Esai
Oleh Ahmad Syauqi Sumbawi
Sumber: sangterasing.wordpress.com |
Memandang
wajah Indonesia dewasa ini lebih dalam, maka satu permasalahan terbesar yang
muncul sebagai penyebab utama tersendatnya kemajuan bangsa ini adalah korupsi. Dalam
kategorinya white collar crime, atau yang umumnya melibatkan kalangan elite
politik dan pemerintahan, korupsi mengakibatkan berbagai kebijakan dan proses
pembangunan menjadi tidak optimal, setengah-setengah serta menampilkan wajah
ganda, yaitu kepentingan bangsa dan negara di satu sisi, serta kepentingan
pribadi atau golongan di sisi yang lain. Kendati demikian, tetap saja mengarah
pada muara yang sama, yaitu keuntungan untuk kalangan tertentu.
Oknum,
demikian sebutan untuk para koruptor, tidak lain merupakan sebuah “alibi” bagi
kalangan elite tersebut. Istilah oknum menunjuk pada keberadaan tanpa identitas
dan jatidiri. Karena itu tidak bisa disebut sebagai cerminan dari para elite
lembaga atau instansi tertentu. Apalagi mewakili rakyat. Kecuali keberadaan tanpa
rasa malu, salah, dan dosa. Dari semua itu, yang perlu disadari bersama bahwa
mereka inilah yang menduduki posisi penting dalam lembaga-lembaga negara, baik
pusat maupun daerah. Dengan leluasanya para oknum ini membuat “proyek-proyek siluman”
yang diselusupkan ke dalam berbagai agenda kebijakan pemerintah. Hingga
kebenaran datang membongkar kebusukan yang disembunyikannya tersebut.
Tidak
ada jaminan bahwa ulah oknum di atas akan berhenti. Media massa memberitahukan
kepada masyarakat bahwa mereka—para oknum—yang dulunya berbicara “stop korupsi!”
atau “katakan tidak pada korupsi!”, malah terbukti melakukan korupsi. Begitu
pula, tak ada jaminan korupsi tidak akan terulang lagi. Lantas di mana supremasi
dan fungsi hukum di negeri ini?
Semua
sepakat bahwa peranan hukum sangat besar dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
Hukum akan melahirkan rasa aman dan hidup yang berkeadilan. Dengan syarat, hukum
harus ditegakkan di atas pondasi kebenaran dan keadilan kepada seluruh anggota
masyarakat. Sayangnya, kecenderungan yang terjadi memperlihatkan sebuah anomali,
bahwa uang dan kekuasaan lebih mengendalikan hukum daripada kebenaran dan
keadilan itu sendiri. Secara laten, uang mempengaruhi proses hukum yang
dilakukan oleh para penegak hukum. Lagi-lagi yang muncul di balik segala
permasalahan ini adalah oknum.
Kalau
demikian, siapa lagi yang dapat dipercaya?! Kalangan elite politik dan
pemerintahan serta penegak hukum, kemungkinan semuanya bisa saja bermetamorfosa
menjadi oknum. Karena munculnya oknum tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi,
baik terkait dengan jabatan, peluang, dan sebagainya. Kita optimis bahwa di
antara mereka masih ada yang bertahan dengan keyakinan, kebenaran, dan
keadilan. Sayangnya, sulit sekali mencari kalangan yang demikian itu dewasa
ini, dimana kebenaran kerap terkucil dalam kehidupan manusia yang materialistis.
Lantas
bagaimana dengan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini? Apakah kita bisa
berharap pada proses penegakan hukum, dimana para oknum masih terlibat di
dalamnya? Bagaimana pula nasib dari tujuan didirikannya negeri ini sebagaimana
dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945, kalau korupsi mengakibatkan tersendatnya proses
pembangunan nasional? Pada kondisi inilah, peran masyarakat menjadi sangat krusial.
Korupsi yang dikategorikan extra ordinary crime, menunjuk pemahamannya
sebagai tindak pidana “yang luar biasa”. Karena itu dibutuhkan kesatuan upaya
“yang luar biasa” pula, termasuk optimalisasi masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasannya.
Berkaitan
dengan hal di atas, Masyarakat Anti Korupsi merupakan konstruksi ideal dalam
konteks revitalisasi peran masyarakat tersebut, yang mensyaratkan adanya
kesadaran dan tanggungjawab dari seluruh anak bangsa. Terutama dengan menjadikan korupsi sebagai
musuh yang harus diberantas sebagai wujud implementasi Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam kehidupan sehari-hari. Komitmen ini menjadi
syarat mutlak, sekaligus entry point dalam upaya pencegahan dan
pemberantas korupsi yang berbasis partisipasi masyarakat.
