Oleh Abd. Basid
Judul :
The Jadzab Boy
Penulis : Hari
Narasoma T. S.
Penerbit :
Diva Press, Yogyakarta
Cetakan : I,
2012
Tebal :
362 halaman
ISBN :
978-602-7640-08-5
Harga :
Rp. 38.000,00
Jadzab dalam
istilah tasawuf adalah suatu keadaan di luar kesadaran atau kebiasaan seseorang.
Kata jadzab biasanya digunakan pada sebuah situasi bagi seseorang yang
sedang mengalami khoriqul ‘adah (kebiasaan di luar kebiasaan). Bahkan
ada sebagian yang menyebutkan bahwa jadzab adalah “gila”.
Tentang jadzab ini, sangat
gamblang dipaparkan dalam novel The Jadzab Boy karya Hari Narasoma T. S..
Ia menceritakan tentang salah satu santri nyeleneh
yang menaruh hati pada putri kiai di sebuah pesantren yang ia tempati.
Tersebutlah Gatot, salah satu santri
di Darul Muhyiddin yang terkenal nyeleneh.
Salah satu keanehannya, ia selalu ingin kabur dari pondok. Di
setiap kali ia mau kabur, dia mengendap-ngendap di sekitar ndalem di
kala para santri sedang asyik muthala’ah. Namun sayang, usahanya tak
pernah berhasil, hingga pada usaha yang ketujuh ia tertangkap basah oleh
pengasuh pesantren, Kiai Qadir. Alih-alih langsung ketakutan, Gatot malah
cengengesan.
Namun, semenjak itulah,
Gatot berubah sikap 180 derajat. Tak ada lagi kamus kabur dalam hidupnya.
Pertemuan pertamanya dengan Neng Zulaiha di malam setelah tertangkap basah,
membuat ia ingin tinggal selamanya di pesantren yang awalnya ia anggap sebagai
penjara.
Seiring berjalannya waktu, cinta Gatot
kepada putri sulung kiainya itu semakin subur. Banyangan Neng Zulaiha selalu
menari dalam pikirannya. Namun, sayang seribu sayang, belum sempat memiliki Neng Zulaiha, janur kuning sudah melengkung.
Neng Zulaiha dijodohkan dengan Gus Farid, putra Kiai
Mahmudi dari Banten.
Mendapatinya, Gatot
frustasi tidak bisa menerima kenyataan. Dia berjalan tanpa arah untuk
mengusir rasa frustasi di tengah suka cita keluarga Neng Zulaiha, hingga
akhirya semua terasa gelap dan tak terkendalikan. Gatot pun
pingsan di tengah perjalanan frustasinya.
Dari sini cerita jadzab
dimulai. Di saat belum tersadarkan diri, ia didatangi oleh
almarhum kakeknya, Mbah Ontobogo. Di dalam mimpimya ia memprotes Mbah
Ontobgo yang selalu menyuruhnya sholat namun ia sendiri tak pernah
mengerjakannya. Mbah Ontobogo yang terkenal kedalaman
ilmu batinnya, justru menentang dengan sebuah pertanyaan
untuk dijawab Gatot. Jika Gatot mampu menjawab, maka iapun diperbolehkan untuk tidak
sholat. Pertanyaannya sederhana dan filosofis; Di manakah
sarang angin berada?. Gatot pun
geleng-geleng tidak bisa menjawab (hlm. 194-204).
Setelah sadar dari pingsannya, Gatot
kemudian bertemu dengan salah seorang yang unik dan datang
seperti tiba-tiba. Namanya Mbah Kento. Tingkah
lakunya sangat tidak dimengerti oleh kebanyakan orang umum. Mbah Kento seakan
dapat membaca isi hati lawan bicaranya. Namun, Gatot merasa sangat tenang dan
nyaman bersamanya. Hanya dengan Mbah Kento-lah ia bisa mengakui bahwa dirinya
memang tidak tampan dan jauh dari kesempurnaan.
Di setiap pertemuannya, Mbah Kento
selalu memberikan ilmu hikmah tentang kehidupan yang akhirnya mengantarkan
hambanya semakin dekat dengan sang maha pencipta. Dan berkat perantara Mbah
Kento, Neng Zulaiha terhapus bersih dari pikirannya. Kini, cinta pada Sang
Penciptalah yang selalu menemani setiap hembusan nafas Gatot.
Sejak saat itulah jadzab si
Gatot semakin menjadi-jadi. Tak pelak, hal ini menjadi hotnews
di kalangan pesantren. Banyak tingkah laku Gatot yang sudah tak lagi dapat
dicerna oleh akal kebayakan santri. Bahkan pernah suatu ketika ia berkeliling
pondok dan dengan suara lantang ia mengatakan ingin merutuhkan keraton surga
dan akan menutup jurang neraka. Supaya tak ada lagi manusia konyol yang
beribadah hanya mengharap surga dan takut neraka. (hlm.
261).
Lebih dari itu, novel ini bukanlah
novel yang sederhana. Novel The Jadzab Boy ini menunjukkan
kecerdasan dan kepintaran penulisnya dalam berbagai bidang ilmu, karena dalam
novel ini ada persinggungan ilmu fisika, tasawuf, dan filsafat. Karenanya novel
ini tidak sekedar menghibur, tapi juga merupakan novel ilmiah dalam disiplin ilmu
yang sangat berbeda; fisika, tasawuf, dan filsafat.
Penulis mampu menyampaikan
pengetahuannya tentang disiplin ilmu yang terbilang berat
dengan percakapan humorial. Hal itu tampak dari karakter beberapa
tokoh di dalamnya. Si Albert yang jago fisika dan si Habib yang sangat kagum
dengan tokoh sufi, Jalaluddin ar-Rumi. Mereka selalu menanggapi masalah dan
keadaan dengan disiplin ilmu mereka masing-masing. Penulis juga mampu
mengintegrasikan disiplin ilmu yang berbeda, seperti
ketika mereka sedang belajar bersama Mbah Kento tentang
filosofi cinta. Dengan fasih-nya
si Albert meninjau makna cinta dengan kacamata fisika bahkan dia juga
menciptakan rumus cinta. Sedangkan si Habib menghubungkannya dengan puisi tokoh sufi
favoritnya, Jalaluddin Rumi (hlm. 240).
Terakhir, jika melihat cover dan sinopsis novel ini
mungkin pembaca akan mengira bahwa novel ini adalah
novel humor. Namun, kalau membaca isi novel ini, trnyata tidak sesederhana
cover dan sinopsis yang ada. Membaca novel ini tidak hanya aspek lucu yang akan
didapat tapi juga ilmiah.
Abd. Basid, pengelola Rumah Baca Baitul Hikmah,
Paiton, Probolinggo,
Jawa Timur