Cerpen
Oleh Eko Hartono
Gadis muda itu terkurung dalam bilik
sempit. Tiada jendela atau celah yang membuatnya bisa melihat dunia luar. Hanya
sebuah pintu kecil yang selalu tertutup rapat. Pintu itu sengaja tak pernah
dibuka, kecuali untuk mengantarkan makanan dan minuman untuknya. Tapi terkadang
ia tak mau menjamahnya. Ia hanya diam membisu sepanjang waktu. Kedua pergelangan
kakinya terpasung pada dua buah balok terkunci.
Gadis pasungan, itulah sebutan yang
disematkan orang-orang. Aku sangat prihatin melihatnya. Awalnya aku menganggap
keluarga yang telah memasungnya berlaku kejam dan tak beperikemanusiaan, tapi
setelah mendengar kisah tentang riwayatnya, hatiku jadi trenyuh. Bisa kumaklumi
bila mereka berbuat seperti itu. Mereka hanyalah keluarga miskin. Mereka sudah
berusaha mengobatkan gadis itu ke rumah sakit, pengobatan alternatif, bahkan ke
dukun. Sudah habis semua harta berharga yang mereka miliki, tapi gadis itu tak
juga sembuh. Sakit jiwanya malah bertambah parah.
Karena tak kuat lagi membiayai
pengobatan, akhirnya dia dirawat sendiri oleh keluarganya di rumah. Tapi ini
pun membawa masalah. Gadis itu kerap mengamuk, membanting benda apa saja di
sekitarnya. Dia suka menangis, tertawa, dan bicara sendiri. Tapi yang
meresahkan; dia berjalan ke sana kemari tak tentu tujuan, memasuki rumah orang
lain seenaknya, mengejar anak-anak kecil, bahkan atraksi bugil tanpa rasa malu.
Namanya sudah kehilangan akal sehat, apa pun yang dilakukannya tanpa kesadaran.
Orang tuanya jadi malu dan sedih dengan keadaannya.
Untuk mencegah agar ia tak lagi berbuat
onar, maka terpaksalah mereka memasung dalam bilik sempit samping rumah. Bilik
kecil itu menyerupai kandang ayam. Sungguh, keadaannya tak lebih baik dari
seekor ayam. Bahkan ayam pun masih bisa bebas berkeliaran. Ia tak bisa ke
mana-mana lagi, tak bisa menikmati pemandangan matahari bersinar, rembulan di
waktu malam, burung-burung terbang di angkasa, hamparan padi menguning, puncak
gunung di kejauhan, bahkan gemericik air di pematang sawah. Tapi apalah artinya
semua pemandangan indah itu bila ia tak bisa menikmatinya. Ia suntuk dengan
dunianya sendiri. Dunia yang mengurung dalam rasa terasing dan kesendirian!
Nama aslinya Sekar. Nama yang cantik
sama seperti orangnya. Sekar terlahir dari keluarga petani miskin. Ia tumbuh di
tengah lingkungan masyarakat pedesaan yang masih kolot dan tradisional. Kebanyakan
warganya buta huruf dan tak berpendidikan. Begitu pun dengan orang tua Sekar.
Mereka hanya mampu menyekolahkan Sekar sampai lulus SD. Sebagian besar
anak-anak di desa itu tak bisa melanjutkan sekolah. Mereka lebih suka membantu
pekerjaan orang tuanya mengurus ladang atau sawah. Tak sedikit pula yang
merantau ke kota
besar, menjadi buruh kasar atau pembantu rumah tangga.
Desa ini sudah lama dikenal sebagai
pemasok pembantu rumah tangga di berbagai kota,
khususnya Jakarta.
Banyak anak perempuan yang karena tak memiliki bekal pendidikan tinggi, hanya
bisa bekerja di sektor domestik. Walau berstatus pekerja kelas rendah, namun
tak sedikit yang berhasil memberikan kesejahteraan buat keluarganya. Mereka dikenal
pekerja yang ulet, rajin, dan hemat. Mereka mengumpulkan upahnya untuk ditabung
atau dikirim kepada keluarganya di desa. Uang hasil jerih payah itu dibelikan
sapi, kerbau, sawah, tanah, sepeda motor, perabotan, atau membangun rumah.
Tapi di balik kisah sukses warga desa
yang merantau ke kota
besar, terselip kisah pahit dan pilu yang dialami sebagian mereka. Tak sedikit
yang menanggung derita karena disiksa atau diperlakukan semena-mena oleh majikan.
