Semarang-WAWASANews.com
Bertanya: salah seorang peserta membaca pertanyaan (Foto: WAWASANews.com/Autad) |
Sekitar 300-an
santriwati Ma’had IAIN Walisongo Semarang yang berlokasi di kampus II, memadati
ruang aula lantai bawah. Bukan antri sembako, mereka berkumpul sejak pukul 09.00
WIB menunggu kehadiran M Abdullah Badri, Pemimpin Redaksi Portal WAWASANews.com dalam rangka “To Week of Training” Jurnalistik. Antusiasme
muncul, suasana yang awalnya kemrecek,
tiba-tiba tenang saat pemateri asal Jepara tersebut datang sekitar pukul
09.30-an pagi.
“Anda tahu syarat
jadi seorang penulis?” tanya Badri mengawali materi. “Syarat penulis adalah
sombong,” tuturnya. Sontak pada keget dan tidak percaya dengan “ajaran”
tersebut. Dalam penuturannya, pemateri hanya ingin menjawab kegelisahan peserta
yang pada umumnya ingin menulis, namun tidak punya keberanian mengirimkan ke
media. Percaya diri dengan ide yang ditulis –entah salah atau benar-, lalu
kemudian bangga terhadap tulisannya, adalah syarat untuk jadi penulis. “Asal
tidak menghina orang lain saja,” katanya.
Satu jam lebih
mengurai materi kepenulisan yang meliputi Fiksi, Non Fiksi dan Faksi, Badri
memberikan waktu sepenuhnya kepada peserta untuk bertanya, menggugat, atau
bahkan menyatakan ketidaksependapatan. Peserta yang dalam pengamatan WAWASANews.com terdiri atas mahasiswi
semester awal ini ternyata masih malu-malu dan takut untuk hanya sekadar
bertanya. Baru setelah satu orang mengacungkan jari, membludak banyak yang mengikuti.
Kerja
Mengabadi
Menulis, kata
Badri, adalah kerja yang mengabadi. Dibandingkan dengan guru, walau sama-sama
memiliki tugas transformasi pengetahuan kepada generasi yang lebih muda, namun,
perbedaan itu terletak pada jangkauan waktu penyerapan pengetahuan yang tidak
kenal waktu. Bila guru hanya mampu mengajar kepada 100 generasi murid, maka, seorang
penulis, hingga ribuan tahun pun, pikirannya akan mampu diserap oleh generasi
yang akan datang.
Mengoreksi: pemateri mengevaluasi tugas peserta (Foto: WAWASANews.com/Autad) |
“Guru itu hanya
menyampaikan satu materi yang dikuasai sesuai bidangnya selama dia masih
sanggup mengajar. Kalau mengajar hingga 40 tahun, dia hakikatnya hanya setahun
mengajar, namun diulang hingga 40 kali kepada generasi yang berbeda,”
terangnya.
Apa yang
disampaikan penulis buku “Kritik Tanpa Solusi” tersebut adalah menjawab
keistimewaan menulis selain keuntungan dalam tiga hal: pengetahuan, popularitas
dan money (uang). Trinitas keuntungan
menulis itu, mengikuti bahasa Badri, harus dimulai dengan menangkap sebuah
masalah.
“Apa yang kita tulis
dalam banyak jenis tulisan, baik fiksi, non fiksi, atau faksi, semuanya adalah
masalah. Kalau kita belum mendapatkan masalah untuk mulai menulis, carilah
masalah! Kalau tidak mendapatkan masalah buat menulis, kumpullah dengan
orang-orang yang bermasalah,” terang Badri yang disambut tawa peserta.
Tidak hanya itu,
masalah saja tidak cukup. Secara struktur kepenulisan, ada yang lebih menarik
diperhatikan dalam pandangan Badri, yakni soal judul. Menurutnya, tulisan yang
baik itu adalah tulisan yang sudah jadi. Namun, judul cantik, isi seksi, dan kesimpulan
yang padat-berisi, tetap dilirik sebagai bahan pertimbangan redaktur ihwal
layak dan tidaknya tulisan tersebut dimuat. “Bila redaktur sudah menyatakan
dari awal kalau judul tulisan kita tidak cantik, saya yakin dia tak akan
melanjutkan membaca isinya,” katanya.
Dibahas pula dalam
kesempatan itu soal esai. Menurut Badri, esai adalah tulisan yang nggatheli (menghempas pikiran). Pengertian
tidak lazim ini dicontohkannya dengan sebuah esai yang pernah dimuat WAWASANews.com berjudul “Akuilah Kentutmu!”.
“Dari judulnya saja kita akan penasaran
soal bahasan yang diangkat penulis,” jelasnya.
Tulisan yang menantang,
kata Badri, selain ditulis dengan penuh kesombongan, juga harus nggatheli. Itulah yang membuat orang
jadi sukses dalam menuangkan gagasan dan ide masalah dalam sebuah karya.
“Tulislah sesuka
kalian, jangan terbelenggu struktur apalagi pikiran orang lain. Karena menulis
bagi saya adalah kerja mengarang, apa pun itu. Mengarang adalah menciptakan
sesuatu yang awalnya tidak ada, menjadi ada. Pekerjaan rumah berupa menulis
dulu disebut mengarang. Menulis dengan demikian sama dengan mengarang. Saya menyebutnya
ndobolisme,” kata pria berambut gondrong sebahu itu. (Autad)