Oleh Prito
Windiarto
Judul :
Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna
Pabichara
Tebal : 369 halaman
Penerbit : Noura
Books
Cetakan I : Mei 2012
“Hidup bagi orang miskin harus dijalani apa adanya.”
Petikan kalimat Dahlan Iskan menjadi pembuka novel karya
Khrisna Pabichara ini. Kalimat tersebut -dapat dikatakan- merupakan spirit novel
mega best seller ini. Nilai yang coba
diusung tentang rasa syukur atas apa yang diberikan Sang Maha Kausa.
Keterbatasan, kekurangan, kemiskinan selazimnya dijalani dengan lapang hati,
bukan kata menyerah atau rutukan, namun sebaliknya dilalui dengan “apa adanya”.
Apa adanya yang dimaksud adalah melakukan apa yang bisa dilakukan.
Novel karangan penulis asal Sulawesi Selatan ini diawali
kisah Dahlan Iskan yang sedang bersiap menjalani operasi liver untuk kali
keempat. Tiga operasi sebelumnya gagal, ini operasi yang menentukan. Sebelum
operasi, Dahlan Iskan dibius, ia tak sadarkan diri. Raganya diam, namun
angannya melayang menuju suatu masa, menyusuri kehidupan masa kecilnya dahulu.
Dahlan Iskan lahir di kampung Dalem, Kecamatan Takeran,
Kabupaten Magetan. Selepas SD ia ingin melanjutkan ke sekolah favorit, SMP
Magetan. Namun apa lacur, Bapak tak mengizinkan. Dengan berat hati Dahlan akhirnya
bersekolah di Pesantren Sabilul Muttaqin, Takeran.
Hari pertama, pulang sekolah Dahlan tersiksa, kakinya sakit
setelah melewati perjalanan cukup jauh. Kakinya lecet dan melepuh, sampai saat
itu belum sekali pun Dahlan merasakan bagaimana mengenakan sepatu.
Lama berselang Dahlan akhirnya tergabung bersama tim bola
voli MTs Takeran. Ia minder melihat teman-temannya yang lain memakai sepatu,
apalagi ketika melihat Imran memakai sepatu olahraga yang bagus berwarna putih.
Dahlan ingin bersepatu. Namun apa daya, keinginan itu harus dienyahkan
mengingat betapa perihnya kehidupan keluarga. Kemiskinan yang mendera membuatnya
harus memendam mimpi itu. Bagi keluarga Dahlan, uang untuk makan saja susah.
Puncak kesedihan terjadi ketika sang ibunda meninggal dunia.
Ia kehilangan teramat orang yang dikasihinya itu. Hidup harus dilanjutkan. Dahlan
harus kuat.
Selepas kabut kepedihan, sedikit demi sedikit, perlahan, cerah menghampiri. Tim bola voli
MTs Takeran menjadi perwakilan kecamatan untuk berlaga di kompetisi tingkat Kabupaten.
Lewat perjuangan keras, akhirnya tim voli MTs Takeran melaju ke babak final
melawan tim terkuat, SMP Magetan.
Beberapa hari sebelum partai final, ada peraturan baru yang
ditambahkan: semua pemain harus memakai sepatu. Peraturan itu tidak berlaku di
babak penyisihan. Hal tersebut membuat tim voli MTs Takeran uring-uringan.
Dahlan sebagai pemain penting di tim itu tidak punya sepatu. Akhirnya para
santri bahu membahu mengumpulkan dana guna membeli sepatu untuk Dahlan. Untunglah
ada seseorang yang mau menjual sepatu bekasnya dengan harga murah. Dalam partai
final bola voli itulah, Dahlan pertama kali memakai sepatu. Dada Dahlan
berguncang hebat. Ia bermain sebaik mungkin, sekuat tenaga. Dengan susah payah,
tim MTs Takeran akhirnya bisa mengalahkan tim SMP Magetan.
Selepas partai final nan mengesankan itu, kehidupan Dahlan
lebih cerah. Ia diminta menjadi pelatih tim bola voli PG Gorang Gareng. Ia
mendapat upah setiap kali melatih. Uang itu dikumpulkan demi membeli sepatu impiannya.
Novel Sepatu Dahlan mengajarkan banyak hal, perihal
pentingnya kegigihan, pantang mundur, rasa syukur. Novel ini cocok dibaca
siapapun yang ingin belajar memaknai hidup. Bahwa kesulitan, kepedihan,
kesedihan tak perlu diratapi, tapi dijalani “apa adanya” penuh syukur, dihiasi
kerja keras. Selamat Membaca!
Prito Windiarto, penikmat sastra. Penulis Novel Tiga Matahari