Kisah tentang pembantu yang dianiaya, tidak dibayar gajinya, diperkosa, dihamili,
sampai dibunuh mewarnai potret buram para PRT. Karena tak punya kuasa melawan
majikan dan kurang pemahaman tentang hukum, biasanya mereka memilih mengalah
dan tidak meneruskan kasusnya ke ranah hukum. Mereka rela dikembalikan ke
kampung halaman dalam kondisi tak utuh lagi. Ada yang cacat seumur hidup, hamil, atau
sakit jiwa karena tak kuat menanggung tekanan batin.
Seperti yang dialami Sekar. Gadis enam
belas tahun itu belum genap setahun merantau ke kota. Atas bujukan seorang cukong yang
berlagak malaikat penolong. Cukong ini kerap keliling dari rumah ke rumah
mencari anak gadis yang mau bekerja di kota.
Dia menawari Sekar bekerja di rumah orang kaya dengan gaji besar. Pekerjaan
yang akan dilakukannya cuma mencuci dan memasak. Semua peralatan di rumah orang
kaya itu sudah modern dan canggih, sehingga pekerjaan pun lebih ringan.
Sekar tergiur oleh tawaran sang cukong. Dia
ingin seperti teman-temannya yang saban lebaran pulang kampung membawa banyak
uang. Baju mereka bagus-bagus. Mereka bisa beli hape, kalung emas, gelang emas,
anting, dan aksesoris lainnya. Penampilan mereka jauh berbeda. Tidak kampungan
lagi. Sekar ingin membantu ekonomi orang tuanya yang dililit kemiskinan. Dia
juga ingin membantu adik-adiknya yang masih sekolah. Meski terasa berat, kedua
orang tuanya mengizinkan Sekar berangkat ke Jakarta.
Dengan berbekal uang hasil menjual
seekor kambing jantan peliharaan ayahnya, Sekar naik bus bersama tiga orang
rekannya dan cukong yang memfasilitasi. Sesampai di Jakarta
mereka kemudian disalurkan kepada calon majikan masing-masing. Seperti yang
dijanjikan, Sekar diterima bekerja di rumah orang kaya. Rumah majikannya cukup
besar dan mewah. Berada di kompleks real estate yang dihuni orang-orang kaya.
Tempatnya sepi dan jauh dari kebisingan kota.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sekar
bekerja dengan rajin dan patuh. Majikannya kebetulan pasangan suami istri muda.
Sang suami bekerja di sebuah kantor swasta terkenal,
sementara istrinya juga bekerja di kantor konsultan.
Mereka punya satu anak yang masih kecil. Tapi tugas mengurus anak ini sudah dibebankan
pada seorang baby sitter. Sementara tugas Sekar hanya bersih-bersih dan
memasak. Sekar tak tahu bila majikannya bertemperamen keras. Mereka suka
marah-marah bila ada yang tidak beres di rumah, bahkan persoalan sepele bisa
membuatnya naik pitam.
Sekar mencoba bersabar menghadapi
majikan yang galak. Dia anggap ini sebagai ujian. Namun prahara mulai datang
ketika sang baby sitter kabur dari rumah dengan membawa perhiasan majikan. Sekar
yang tidak tahu apa-apa menjadi sasaran kemarahan. Dia dituduh berkomplot
dengan sang baby sitter. Sekar membantah. Dia berani bersumpah. Tapi nyonya
majikan tak percaya. Dia mulai main pukul dan tendang. Dia mengancam akan
melaporkan Sekar ke polisi dan menjebloskan ke penjara. Sekar memohon pada
majikannya agar tidak memenjarakannya. Dia takut. Nyonya majikan memenuhi
permintaan Sekar untuk tidak lapor polisi, tapi syaratnya Sekar menggantikan
tugas baby sitter dan tidak akan dibayar selama setahun.
Hidup Sekar
kini tak ubahnya seperti di neraka. Setiap hari dia selalu mendapat omelan dan
kemarahan dari majikan. Dia pun kerap dianiaya bila pekerjaannya dianggap tak
beres. Pernah majikan perempuannya yang menyerupai iblis betina itu menyiram
tubuhnya dengan air panas, menyundut kulit tangannya dengan bara
rokok, memukul dengan tongkat bisbol, bahkan mencukur rambutnya hingga habis.
Kekejaman majikan tak sampai di situ. Sekar pernah dikurung sehari semalam
tanpa makanan di gudang. Dia sampai jatuh pingsan dan jatuh sakit, tapi
dibiarkan saja tak dibawa ke rumah sakit. Hanya diobati seadanya.
