Oleh Fachrudin Alfian L
Paus Benediktus XVI. Sumber: beritakawanua.com |
Pada tanggal 28 Februari
kemarin menjadi titik akhir dari dari kepimpinan Paus Benediktus XVI. Akhir bukan karena masanya sudah
habis atau karena di turunkan, tetapi akhir karena ia mengundurkan diri sendiri
dari jabatan kepausannya sejak dilantik pada 19 April 2005. Dengan alasan usia yang
sudah udzur dan kesehatan,
akhirnya dia rela melepas jubah kebesarannya untuk diserahkan kepada orang lain
yang lebih mampu.
Mundurnya Paus Benediktus XVI tentu mengharukan
bagi umat Katholik seluruh dunia. Seruan-seruan atau
petuah-petuahnya dalam setiap dia berpidato yang selalu membawa angin
kesejukan hati orang yang mendengarnya, mungkin kini sudah hilang karena ia
sudah tidak bertahta lagi sebagai orang nomor satu di hati setiap umat
katholik.
Ketika membaca sebuah koran harian,
saya mendapatkan sebuah artikel yang berjudul "Paus Benediktus XVI dan Islam". Di
dalam artikel tersebut, penulis coba ingin merekam jejak Paus Benediktus XVI dalam
hubungannya dengan dunia Islam.
Saya hanya ingin mengkritik
sedikit atas tulisan tersebut yang cenderung meletakkan paus benediktus XVI
seolah-olah sebagai juru pendamai dalam setiap konflik yang kerap terjadi di Timur Tengah tanpa dia mengetahui
sisi lain dari semua itu.
Kita memang tahu dalam
setiap kesempatan, terlebih dalam setiap perayaan Natal, Paus Benediktus XVI selalu
menyerukan harapan perdamaian kepada para pengikutnya, menyerukan dihentikan
perang di negeri-negeri yang menjadi
pusat konflik di dunia. Seperti sekarang ini, di Suriah.
Paus Benediktus menyerukan
dilangsungkan dialog, mulai dari Suriah sampai Nigeria Utara. Dia seolah-olah
membawa harapan kebersamaan dan kedamaian dalam hubungan Islam-Kristen, seperti kunjungannya
akhir tahun lalu ke
Lebanon yang disambut hangat
oleh kaum Sunni
dan Syi'ah. Dia juga sempat berdialog dengan para
tokoh-tokoh islam Lebanon
dan meyakinkan akan meningkatkan kerjasama umat Kristen dan umat Islam di kawasan Lebanon dan Timur Tengah.
Tapi apakah umat muslim saat
ini tidak menyadari bahwa seruan-seruan Paus
Benediktus XVI tentang
perdamaian atau yang lainnya itu seperti kaset musik yang diputar berulang-ulang
tanpa menghasilkan lagu yang bagus. Seruan perdamaian untuk segera menyudahi
konflik di timur tengah oleh Paus
Benediktus XVI ternyata
malah semakin meningkatkan gairah Barat
yang sedianya dimentori para pemimpin-pemimpin salib untuk terus melancarkan
agresi militernya.
Paus Benediktus XVI dalam salah satu pidatonya
pernah berkata "Semoga damai lahir di tanah kelahiran Yesus, menyerukan
diakhiri konflik antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung
bertahun-tahun," ungkapnya. Begitu mudahnya Paus mengatakan kata-kata
seperti itu, sementara di lain tempat,
Israel selalu dipasok
berbagai senjata pemusnah oleh negara Barat, memusnahkan umat Islam di Palestina. Seruan paus
benediktus XVI sepertinya tidak ada relevansinya di dalam dunia nyata jika para
pemimpin-pemimpin kaum Salib
di Barat
terus melebarkan sayap kekuasaanya menciptakan konflik di berbagai tempat.
Seperti yang kita lihat saat
ini, dalam realitasnya menunjukkan bahwa kata damai belum terbentuk dalam
pikiran Barat
dengan terus menerus melakukan invasi militer ke berbagai negara muslim. Seakan-akan barat ingin negara muslim
selalu terpuruk dan berusaha untuk mencegahnya bangkit kembali, salah satunya
dengan terus mengadu domba di kalangan umat islam dan tak pernah lelah mengukir
konflik.
Paus Benediktus XVI sangat geram
sekali ketika terjadi kekerasan di Mali
dan Nigeria
yang mengakibatkan jatuhnya warga Kristen,
tapi Paus
tidak pernah melihat betapa lama warga Mali
dan Nigeria
dijajah dan diperbudak oleh rezim Salib
Barat yang menyebabkan
kemelaratan dan kesengsaraan bagi kedua negara tersebut?
Paus benediktus XVI
seharusnya menyadari bahwa seruannya selama ini tentang perdamaian tidak mudah
untuk direalisasikan
meskipun berpuluh-puluh kali dia mengungkapakan itu.
Fachrudin Alfian L, mahasiswa Fak. Syariah & Hukum
UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta