Cerpen
Oleh Fandy Hutari
“Konon…”
kata itu selalu meluncur pertama kali sebelum ibu mendongengkan legenda seorang
istri yang setia. Legenda Pantai Karang Nini, begitu judul dongeng Ibu yang
kerap beliau ceritakan sebelum aku lelap waktu kecil dulu. Di akhir ceritanya,
Ibu selalu menyampaikan pesan moral dongeng tersebut.
“Jadilah
istri yang setia kalau kamu dewasa dan sudah berumah tangga nanti…” ucapnya.
Walau
diulang-ulang, bagiku tak ada kata bosan untuk mendengarkan kisah dongeng
Legenda Pantai Karang Nini yang selalu diceritakan Ibu menjelang aku tertidur.
***
Empat tahun silam, aku masih aktif menjadi penari di atas panggung. Sebagai seorang
pekerja seni, aku melakukan pekerjaan itu secara profesional, total, dan konsisten. Hingga suatu waktu, selepas aku menari di atas pentas, ada seorang pria yang menghampiriku dan
menawarkan cintanya kepadaku. Dia bilang, takjub dan merasa tersihir oleh
tarianku di atas panggung. Dia bilang,
kerap memerhatikan setiap gerak-gerik tubuhku, lenggak-lenggoknya, kerlingan
mataku juga. Dia mengaku penonton setia kalau aku mentas.
Lalu, tanpa basa-basi, dia ingin
menikahiku. Hah, rasanya semacam habis tersambar kereta
saja. Jelas aku tak
langsung menerimanya. Aku mempersilakannya untuk mengenalku
dahulu sebelum ke jenjang yang lebih serius. Dia sepakat. Kami berkenalan selama kurang lebih tiga bulan. Selama itu pula banyak hal yang terjadi
dalam hidupku. Mas Kuss, begitulah aku memanggilnya, membawaku ke sebuah pertarungan keyakinan yang sangat
sensitif bagi mayoritas penduduk negeri ini: agama.
Suatu
hari, Mas Kuss nekat menyambangi rumahku. Dia hendak
melamarku. Malam itu, semestinya menjadi malam yang tenang dan membahagiakan.
Bulan purnama bulat menggelantung di langit, dihiasi bintang-gemintang yang
berkelip. Suasana malam yang romantis menurutku, tapi mendadak menjadi tegang
dan menyedihkan. Ibu menolak lamaran Mas Kuss. Ibu bilang, meski Mas Kuss punya usaha jual-beli mobil bekas, tapi
dia tak jelas
asal-usul keluarganya. Selain itu, dia seorang duda dan punya perbedaan
keyakinan dengan keluargaku.
Bapak cuma diam. Aku tahu, bahkan sangat tahu, diamnya
bapak tanda penolakan. Sikap diam bapak sudah kuketahui sejak kecil. Dulu,
sewaktu nilai raporku jeblok, bapak membisu saja selama beberapa hari. Ketika
aku cukup dewasa menentukan pilihan pendidikanku, bapak pun mematung selama berbulan-bulan saat tahu aku diterima di Jurusan Seni Tari.
“Mau
jadi apa kamu nanti? Kerja di mana? Mau mengamen di lampu merah?” komentar
bapak berbicara sendirian, tak sengaja kudengar saat mengobrol dengan ibu
perihal pilihan studiku. Mas Andri, kakakku satu-satunya pun ikut memberi nasihat.
“Kamu ikuti apa kata ibu dan bapak, dik. Kamu pasti mengerti, mereka itu bersikap begitu karena masa depan adik juga,” katanya. Sejak kecil, Mas
Andri adalah kakak sekaligus teman curhatku. Dia orang yang paling aku percaya
untuk membagi segalanya yang mengganjal di hati.
“Rasanya aku sudah terlalu sering mengalah, Mas. Aku mau bahagia bersama orang yang mencintaiku. Bersama pria pilihanku…” Mas
Andri diam, lalu mengangguk. Tanda dia mengalah pada
keinginanku. Seakan dia sudah tahu kalau adiknya keras kepala—jika sudah punya keinginan, tak ada satu orang pun yang
sanggup menghalangi.
Dia tahu adiknya yang dulu sering dilindunginya jika ada
orang yang mengganggu, kini sudah dewasa. Sudah bisa menentukan sikapnya sendiri.
