Oleh Dominggus M. Koro
Judul di atas adalah nama seorang penulis
besar Indonesia. Mungkin Anda pernah mendengar namanya, atau bahkan membaca
buku-bukunya. Sejak 1997 ia telah menulis 160-an buku bertema meditasi, pemberdayaan
diri, spiritual, apresiasi nilai universal agama-agama, psikologi, politik, kebangsaan
dan sebagainya.
Cara bertuturnya terasa mengalir dengan
kata dan kalimat yang mudah dicerna. Tapi, alirannya bisa amat menukik, lugas tanpa
tedeng aling-aling. Tidak heran bila
banyak yang gerah, terluka ego pribadi atau kelompoknya, lalu reaktif.
Reaksi atas tulisannya muncul tahun 2000,
lewat artikel seorang cendekiawan di sebuah koran nasional. Ia dituding menghina
suatu agama lewat buku-bukunya. Artikel itu memantik rasa benci dan permusuhan terhadapnya.
Puncaknya terjadi di Bulan September di mana pihak penerbit terpaksa menarik beberapa
judul karena kencangnya tekanan. Tapi, Anand menyikapinya dengan upaya bersilaturahim
dengan mereka: ada yang menerima uluran tangannya, ada pula yang menolak.
Jelas ada kelompok yang anti dengan apresiasinya
terhadap agama dan pendiriannya atas Pancasila dan kebhinnekaan. Tapi, ia tak
surut langkah. Tahun 2004 terbit Indonesia
Under Attack yang membeberkan infiltrasi
Wahabi di Indonesia. Ia kerap menulis opini ikhwal korupsi, politisasi agama, Perda Syariah dan potensi disintegrasi NKRI. Ia mengilhami lahirnya
Gerakan Integrasi Nasional pada April
2005—yang mengadakan simposium nasional di gedung Lemhanas pada September tahun
yang sama.
Ia menasihati Obama lewat buku berjudul The Gospel of Obama yang berpijak pada pidato
presiden AS itu di Universitas Kairo, 4 Juni 2009. Runtut dan mendalam ia
membedah isi pidato sang presiden tentang Islam, terorisme, konflik Pakistan
dan Afghanistan, konflik Palestina-Israel, dan menawarkan solusinya. Ia tegas
mengatakan Indonesia bukan negara Islam tetapi berpenduduk muslim terbesar di
dunia. Ia menantang Obama untuk melawan hegemoni Federal Reserve yang mengendalikan ekonomi dan politik AS sejak
1913.
Sebelum menulis, ia mendirikan padepokan Anand
Ashram, 14 Januari 1991 di Sunter, Jakarta. Ini wadah bagi yang berupaya memberdayakan
diri. Di sini orang berlatih meditasi, yoga, stress management, berdiskusi soal kebangsaan dan spiritual bersifat
lintas agama serta kegiatan kemanusiaan dan perdamaian. Di kompleks Ashram,
kita temukan berbagai simbol agama di
dunia dan sarana ibadah lintas agama seperti musholla, gua Maria, dan
sebagainya.
Kepada yang bersimpati dengan kegiatannya, atau
belajar meditasi di bawah bimbingannya, ia tegas melarang pindah agama. Peserta
diajak untuk mengapresiasi kemajemukan suku dan agama. Baginya, itu kehendak
Tuhan kita lahir dalam keluarga Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu
dan lainnya. Memang, sejak sembuh dari leukemia tahun 1990, ia membaktikan
hidup untuk menyebarkan cinta, damai dan
harmoni di bawah terang visi “Satu Langit Satu Bumi Satu Umat Manusia”.
Tapi, tokoh dijuluki spiritual activist oleh seorang penyiar radio di Santa Barbara,
California itu malah dibui di Cipinang lewat rekayasa yang sophisticated. Tanggal 16 Februari 2013, ia dijemput paksa dari padepokannya
di Ubud oleh kejaksaan negeri Jakarta Selatan. Para sahabat berupaya menghalangi
sehingga sempat terjadi kekerasan yang dilakukan gerombolan orang penjemput. Di
tengah situasi yang memanas, Anand—yang semula bertekad tak mau tunduk pada
penegak hukum yang lalim—turun dari lantai dua padepokan dan membiarkan diri
ditangkap demi menghindari pertumpahan darah.
Peristiwa pun ini disaksikan orang asing, Sacha
Stone. Di akun facebook dia menulis,
“Anand Krishna is the last primary-voice
of pluralism in the biggest Muslim country in the world. This “tolerance” ethic
goes against the esoteric agenda of the cabal seeking to turn up a
fundamentalist agenda in these parts. A man who promotes meditation and self
determination is a major threat to the powers that control the oil and gas,
central banking sector which relies on a ‘war-economy’ footing and the Hegelian
dialectic as the status-quo. Ever rude trick has been thrown at destroying his
movement, his reputation, his dignity, even his life. He represents the
struggle for modern Indonesian soul and must therefore be protected and
defended”.
Terjemahannya; “Anand Krishna adalah suara
terakhir yang menggemakan pluralisme di negeri berpenduduk muslim terbesar di
dunia. Tapi, etik ini bertentangan dengan agenda terselubung mereka yang
berupaya mewujudkan paham anti-kebhinnekaan di sini. Ia yang mempromosikan meditasi,
dan kemandirian dianggap ancaman besar bagi kekuasaan yang mengontrol minyak
dan gas, bank sentral yang bertumpu pada ‘ekonomi-perang’ dan dialektika Hegelian
sebagai status-quo. Ia dihajar dengan
muslihat keji untuk menghancurkan gerakan, reputasi, martabat, bahkan hidupnya.
