Penulis : M. Aji Surya
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : xxiv+248 halaman
Pernahkah membayangkan makam seluruh
presiden Indonesia ditempatkan dalam satu lokasi? Atau mungkinkah sastrawan
atau seniman yang memiliki kontribusi bagi perjalanan negeri ini dimakamkan di
taman makam pahlawan? Makna pahlawan di negeri ini memang kerapkali memunculkan
perdebatan. Kerapkali pula pahlawan diidentikkan dengan tokoh-tokoh yang pernah
hidup di zaman penjajahan. Lantas, apabila ada seseorang yang benar-benar
berjasa di zaman kini dan ternyata meninggal, apakah layak disebut pahlawan?
Jika kita mengunjungi Rusia, cobalah
bersinggah sejenak di Novodevichye Kladbishche yang terletak di Jalan Luznetsky
Proezd, Moskwa. Di tempat itu, kita akan mendapatkan pelajaran penting terkait
pemaknaan pahlawan. Kita bisa melakukan refleksi seberapa besar kita memberikan
penghargaan kepada tokoh-tokoh yang pernah berperan penting bagi eksistensi
Indonesia. Novodevichye Kladbishche adalah sebuah kuburan tua. Kuburan ini
terdiri dari nisan yang merupakan makam orang-orang terkenal Rusia dengan aneka
rupa profesi, entah itu jenderal, politisi, agen rahasia, tokoh masyarakat,
ilmuwan, pujangga, jurnalis, pelukis, pematung, arsitek, olahragawan, pemusik,
aktor, sutradara, dan sebagainya. Semua orang yang dianggap membesarkan dan
mengharumkan Rusia dimakamkan dalam area kuburan yang berhektar-hektar itu.
Kini yang dimakamkan di kuburan itu ada
sekitar 200 tokoh lebih, antara lain adalah. mantan presiden Nikita Sergeyevich
Khrushchev (1894-1971) yang dikenal dekat dengan presiden Sukarno dan mantan
presiden Boris Yeltsin (1931-2007). Raisa Gorbachev (1932-1999), istri dari
Mikhail Gorbachev, pun dimakamkan di area makam itu. Istri dari penggulir glasnost dan perestroika itu dinilai berperan besar dalam mendorong suaminya
menjadikan Rusia menjadi negara yang lebih demokratis dan terbuka. Ada pula
makam istri Stalin, Nadezda Alliluyeva (1902-1932).
Menurut M. Aji Surya, penulis buku ini,
konsep kuburan di Moskwa itu menyimpan pelajaran bagi kita untuk memaknai
pahlawan tak hanya mereka yang bertempur di medan perang, tetapi siapa pun yang
memang benar-benar berjasa. Negeri ini juga perlu menghargai para tokoh yang
pernah berpikir dan bertindak besar bagi Indonesia. Meskipun tak harus
membangun kuburan serupa, tetapi eksistensi dan kontribusi tokoh-tokoh yang
berjasa perlu dihargai secara layak, sehingga akan mendidik masyarakat untuk
berbuat sesuatu bagi kejayaan Indonesia di segala bidang (hlm. 212-220).
Sebagai sebuah bangsa dan negara, Rusia
memang memiliki sejarah panjang. Banyak tokoh yang telah menorehkan sejarahnya
dalam perjalanan Rusia sepanjang zaman. Negeri ini bisa dikatakan senantiasa
menggeliat dalam jatuh bangun sistem pemerintahan dan ideologi. Revolusi
Bolshevic pada 1917 tak hanya mengubah sistem kerajaan, tetapi juga mengarahkan
negeri itu pada sosialisme dan komunisme. Pada masa komunis berkuasa, Uni
Soviet diakui tak gentar berhadapan dengan Barat dan menjadi negara adikuasa
selain Amerika Serikat. Zaman pun terus bergerak sampai akhirnya Mikhail
Gorbachev lewat gerakan perestroika
dan glasnost-nya pada 1991 menjadikan
negeri itu berubah wajah. Demokrasi dan kapitalisme menjadi arah baru yang tak
terbendung.
Buku yang ditulis M. Aji Surya ini
menarik disimak bukan sekadar karena dinamika yang terjadi di Rusia sepanjang
zaman, tetapi ada pelajaran berharga bagi kita. Rusia memang negeri yang
mengalami metamorfosa berkali-kali, namun kita kerapkali terlanjur
mengidentikkan Rusia sebagai negeri bekas komunis yang dipersepsikan kurang
positif. Apalagi sejak zaman Orde Baru, hal-hal yang beraroma Uni Soviet
dipangkas habis. Kita kurang menyimak dan memahami negeri tersebut
pascakomunisme.
Dengan penuturan yang renyah, M. Aji
Surya lewat buku ini juga memaparkan kepada kita gairah beragama di Rusia. Hal
yang sangat kontras dibandingkan ketika komunis berkuasa di mana masjid dan
gereja dihancurkan, pegiat agama dilarang beraktivitas, dan buku agama
dilenyapkan. Sebut saja di Masjid Prospek Mira yang disebut sebagai masjid
akbar di Moskwa, ibukota Rusia. Saking banyaknya yang salat, jemaah bisa
membludak sampai halaman luar masjid. Kota Moskwa diakui sebagai kota
berpenduduk muslim terbesar di Eropa. Kini pembangunan tempat ibadah terus
dilakukan di Rusia. Bahkan, gereja yang bernama Khram Khrista Spasitelya, Cathedral
of Christ the Saviour yang dibangun pada awal abad ke-19 dan dihancurkan pada
masa pemerintahan Stalin dibangun lagi sejak tahun 2000 lalu.
Di Rusia, kita juga bisa mencontoh
penegak keamanan yang tak kenal takut dengan pejabat. Penegak keamanan meskipun
hanya berpangkat satpam dikenal tegas menindak siapa pun yang tak taat aturan
dan prosedur. Lewat buku ini, kita juga mengetahui ternyata masyarakat Rusia
memiliki hubungan batin dengan Indonesia. Hal ini lumrah karena Indonesia
menjadi mitra dekat Uni Soviet di masa pemerintahan Sukarno. Jangan heran jika
beberapa generasi tua di Rusia berkata, “Ya
lublu Indonesiyu (Aku cinta Indonesia)”. M. Aji Surya yang kini selaku
diplomat Indonesia di Rusia memaparkan banyak hal dalam buku ini yang boleh
jadi akan menambah pemahaman dan menyentak kesadaran kita.
Hendra Sugiantoro,
pembaca buku, tinggal di Yogyakarta