Sudah bisa memilih jalan hidupnya
sendiri. Namun, sikap Mas
Andri tidak serta merta mengubah sikap Ibu dan Bapak. Ibu tetap pada pendiriannya, tak akan
pernah merestui pernikahanku dan Mas Kuss, karena kami beda agama, karena Mas Kuss statusnya duda, karena Mas Kuss tak jelas latar belakang keluarganya.
Untuk alasan yang terakhir, aku pun tak pernah bertemu
orangtua Mas Kuss. Setahuku, di Kota Bandung ini dia hidup sendirian di rumah mungil miliknya. Untuk
alasan kesatu dan kedua, aku sudah bulat-bulat menerimanya, karena aku
sungguh-sungguh mencintainya. Sedangkan Bapak, masih konsisten dalam sikap mematungnya.
***
Dengan uang yang telah dikumpulkannya sejak lama, Mas Kuss akhirnya mengajakku menikah. Resepsinya sederhana. Tamu undangan pun tak banyak. “Terima kasih ya, kamu sudah menerima
aku apa adanya,” kata Mas Kuss setelah kami resmi jadi pasangan
suami-istri, tanpa restu orangtuaku. Ya,
aku mewakili kehadiran mereka pada Mas Andri. Aku balas ucapan terima kasihnya itu
dengan daratan satu kecupan di pipi kanannya. Kami berbeda agama, tapi kami tak
bisa terpisahkan. Itu yang menjadi prinsipku di awal pernikahan. Tapi, seiring
waktu, keadaan berubah. Dan, perlahan tapi pasti, meledak seperti dentuman bom atom.
***
Konon…di sebuah kampung bernama Emplak
dan Karantunjang, hidup sepasang suami-istri yang sudah tua, Ambu Kolor dan
Arga Piara. Mereka saling mencintai dan hidup rukun. Suatu hari, si suami pergi
ke laut untuk memancing, namun tak kunjung pulang ke rumah. Sang istri tetap
menunggu dengan gundah. Hingga malam, si suami belum juga pulang. Hingga, sang
istri mencarinya di pantai. Namun, tetap saja yang dicari tak tampak batang
hidungnya. Suara sang istri habis ditelan ombak. Dia duduk sendirian merenungi
nasib di pantai…
“Istri
malas! Bangun! Bikinkan saya kopi!” suara itu membangunkanku dari tidur. Menghapus cerita dongeng Ibu yang selintas tadi
kuingat. Aku terkesiap. Bangun dari tempat tidur. Lalu, aku segera menuju
dapur, melintasi Mas Kuss yang berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah yang
geram. Setiap hari, dan
entah sampai kapan, aku merasa seperti robot bernyawa yang hanya bisa
diperintah, tanpa bisa membantah.
***
Aku
kesepian. Kami belum
dikaruniai seorang anak pun selama empat
tahun pernikahan. Tak ada wajah mungil yang bisa menenangkan hatiku. Hidupku, hanya sebatas rumah ini:
sumur, dapur, dan kasur.
Kalimat seperti, “Heh, buatkan aku kopi”,”Sudah masak apa saja kau dari pagi tadi?” Melamun saja kerjamu pemalas”, “Istriku harus tampil sempurna di depan teman-teman kerjaku”,”Kamu mandul ya?” “Pakaianku sudah kau cuci semua belum?!” kerap terlontar
dari mulutnya. Ada rasa sakit yang teramat di dada. Tapi, hanya kutahan. Dan,
aku teteskan dalam linangan air mata di atas bantal saat malam melarut.
Satu bulan setelah pernikahan, aku diperintahkan untuk memupuskan semua ambisiku di dunia tari. Rencana aku ingin melanjutkan studi ke jenjang strata dua
pun kandas. “Urus saja
pekerjaan rumah dan melayaniku,” kata
Mas Kuss.
Aku pikir, dengan begitu kehidupan kami jadi makin
harmonis. Tapi, sebaliknya. Aku malah menderita batin. Hidupku, hanya sebatas
tembok-tembok rumah ini. Jika harus keluar rumah, sebisa mungkin aku harus
mengabarinya. Walau cuma ke pasar membeli sayur. Saat malam tiba, aku tak kuasa
menolak melayaninya meski tubuhku sudah lelah
pada pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya.
***
Kembali,
terngiang kisah dongeng sebelum tidur yang dulu selalu dituturkan Ibu.
Sang istri, dengan kesaktiannya,
meminta tolong kepada Penguasa Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul, agar dipertemukan
kembali dengan sang suami. Permohonan itu dikabulkan, dengan munculnya sebuah
karang dalam keadaan mengambang persis di depan sang istri, sebagai perwujudan
jasad sang suami.