Ia mewakili perjuangan bagi jiwa Indonesia moderen, karena itu dia mesti diayomi
dan dibela”
Bagi the
cabal, keberanian dan konsistensi Anand
menyuarakan persoalan yang menggegoroti negara —di tengah sikap apatis akan potensi kebangkrutan dan pecahnya
NKRI— jelas merupakan “kesalahan”. Karena
itu ia mesti dibungkam. Ini dilakukan dengan fabrikasi tuduhan pelecehan seksual
sebagai justifikasi pemenjaraan, serentak upaya meruntuhkan moral pendukungnya
di dalam dan luar negeri.
Upaya ini berjalan sistematis, melibatkan kampanye
media sejak awal. Tanggal 12 Februari 2010 Tara Pradipta Laksmi melapor ke
Komnas Perempuan bahwa Anand Krishna telah melakukan pelecehan seksual
terhadapnya. Laporan itu diikuti konferensi pers dan menjadi berita di televisi
yang berlangsung berhari-hari. Tanggal 15 Febuari Tara melapor ke Polda Metro
Jaya.
Di media online, Agung Mattauch, pengacaranya,
mengatakan, “Pelecehan seksual hanya pintu masuk bagi masalah yang lebih
serius, yaitu penodaan agama”. Betul, selama persidangan, pertanyaan hakim tak bersangkut-paut dengan apa yang
telah dituduhkan, tapi seputar kegiatan, pemikiran dan ajaran Anand Krishna. Hal
pelecehan seksual mendapat porsi sekadarnya saja.
Media televisi tampak berfungsi sebagai trial by the press. Apa yang terjadi di
ruang pengadilan selanjutnya tak lagi diwartakan. Maka, kecuali stigma yang dilekatkan
pada Anand, masyarakat tidak tahu kalau “korban dan saksi” seenaknya bersikap
dan merubah kesaksikan. Muhammad Abrory Djabar mengancam bunuh Anand, meski meralat
hendak membunuh pikiran penulis itu.
Semua kejadian ini seolah atas persetujuaan
Hari Sasangka yang merupakan ketua majelis hakim PN Jakarta Selatan. Sasangka bahkan
mengurung Anand di Cipinang sebelum ada kekuatan hukum tetap. Tindakannya diprotes
Anand dengan aksi mogok makan selama 49 hari sejak 9 Maret 2011. Belakangan ia diketahui
punya affair dengan “saksi korban”. Komisi
Yudisial lalu merekomendasikan pergantian majelis hakim berdasarkan laporan dan
bukti yang disodorkan tim pengacara Anand.
Albertina Ho ditunjuk menggantikan posisi
Sasangka. Untuk kasus Anand ia perintahkan pemeriksaan ulang saksi-saksi. Ia datangi
One Earth di Ciawi, Bogor, memeriksa locus
delicti yang disebut Tara cs. Karena tidak menemukan bukti, pada 22
November 2011, Ho memutus-bebas dan memerintahkan pemulihan martabat dan nama
baik Anand.
Tapi, JPU mengkasasi putusan ini meski melanggar
pasal 67 dan 244 UU No. 8/1981 tentang KUHAP. Upayanya disambut Mahkamah Agung.
Hakim MA Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul mengabulkan tuntutan
JPU menghukum Anand 2,6 tahun.
Padahal, memori kasasi berisi kasus pidana Erik
Mulya Wijaya, bermomor perkara 20/Pid/2006/PT.Bdg tertanggal 21 April 2006 yang
dibuat Majelis Hakim Pengdilan Tinggi Jawa Barat. Erik didakwa melanggar pasal
24 ayat 1 UU No. 5/1984 tentang perindustrian. Alasan kasasi ini muncul dalam
salinan putusan Anand Krishna.
Amat benderang kalau JPU sakit saraf dan tiga
hakim MA buta batin. Mereka bertindak keji menghukum orang tak bersalah. Kita
tahu Zaharuddin Utama berurusan dengan KPK terkait dugaan suap Misbhakun. Dan, Achmad
Yamanie dipecat secara tidak hormat sebagai hakim agung karena kasus pemalsuan
surat keputusan MA bagi seorang gembong narkoba.
Anand Krishna tidak melawan hukum. Tak juga
buron seperti yang telah sering diomongkan pihak kejaksaan PN Jaksel di media. Ia
menolak panggilan jaksa sebagai bentuk perlawanan terhadap lembaga dan penegak
hukum yang batil. Dua tahun lalu ia mogok makan memrotes kesewenangan Hari
Sasangka. Kali ini ia memrotes kesewenangan MA dengan membiarkan diri ditangkap
dan mendekam di penjara.
“Saya tidak menyerah, dan tidak pernah
menyerah. Saya lakukan ini sebagai bentuk protes”, katanya sesaat sebelum
dinaikan ke mobil jaksa yang akan membawanya ke bandara Ngurah Rai.
Dominggus M. Koro,
pegiat pariwisata,
tinggal di Maumere, Papua