Esai
Oleh Matroni Muserang
irman-syah.blogspot.com |
Mungkinkah romantisme sastra ditinggalkan?Pertanyaan ini
mungkin akan dianggap sepele, tidak filosofis dan tak penting untuk dijawab.
Tapi apakah kita pernah berpikir bahwa ada
sekian banyak persoalan yang menyerang kita mulai dari hal yang sifatnya
pribadi, komunal hingga akademik. Hal ini penting untuk
direnungkan bersama, terkait adanya romantisme yang kadang membuat diri kita
tidak mau berpikir dan ber-refleksi. Yang akhirnya membuat kita tenggelam di
kolam kenyamanan.
Bagi seorang sastrawan atau penyair,
merenung, refleksi, membaca dan menulis merupakan hal yang harus dilakukan.
Karena cara kerja penyair yang kreatif, emosional dalam membaca realitas,
harus dilihat kembali. Lalu bagaimana dengan sastrawan atau penyair yang
“eksentrik”, “urakan”, “susah diatur”, “semau aku” dan lainnya yang kemudian
banyak sastrawan muda lain “meniru” agar disebut sebagai sastrawan.
Kontekstualitas, kondisi, cara
berpikir, cara bersikap, cara bekerja dan pola hidup ini sudah saatnya kita baca
kembali atau harus kita telaah, agar generasi muda tidak terjebak oleh
pemahaman yang hanya ikut-ikutan. Mengapa mereka (sastrawan besar) bersikap
seperti itu? Apa yang menjadi alat mereka berpikir? Untuk menjawab ini kita
harus membaca historical context
penyair
waktu itu. Kalau pun kita membaca sejarah penyairnya, haruskah kita mengikuti
cara mereka bersikap? Tentu saja tidak, karena perbedaan kondisi dan konteksnya
pun sangat jauh berbeda.
Dalam hal ini, romantisme sejarah harus
kita jadikan jembatan cakrawala pengetahuan kita, agar pengetahuan tentang sejarah
tersebut tidak terulang, setidaknya penyair muda harus mampu menjadi dirinya
sendiri, membuat sejarah sendiri, dan membuat paradigma sendiri, karena kalau
tidak, jangan harap penyair muda akan memiliki pengaruh terhadap perubahan
bangsa dan kebudayaan. Indonesia punya Chairil Anwar, Rendra, Pramoedya, Umar
Kayam, Hamka, Emha, dan penyair sekaleber mereka, yang
mampu memberikan jawaban terhadap persoalan budaya, agama, politik dan pemikiran,
sehingga tidak heran kalau nama-nama itu masih harum.
Lalu mungkinkah romantisme sejarah
terjadi? Jawabannya bisa mungkin dalam ranah
cakrawala pembacaan teks, tapi dalam mengikuti, tidak mungkin.
Kita sebagai penyair mengikuti jejak
penyair-penyair lama seperti Chairil Anwar, Pramoedya, Rendra, di luar negeri
misalnya Picasso, Hemingway, Baudellaire, Mozart dan Riviere.
Realitas dan kondisi yang kita
hadapi sekarang berbeda. Kalau penyair ini mampu untuk menuliskan dengan
dahsyat, mengapa kita tidak? Ini sebuah tantangan besar
atau harapan penyair muda untuk menawarkan paradigma baru dalam menulis sastra,
agar sastra yang kita tulis tidak hanya berkutat di ranah cinta dan melankolia an
sich, yang akhirnya membuat penyair semakin cengeng dan tak
berdaya menghadapi gumpalan bom kapitalisme yang sudah merambat dan
menghancurkan segala bidang.
Melihat kondisi sekarang ini, kita
diseret ke ranah “ketakutan” yang akut. Karena banyaknya masyarakat yang bisa
dikata merayakan “kapitalisme diam-diam” adalah masalah kita
bersama, bukan hanya penyair. Akan tetapi
penyair memiliki andil yang cukup besar untuk melihat hal ini dari sisi lain.
Masyarakat kini membutuhkan jawaban,
membutuhkan penyadaran dan penyair memiliki tanggungjawab untuk memberikan jalan
dan tempat bermukim -kata Martin Heidegger-,
agar ketakutan ini hilang dari dalam jiwa-jiwa sosial. Karena sastra
merupakan sebuah karya yang agung dan memiliki cara untuk menyucikan
diri dari hal-hal yang membawa kita pada pembaruan rohani dan pelepasan diri
dari rasa takut.
Oleh karena itu, adanya
berita-berita yang kerap membuat kita “kebakaran jenggot” seperti: kemiskinan,
pembunuhan, pemerkosaan, dan bencana alam lainnya dalam koran akan terasa
lembut dan tercerahkan dengan adanya sastra dan budaya.
Dalam semua kondisi ini,
sastra menjadi penting untuk menyejukkan psikologi seseorang dalam menghadapi
hidup. Bagaimana pun sastra merupakan ladang di mana
orang menjadi kuat dalam berpikir, membaca dan merenung. Artinya,
ladang sastra merupakan sarana untuk selalu berpikir dalam mencari “diri” kita
yang diasingkan oleh kapitalisme sehingga kita lupa untuk pulang dan bermukim.
Refleksivitas
Ketika penyair disibukkan dengan
keseharian yang membuat lupa untuk menulis, lupa membaca dan lupa refleksi, maka
tidak heran kalau puisi yang dihasilkan pun tak memiliki roh, tak memiliki
magnet atau ketukan-ketukan ketika membaca puisinya. Anehnya,
kita masih bangga dengan ketidakadaan roh dalam karya. Yang
terjadi, berlomba-lomba membayar penerbit untuk menerbitkan
buku-bukunya, walaupun jauh dari kualitas.
Ukuran kualitas menurut Radhar Panca
Dahana adalah vitalitas organisasi. Baginya,
organisasi bukan saja tak terhindarkan, tetapi ia adalah sebuah realitas
natural dari kesenian. Tawaran ini sangat formal, tapi saya kurang sepaham.
Bagi saya, ukuran
kualitas sebuah karya bukan terletak di vitalitas organisasi, akan tetapi terletak
di sejauh mana ia
berproses, membaca, merenung dan ber-refleksi terhadap realitas yang hadir
dalam diri penyair.
Akhirnya penyair harus mencari keheningan
untuk bermukim, bertempat tinggal, karena keheningan merupakan tempat penyair melahirkan
karya yang bening dan murni yang lahir dari proses panjang dan
perenungan-perenungan luar biasa.
Jika penyair hanya mampu merayakan
romantisme, tanpa mampu membaca dengan utuh, maka penyair akan pergi, entah
mengapa atau ke mana sehingga terbenam dari realitas yang
sesungguhnya.
Dan refleksivitas adalah bukan tempat
untuk mengobati luka-luka penyair, akan tetapi mengungkap kedalaman yang
terlupakan akibat keresahan tanpa henti atau ketakbermukiman penyair dalam
melihat realitas yang begitu kompleks dan semu.
Matroni Muserang, penyair dan mahasiswa filsafat pasca-sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di Komunitas Rudal