“Melamun
saja kerjamu!” ujar Mas Kuss tepat dari belakangku, ketika aku mengingat
dongeng Ibu di kursi teras.
Di hari libur—atau tepatnya setiap dia libur kerja—bahkan
dia tak mengajakku
mengobrol. Tidak seperti waktu baru pertama kali menikah dulu. Dia hanya sibuk
menenggelamkan dirinya itu di dalam dunianya sendiri. Bermain Blackberry-nya. Membaca koran. Menenggak kopi di teras. Atau
berbicara panjang lebar melalui handphone-nya.
Untuk yang terakhir ini, aku curiga, karena dia kerap menghindariku saat
menelepon atau ditelepon. Rekan kerja katanya. Tapi, kenapa mesti sembunyi?
Saat dia tertidur di sofa ruang tamu,
aku memberanikan diri untuk merampas handphone-nya. Penasaran, aku ingin mencari tahu siapa yang sering
menelepon dan diteleponnya sebulan
belakangan ini. Di memori
panggilan masuk dan keluar, ada nama seorang perempuan. Atika. Kecurigaanku
makin menggunung. Hingga tiba di satu kesimpulan: “Mungkin Atika perempuan simpanannya.” Masih saja ada perempuan yang suka kepada pria macam dia. Pria yang
bisanya hanya memerintah dan menyalahkan perempuan.
Tak lama, handphone-nya
berdering. Makin lama makin keras. Ada nama Atika di layar handphone yang menyala-nyala. Kuberanikan untuk kutekan tombol “terima” di layarnya. Keluarlah suara lembut perempuan.
“Sayang, lagi apa?” tanya perempuan di ujung telepon.
“Ini siapa?” jawabku.
“Lho, kamu yang siapa? Saya pacarnya!”
“Mbak. Maaf
ya, saya ini istrinya
Mas Kuss...”
Mas Kuss tiba-tiba terbangun.
“Heh, sembarangan kau mengangkat handphone-ku! Sini kembalikan! Dasar
perempuan tidak berguna kau ini!” Aku
terkejut. Handphone terbanting ke
lantai. Hancur. Baterainya keluar seketika. Mas Kuss bangkit dari sofa. Segera
menghadiahiku satu tamparan yang manis. Aku tersungkur
ke lantai dan diam. Tak sadar, bulir air mataku tumpah. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan. Menangis tanpa suara.
***
Sebagai bukti cinta dan kesetiaannya,
sang istri tak mau meninggalkan pantai itu. Ia lalu bersemedi memohon supaya
dirinya bisa selalu berdekatan dengan sang suami. Permohonan itu dikabulkan.
Tak lama, sang istri berubah wujud menjadi batu karang yang persis menghadap ke
arah batu karang yang mirip suaminya. Hingga berabad-abad, batu karang yang
berhadap-hadapan itu kokoh berdiri, sebagai simbol cinta dan kesetiaan.
Sekarang, aku merasa benar-benar sepi dan tertekan. Ibu,
aku merasa berdosa tidak mendengar kata-katamu dulu. Jika saja dulu ibu
mengajarkan aku tentang arti sebuah cinta. Bahwa, tak cuma ada kesetiaan, tapi ada pula kesengsaraan. Harusnya ibu mengatakan itu
juga kepadaku. Tapi, seperti kisah dongeng yang selalu
dituturkan Ibu waktu kecil dulu, aku harus tetap menjadi istri yang setia. Aku
harus menjaga kesetiaanku, seperti setianya Ibu kepada Bapak.
Bandung, 23 Maret 2012.
Fandy Hutari, lahir di Jakarta 17 Agustus
1984. Menamatkan studi terakhir dan meraih gelar Sarjana Sastra dari Jurusan
Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung. Menulis buku, cerpen, dan esai.
Cerpen dan esainya dimuat di berbagai media cetak dan online, seperti Kompas Jawa Barat, Galamedia, Gong, Mata
Jendela, indonesiaseni.com, indonesiaartnews.or.id, Lampung Post, Majalah
Basis, Republika, dan lain-lain. Bukunya yang sudah terbit, yaitu Sandiwara dan Perang; Politisasi
Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), Ingatan
Dodol; Sebuah Catatan Konyol (IMU,
2010), Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal;
Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia (Insist Press, 2011), dan kumpulan
cerita pendek berjudul Manusia dalam
Gelas Plastik (Indie Book Corner, 2012).