meliuk-liuk
menyeret
asap kegaiban
pada matamu yang terbuta lebar
melihat arah ketersesatan cahaya
lalu
kau hidup di pusat kegelapan
keteduhan
tak pernah kau temui
melempar
siang menjadi malam
sampai
tubuh terhempas ke langit
menjadi
gerimis
menusuk
padang kata
hingga tumbuh
benih impian
merengkuh
jiwa
yang
telah lama tiada
meski
batu-batu duka pergi
namun
selalu kembali
-kakak
telah
kau akhiri dibatas waktu yang telah tiba
kau
pergi membawa bulan
tidur
setenang wajah malam
melupakan
terik matahari
menaruh
terik abu-abu jasad terbakar
oleh peristiwa sisa usia
dan nama-nama hari yang berbeda
semoga
engkau
setenang
senyu takbir
membalut
doa-doa cucu
ayat-ayat
suci meliliti pusara
yang
terbujur kaku ditengah sepi
2011
Kepulangan
terang
menghantui
lorong panjang
menjadi
santapan tangisan
bagi
para pengecut yang takut
pada
dirinya yang tak ingin pulang
sebelum
dosa-dosa
menjadi
benda-benda menjijikkan
sebab
surga terlampau busuk
bagi
si miskin
yang
tak pernah memahami
makna
kekalahan
sebab
jalan yang kau lalui
bukan
langit dan bumi
melainkan
raungan hati
yang
terus membuntuti
sepanjang
kemesraan
menguar
rasa pahit
usia
seliar ular bersemayam
dalam
titik tanya
memaksa
rasa meresap
kedalam
pori-pori bahasa
impian
berkelebatan
mencari
semak-semak impian
ketika
bulan remang
di
sungai-sungai wanita
menari-nari
seirama
hentakan kaki
berulang
kali menerbangkan debu
dari
ketulusan padang dada
2011
Malam Birahi
harum
bunga percumbuan
semakin
merasuki otak bergentayangan
bersama
segerombolan nafas panjang
menarik-narik
jantung
seperti
serigala merangkak
mengusung
nasib buruk
meski
berulangkali menelan sepi
tubuh
menyala-nyala
membuka
kebisuan tirai asmara
kehangatan
kembali telanjang
mencipta
bunga-bunga darah bermekaran
menyalakan
menara hati di ujung dingin
menusuk
mata yang begitu nyata
memandang
kenyataan yang begitu hampa
sampai
teriakan seperti langkah kabut
menyembunyikan
rahasia kesenyapan
yang
begitu runcing menusuk dusta
teriakan
kembali
lenyap dalam ketakutan
sampai
segalanya menjauh
dari
tangan-tangan besi
kesakitan
meloncat-loncat
bergegas
pergi
benda-benda
seolah hantu
yang
semakin nampak
dalam
kemurungan puisi
bergumam
tentang kutukan
lewat
celah jendela yang terus terbuka
mengintip
kegelapan
2011
Akulah Anjing
Itu
:ditya manggala
kita tak bosan-bosan memaki-maki masa lalu
sebab semuanya tak lagi berarti
selain hanya menjadi ribuan igauan
dalam kamar lembab, bau puntung dan denting
rahasia hidup
malamkian khusyuk memetik senar-senar rahasia
dari segumpal hasrat sepanjang persinggahan
yang terus membaca keadaan:
betapa sakit mendengar gonggongan anjing
melebihi anjing itu sendiri
anjing yang lahir dari mulutku sendiri
setiap
kali keriuhan keakraban mendorongku
untuk
selalu mengucapkan pada siapa saja
juga
pada dirimu yang kini melahirkan diriku kembali
menjadi
manusia seutuhnya
2010
Jufri Zaituna, lahir
di Sumenep, Madura, 15 Juli
1987.
Puisi puisinya dimuat di Majalah Sastra
Horison, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Minggu Pagi, Merapi, Seputar Indonesia,
Suara Pembaruan, Jurnal Sajak, Suara Merdeka, Radar Madura, Kuntum, Muara,
Bakti, Sumut Pos, dan beberapa antologi bersama: Ya Sin (PBS,
2006), Merpati Jingga (PBS, 2007),
Annuqayah dalam Puisi (BPA,
2009), dan Mazhab Kutub (
Pustaka Pujangga, 2010), kumpulan cerpen pilihan
koran Minggu Pagi Tiga Peluru (Trataq
Media,
2010), Penganten Tamana Sare (Bawah
Pohon,
2011), dan Antologi Puisi Suluk Mataram:
50
Penyair Membaca Yogya, (GREAT Publishing, 2012).