Pernah dia mencoba kabur dari rumah itu
tapi tak pernah berhasil. Majikan mengunci semua pintu gerbang sehingga dia
tidak bisa keluar. Lagi pula majikan sudah mengancam akan mengejarnya jika
sampai kabur. Dia akan mengerahkan preman untuk membunuhnya. Sungguh, Sekar
benar-benar dalam tekanan luar biasa. Dia bukan hanya disiksa secara fisik,
tetapi juga mental. Berbulan-bulan lamanya dia berada dalam cengkeraman majikan
yang kejam. Suami majikan pun ikut bertindak kejam. Dia tak segan main pukul,
tendang, dan jambak. Bahkan diam-diam, tanpa sepengetahuan istrinya, dia kerap
melakukan pelecehan seksual.
Untunglah, penderitaan Sekar di rumah
itu berakhir ketika seorang pembantu tetangga mendengar ceritanya dan
melaporkan kepada ketua RT setempat. Warga yang tidak terima meminta Sekar
dibebaskan, mereka juga akan melaporkan sang majikan ke pihak berwajib. Sang
majikan buru-buru melakukan upaya damai. Mereka bersedia membayar gaji Sekar
dan memulangkan ke rumah orang tuanya. Mereka berjanji tidak akan melakukan perbuatan
itu lagi.
Akhirnya, Sekar bisa pulang kembali ke
desanya dan berkumpul bersama keluarganya. Tangis haru dan bahagia menyambut
kepulangan Sekar. Namun keadaan Sekar tidak sama seperti dulu lagi. Walau sudah
bebas dari kekejaman majikan, tapi pengalaman pahit selama menjadi pembantu
menanamkan trauma dalam dirinya. Dia jadi kerap melamun dan menyendiri. Dia tak
mau bertemu dengan orang-orang. Dia sepertinya malu dan minder. Wajahnya selalu
tampak murung dan pucat. Dia suka menangis sendiri dan menjerit histeris,
mungkin teringat dengan pengalaman buruknya.
Lama-lama jiwanya jadi terganggu. Dia
mengalami depresi akut yang menyebabkan mentalnya down. Dia akhirnya divonis
menderita sakit jiwa oleh dokter. Kedua orangtuanya sudah berusaha menyembuhkan
penyakitnya, tapi tak membawa hasil sama sekali. Sampai akhirnya mereka
memutuskan merawat sendiri anak gadis mereka dan memasung kedua kakinya agar
tidak mengganggu orang lain.
“Begitulah, Mbak. Kami tak tahu harus
berbuat bagaimana lagi. Kami ini cuma orang miskin. Penghasilan kami sebagai
petani sangat kecil. Kami tak bisa mengobatkan Sekar lagi, karena semua itu
membutuhkan biaya tidak sedikit. Sementara adik-adik Sekar masih membutuhkan
perhatian. Akhirnya, inilah yang bisa kami lakukan!” tutur laki-laki
empatpuluhan tahun, ayah Sekar, dengan mata berkaca-kaca, tak kuasa menahan
haru. Sementara istrinya, perempuan kurus berwajah tirus, yang duduk di
sampingnya, kedua matanya tampak bengkak. Entah, sudah berapa liter air mata
terkuras.
“Tenanglah, Pak, Bu. Yang sabar. Semua
ini adalah ujian. Saya akan berusaha membantu Sekar agar dia bisa kembali
normal,” kataku kalem.
“Terima kasih atas bantuan mbak. Tapi
apa yang bisa mbak lakukan untuk membuat anak kami kembali normal, sedang
dokter saja sudah angkat tangan…”
Aku tercenung. Aku sendiri belum tahu,
apa yang bisa dilakukan agar Sekar bisa normal seperti sediakala. Tapi mungkin
ini yang bisa kulakukan, yakni menulis kisahnya dan menyajikannya di media massa. Agar semua orang
bisa membaca dan mengambil pelajaran berharga. Agar para majikan mau menghargai
pembantunya, karena mereka juga manusia yang punya harkat dan martabat. Agar
tidak terjadi lagi kasus Sekar baru!
***
Eko Hartono.
Lahir di Wonogiri, 16 Juni 1969. Kegiatan sehari-hari adalah
menulis: cerpen, puisi, artikel, drama, skenario, novelet, dan novel.
Karyanya pernah dimuat di beberapa media massa diantaranya: Kartini, Swara
Cantika, Kawanku, Aneka, Suara Karya, Nova, Kedaulatan Rakyat, Wawasan,
Cempaka, Solopos, Alkisah, Bobo, Talenta, Panjebar Semangat, Seputar Indonesia
(SINDO), Tribun Jabar, Tabloid NYATA dan lain-lain.