Oleh Hendra Sugiantoro
Jagat politik terasa hingar-bingar
setelah seorang politisi teras berinisial AU ditetapkan sebagai tersangka
(22/2). Politisi itu disangkakan terlibat kasus korupsi proyek Hambalang dengan
pasal tuduhan gratifikasi. Pada hari penetapannya sebagai tersangka, muncul
dalam status BlackBerry Messenger-nya
kalimat yang menjadi judul tulisan ini. Sehari kemudian, orasinya dimaknai tak
sekadar pengunduran diri dari ketua umum partai yang sejak tahun 2010
dijabatnya. Publik, begitu pula media massa, memaknainya sebagai perlawanan.
Tak tanggung-tanggung, orasinya ditafsirkan sebagai perlawanan terhadap
penguasa puncak negeri ini.
Politisi AU diakui pandai memoles kata.
Kalimat Nabok Nyilih Tangan adalah
salah satu dari sekian kata-katanya yang tentu multitafsir. Kalimat itu justru
mengingatkan benak saya dengan kisah Ken Arok yang menduduki kekuasaan Tumapel
dari tangan Tunggul Ametung. Peristiwa itu pernah dikisahkan Pramoedya Ananta
Toer dalam roman Arok Dedes. “Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak
karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus
dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak
secukupnya dari peristiwa itu,” gores kalimat sastrawan kelahiran Blora,
Jawa Tengah, 6 Februari 1925 itu dalam romannya.
Entah seperti apa maksud AU, tulisan ini
tak bermaksud menguatkan persepsinya. Persepsi AU pun bisa keliru. Malah
mungkin AU juga (pernah) melakukan Nabok
Nyilih Tangan dalam perjalanan politiknya. Kita tak pernah tahu, sebab
membuktikannya tidak semudah mencabut sehelai rambut kepala. Benarkah Ken Arok nyilih tangan Kebo Ijo untuk menghabisi
Tunggul Ametung? Dalam jagat politik, seorang politisi bisa saja memainkan
peran Ken Arok dan Tunggul Ametung secara bergantian. Politik Nabok Nyilih Tangan—sadar atau
tidak—masih ada sampai kini.
Dalam prakata Arok Dedes, Pram menuturkan bahwa Arok memasuki Tumapel pada tahun
1220 M atau 1142 Saka. Hanya dalam dua bulan, ia telah menggulingkan Tunggul
Ametung. Pada tahun 1222 M atau 1144 Saka, hanya dalam dua tahun, ia telah
menggulingkan raja terkuat di Jawa, Sri Kertajaya. Menurut Pram, taktik-taktik
Arok itu telah dilakukan berulang kali. Sebut saja ketika Jayakatwang
menggulingkan Kretanegara. Pun, Raden Wijaya ketika menggulingkan dua musuh
sekaligus, yakni Jayakatwang dan balatentara Kubilai Khan. Bahkan, Arok sendiri
digulingkan oleh anak tirinya, Anusapati, lewat taktik itu (Pramoedya Ananta
Toer, Arok Dedes, Jakarta: Lentera
Dipantara, hlm. xii-xiii). Dalam peristiwa kenaikan Soeharto ke tampuk
kekuasaan, kerapkali juga dikaitkan dengan taktik model Ken Arok itu. Dari
sekian pendapat, ada yang berpendapat bahwa Soeharto nyilih tangan PKI.
Politik Nabok Nyilih Tangan tak melulu identik dengan kudeta atau perebutan
kekuasaan. Bisa saja politik seperti itu dilancarkan dengan cara-cara halus
demi menggenapkan misi dan tujuan politik. Pola dan tujuannya bisa berlainan.
Bagaimana pun, Nabok Nyilih Tangan
dalam dunia politik rumit terbukti. Asumsi lebih kentara ketimbang bukti sahih.
Pada dasarnya, Nabok Nyilih Tangan
sifatnya netral. Kita bisa melakukan hal itu untuk hal-hal positif, misalnya
kita nabok koruptor nyilih tangan KPK.
Hendra Sugiantoro,
pegiat Pena Profetik,
tinggal di Yogyakarta