Peran
masyarakat terkait korupsi dapat ditipologikan sebagai berikut, yaitu pertama,
peran dalam pencegahan, yang mengarah pada gerakan budaya anti korupsi. Pada
tataran praksis, implementasi nilai-nilai sosial dan secara keseluruhan relevan
merupakan fokus utama dalam pengembangan gerakan budaya ini. Karena itu, sosialisasi
dan intensifikasi nilai-nilai sosial masyarakat seperti beriman dan bertakwa
kepada Tuhan, kejujuran, taat hukum, dan tanggungjawab merupakan nilai-nilai
yang harus terus ditumbuhkembangkan secara sistematis dan berkesinambungan, baik
dalam lingkup informal, formal, maupun non-formal. Dalam proses ini,
optimalisasi peran para tokoh masyarakat, baik tokoh agama, tokoh pemerintah,
para penegak hukum, para pendidik, pemimpin organisasi masyarakat dan
sebagainya menjadi sangat vital terutama sebagai “lokomotif” dalam gerakan
budaya ini. Hal ini menjadi penting, terutama untuk meminimalisir lahirnya
pelbagai perilaku korupsi.
Langkah
strategis berikutnya, adalah “mitosisasi negatif” terhadap tindakan korupsi.
Mitosisasi ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat secara
rasional, etis, dan humanis, atas dampak negatif yang dimuntahkan oleh tindakan
korupsi. Untuk itu diperlukan adanya sistem perundangan yang secara konsisten
menempatkan korupsi pada kualifikasinya sebagai extra ordinary crime
dengan pemberian sanksi yang maksimal, dalam arti proporsional. Dengan
demikian, korupsi akan menjadi hal yang “menjijikkan” dan dijauhi oleh
masyarakat.
Gerakan
budaya lain dapat diproyeksikan melalui partisipasi masyarakat dalam Pemilihan
Umum, baik Presiden, Gubernur, Bupati, Legislatif pusat maupun daerah. Dalam
hal ini, gerakan budaya anti korupsi diarahkan pada penyaluran aspirasi
politik, terutama hak pilih, kepada calon-calon berkualitas yang memiliki
kredibilitas sebagai wakil-wakil rakyat dan pemegang tampuk pemerintahan. Untuk
itu, peran media massa diharapkan dapat memberikan informasi yang teruji
kebenarannya serta sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Kedua, peran dalam pemberantasan, yang secara umum mengarah pada
penegakan hukum. Pada tataran praksis, peran ini dilegitimasi oleh negara, melalui
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, di mana penjelasannya terdapat
dalam PP No. 71 Tahun 2000. Pada konteks ini, peran masyarakat secara spesifik
mengarah pada posisi, yaitu pemberi informasi tentang adanya dugaan terjadinya
tindak pidana korupsi dan pengawas dalam penyelesaian kasus-kasusnya.
Pemberian
informasi merupakan hak masyarakat, sesuai dengan mekanismenya, termasuk
menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan/atau Komisi
Pemberantasan Korupsi, yang tentunya harus dilakukan secara bertanggungjawab
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, investigasi eksternal
merupakan manifestasi konkrit dari peran masyarakat tersebut.
Peran
masyarakat sebagai pengawas mengarah pada upaya penegakan hukum dengan mengawal
kasus-kasus tersebut. Urgensi hal tersebut terutama berkaitan dengan stigma
yang menyebutkan bahwa pada umumnya tindak pidana korupsi melibatkan para elite
pemerintahan, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun para penegak
hukum. Karena menyangkut hegemoni kalangan elite tersebut, berbagai upaya
“mem-peti es-kan” kasus-kasus korupsi sangat dimungkinkan terjadi, bahkan
dihapuskan dari daftar pengaduan masyarakat. Demikian pula dengan usaha melemahkan
proses pemberantasannya. Karena itu, peran pengawasan masyarakat bersifat
dinamis, yakni sebagai kekuatan sosial yang mengembalikan proses penegakan
hukum pada tatarannya yang ideal, serta penguatan komitmen bersama dan
mendorong pemberantasan korupsi secara massif, sebagai bentuk tanggungjawab
moral dan sosial dari seluruh komponen masyarakat.
Melalui
optimalisasi peran masyarakat di atas, diharapkan tidak akan ada muncul
oknum-oknum baru dari kalangan elite politik dan pemerintahan. Paling tidak
meminimalisir kemunculannya. Karena itu, harus ada optimisme dalam setiap diri
anak bangsa Indonesia.
Ahmad Syauqi Sumbawi, Warganegara Indonesia.