Esai
Oleh Arif Saifudin Yudistira
Kisah politik kita seperti tak lepas dari
kultur kekeluargaan yang pernah dianut oleh presiden di masa lampau. Tak hanya
Soekarno, Soeharto pun massif menggunakan konsepsi kekeluargaan dalam lingkungan
politik dan kenegaraan kita. Maka dengan
politik keluarga itulah, kekuasaan dijalankan dan disalahgunakan. Kita pun
mendapati kisah politik kekeluargaan dalam tubuh Partai Demokrat. Bila kita
melihat seolah-olah karena kemarahan Bapak (SBY), maka Partai Democrat selaku
anak yang dibesarkan pun mesti menurut dan mendengarkan “Apa Kata Bapak” (SBY).
Termasuk Anas Urbaningrum yang sampai sakit-sakitan atau
Ibas yang langsung mengundurkan diri dari DPR demi partainya.
Kisruh dan
kemelut Partai Demokrat belum usai. Publik dibuat bingung dengan masa depan
partai politik di negeri ini. Selain partai politik
hanya berkutat di tataran internal, prestasi mereka cukup tinggi dalam urusan
korupsi. Bila dahulu kita mendengar teriakan dan suara keras dari kedua partai
yang paling kencang mengkampanyekan anti korupsi dari Partai Demokrat dan
Partai Keadilan Sejahtera(PKS), maka kedua partai inilah yang saat ini menjadi
perbincangan publik gara-gara korupsi. Korupsi memang pelik dan ruwet bila
bersinggungan dengan perkara politik.
Korupsi justru
jadi kambing hitam kisruh di internal partai politik. Partai politik seolah lalai akan tugas
mereka. Buru-buru menutupi “borok“ mereka dengan penataan internal hingga
safari politik. Bila Partai Demokrat memilih pembenahan internal, kita justru
melihat PKS sibuk dengan dakwah politiknya ke daerah-daerah. Hal ini
mengesankan bahwa partai politik seperti lupa akan tujuan politiknya sendiri.
Kita patut
curiga bahwa lemahnya sistem kepartaian kita bukan melulu perkara korupsi. Ada
yang lebih mendasar yang menyebabkan partai politik jadi rapuh dan keropos. Persoalan
yang keropos dan rapuh itu adalah persoalan kepemimpinan. Barangkali kita patut
menilik logika kepemimpinan ala Islam atau ala Paus dalam agama Katolik. Dalam
kepemimpinan Islam kita mengenal konsepsi kepemimpinan abdillah (hamba Alloh), bahwa sesungguhnya kita ini adalah hamba.
Seorang yang mengalami laku benar-benar menghamba itulah yang akan diangkat
oleh Tuhan menjadi pemimpin.
Konsepsi
kepemimpinan ala Jawa sebenarnya tak jauh beda, memimpin itu mengabdi,
menghamba, dan menuruti apa kehendak yang dipimpin. Bila dalam Katolik kita
menerima kabar yang mengejutkan bahwa Paus mengundurkan diri karena belum bisa
menjadi hamba bagi hamba-hamba Tuhan.
Hilang
Logika kepemimpinan
politik yang menghamba inilah yang kini dianggap aneh, dan bahkan menyimpang.
Konsepsi kepemimpinan yang melayani, memberikan semua yang diberi untuk yang
dipimpin itulah yang kini jarang ditemui dalam pemerintahan kita. Jokowi
barangkali adalah sosok yang bisa jadi rujukan sosok menerapkan urusan
kepemimpinan itu menghamba. Memimpin itu menderita, mengutip Agus Salim.
Sedang dalam
konteks negeri kita, para pemimpin mestinya menjadi hamba rakyat, bukan
sebaliknya, hamba partai politik. Pemimpin yang tak menjadi hamba bagi yang
dipimpin itulah yang sebenarnya perlu dikasih peringatan dan kalau perlu,
dengan kemarahan. Anehnya SBY justru mengingatkan para menterinya setelah
mengingatkan partai-partainya. SBY mengingatkan Lapindo untuk segera melunasi
ganti rugi yang sampai sekarang belum beres. Ia mengatakan “Kalau main-main
dengan rakyat, dosanya dunia akhirat.“ (Kompas, 13/2/13).
Klise
Seruan ala SBY
di atas cenderung menjadi bumerang. Pasalnya, tanggungjawab perkara Lapindo
justru bila dikembalikan tak lepas dari faktor ketegasan presiden dalam
menyelesaikan pelbagai persoalan. Jangan dulu ribut mengurusi tahun politik.
Tahun politik semakin ambigu tatkala diartikan sebagai ajang pamer partai dan
mencari popularitas di mata rakyat.
Penyelesaian
kisruh di Partai Demokrat ini pun cenderung menambah benang ruwet, bukan
menyelesaikannya. Partai Demokrat terlihat lebih agresif bila mengurusi
kemerosotan popularitasnya, citra partai dan lain-lain. Bapak sedang marah,
tapi kemarahan itu tak ditangkap oleh anaknya. Bila bapak kita ibaratkan rakyat
kita, dan anak itu adalah Partai Demokrat saat ini. Kondisi itulah yang sedang
terjadi saat ini.
Bukan seperti
sebaliknya yang kita dengar selama ini. Bapak itu adalah SBY dan anak-anaknya
adalah para petinggi partai seperti Anas maupun Ibas. Mestinya setelah rakyat
marah, Ibas selaku wakil dari rakyat tetap fokus pada agenda-agenda kerakyatan,
bukan sebaliknya, mengurusi partainya dan mengundurkan diri. Berbeda dengan Anas, yang sakit tapi masih bekerja demi agenda-agenda
kepartaiannya.
Sikap Ibas dan
SBY justru mencerminkan partai mereka tak lebih dari partai massa, bukan partai
kader. Perjuangan yang didengung-dengungkan membela kepentingan rakyat justru sebaliknya
berbelok. Kisruh di Partai Demokrat ini mestinya menjadi pelajaran penting bagi
partai politik lain di negeri ini. Bahwa politik yang dibangun dengan adiluhung,
meminjam Amien Rais, mestinya tidak dikotori dengan persoalan-persoaloan
korupsi dan persoalan kekuasaan melulu.
Oleh karena
itu, menjadi pemimpin atau memasuki partai politik tak lebih daripada menjadi
sekadar hamba atau pelayan yang dengan penuh keberimanan dan penuh keikhlasan
menyerahkan dengan iklas harta, jiwa dan raga kita kepada rakyat kita. Bukan
sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh Ibas, yang justru mengundurkan diri
dari DPR, lembaga yang mewakili rakyat kita. Ternyata, meski bapak (rakyat)
sudah marah-marah, akhirnya tak didengarkan juga oleh anaknya yakni Partai Demokrat itu
sendiri dan partai-partai lainnya yang justru kisruh menghadapi pemilu 2014.
Rakyat (bapak, red.) memang lagi pusing dan naas kali ini.
Arif Saifudin
Yudistira,
mahasiswa Universitas
Muhammadiyah
Surakarta (UMS), pegiat di Bilik Literasi Solo