Oleh Naufi lIstikhari Kr
Judul : Psikologi
Kematian 2: Menjemput Ajal dengan Optimisme
Penulis : Komaruddin
Hidayat
Penerbit : Noura
Books, Jakarta
Cetakan : 1, Januari
2013
Tebal : xxii + 211
halaman
Suatu hari seorang guru yang
dikenal bijak dan cerdas bertanya pada murid-muridnya. Hai anak-anak, apa yang
lebih dekat denganmu? Jawaban murid pun bermacam-macam dan asal-asalan.Sang guru
lalu menegaskan, bahwa yang paling dekat itu kematian.Sedangkan yang paling
jauh adalah waktu.Meski hanya semenit, tak mungkin diraih kembali waktu yang
telah lewat.
Begitulah Komaruddin Hidayat
memulai tulisannya pada bagian “Berdamai dengan Kematian”.Benar, tak ada yang
tahu pasti kapan kita akan mati. Kematian adalah misteri.Karena itu, masihkah
kita puas sekali mati sesudah itu tak berarti?Tentu tidak, kata Komaruddin
Hidayat.Sebab mati bukan akhir dari segalanya.Ia semacam transisi menuju
dimensi lain yang lebih nyata: akhirat.
Kematian tak perlu ditakuti.Bahkan
kematian harus direnungi, dimaknai dan dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari.Dengan
begitu, kita akan lebih hati-hati menjalani hidup. Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda: “Siapa yang sabar menerima sakit maka dikurangilah dosa-dosanya dan
ditambahlah tabungan amal kebajikannya, karena sesungguhnya sabar menerima
sakit sebelum meninggal merupakan penyucian diri. Sedangkan meninggal, ibarat
petani, adalah datangnya musim panen untuk mengetahui dan menikmati hasil
tanamannya.”(hlm. 134).
Orang banyak yang tidak
mengerti hakikat mati.Akibatnya, kekerasan, permusuhan, keserakahan dan hal-hal
merugikan lainnya terus dilakukan tanpa dosa.Orang boleh tidak percaya kepada
Tuhan atau atheis, tetapi siapa yang bisa menolak datangnya kematian?Maka,
seperti sabda Nabi, kematian seharusnya dipahami sebagai masa panen.
Paradigma semacam itu akan
mengantarkan kita pada kualitas hidup yang lebih bermakna. Apa yang bisa dipanen
jika selama masa cocok tanam kita tak pernah merawat bahkan cenderung
merusaknya tanpa sadar? Merenungi kematian memiliki efek-efek psikologis yang
dapat memperkecil keserakahan.
Komaruddin Hidayat menulis
renungan-renungan kematian berdasarkan kejadian-kejadian yang sering
terlupakan. Orang, pada akhirnya, akan mati—tapi dari situ, jarang yang tahu
apa yang berarti?Alpanya renungan kematian dalam keseharian kita dapat
menimbulkan keserakahan lebih dahsyat.
Di Yunani Kuno, terdapat Raja
Midas yang serakah. Saking serakahnya, ia memohon kepada Dewa agar tangannya
mampu mengubah sesuatu yang disentuhnya jadi emas. Dewa mengabulkan.Istana Raja
Midas berubah jadi emas dengan sekali sentuh.Suatu ketika, tanpa sadar ia
menyentuh istri yang dicintainya hingga berubahlah ia jadi patung emas. Raja
Midas bingung, dan akhirnya gila.
Komaruddin Hidayat
menggambarkan sosok Raja Midas serakah, dan yang pasti, dia lupa mati.Padahal,
kisah kematian memiliki makna spiritual yang tak banyak orang kenal.Buku ini
cocok dibaca dan dijadikan renungan agar hidup lebih berarti.
Mahasiswa
Psikologi Fak. Ilmu Sosial & Humaniora
UIN
Yogyakarta.