Cerpen
Oleh Dina Kamalia
Tugu Muda Semarang |
Jarak Semarang- Bandung kira-kira 364 kilometer. Aku tak tahu persis
berapa kilometer jarak Bandung dengan Rumahku di Semarang. Yang jelas data yang
aku terima ketika aku googling seperti itu. Aku tak peduli apakah itu
benar atau kurang benar, yang jelas aku sedikit tak percaya. Bagaimana bisa
ukuran manusia bisa tepat? Manusia tempat salah dan lupa. *).
Jadi aku sisipkan kata ‘kira-kira’. Sebenarnya
aku hanya ingin mengirim surat ke Bandung. Surat untuk kawan lama yang telah
usang dan kuselipkan di antara buku-buku di kamarku.
Dear Mahcri-yang
kucinta…
Hai, Mahcri. Sejak lulus kelas 3 SMA aku
tak pernah menatap matamu yang meneduhkan, menjabat tanganmu yang
menghangatkan. Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah aku perlu memberitahu tentang
kabarku? Aku kira tak perlu. Kau mungkin sudah mengetahuinya melalui berita di beberapa
stasiun teve maupun koran.
Sampai saat ini tak ada pertemuan dan tak
ada perpisahan yang mengesankan. Ya, seperti pertemuan penumpang bus dengan
beberapa anak 8 tahunan yang mengamen, menjual koran seharga 1000 rupiah di
bus-bus kota. Bagaimana bisa ingat dengan mereka? Melihat saja seperti tak
rela. Beberapa dari mereka justru mengalihkan pandangan ke jendela, jika tidak,
ya mereka pura-pura tidur dengan mulut menganga. Paling banter mereka
hanya tersenyum dan menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan. Mungkin anak-anak
itu hanya diam karena tak berhak menuntut, seperti juga aku. Mereka mempunyai
hak, kamu mempunyai hak. Hak setiap anak manusia yang hidup di dunia harus
dijunjung tinggi. Begitu yang kugenggam selama ini. Tapi, sepertinya aku tak
akan pernah memasuki bus-bus kota itu lagi. Karena aku juga punya hak.
Mahcri-yang kucinta, rasanya seperti baru kemarin
kita bertemu di bangku sekolah. Beruntung sekali aku dan kamu bisa lulus sampai
SMA. Bahkan bisa merasakan menjadi mahasiswa. Kamu yang kuliah di Bandung dan
aku di Semarang. Tapi, apakah kita sempat berpikir tentang anak-anak di bus
yang kuceritakan tadi? Mereka tak pernah berpikir tentang sekolah. Apalagi
tentang PR Matematika atau IPA. PR mereka hanya bagaimana bisa makan
sehari-hari. Karena jika mereka sekolah pasti harus memikirkan uang seragam, uang
sepatu, uang untuk membeli buku tulis, pensil, dan tips-X. Begitu juga uang
jajan, pasti pada waktu istirahat teman-teman mereka membawa berplastik-plastik
jajan yang membuat sampah di negeri kita semakin bertambah, dengan kalkulasi 625
liter sampah per hari dari jumlah total penduduk. **)
Aku jadi berpikir tentang mereka, apakah
semua itu pekerjaan keluarga yang nantinya turun temurun? Apakah anak-anak itu
disuruh orang tuanya? Bapaknya memulung, ibu mengemis di jalan raya, dan
anaknya mengamen di bus kota. Dan apakah pemerintah di negeri kita sudah lupa
dengan kitabnya? Entahlah. Mungkin mereka sudah lupa meletakkan kitab itu di mana
hingga sekarang sudah hilang.
Marchi, bersama surat ini aku tak
mengirimkan apapun, hanya jiwaku-benda abstrak, yang tukang pos tak akan pernah
tahu. Tidak seperti Sukab yang mengirimkan sepotong senja untuk pacarnya.***) Jika aku mengirim potongan yang
lain dari senja, aku takut akan menambah bencana untuk negeri ini. Walaupun
hanya sepotong senja saja dari Sukab untuk Alina sudah menimbulkan bencana.
Negeri ini sudah banyak bencana. Rasanya aku tidak perlu menambahkannya lagi. Kamu
pasti sudah mengetahuinya. Tak akan muat jika semua bencana di negeri ini kutulis
di surat ini satu per satu. Lagi pula semua bencana itu belum ada yang
menyentuhnya. Jika ada yang menyentuhnya pasti tersedot ke pusaran bencana itu
dan ia hilang tak pernah ditemukan jejaknya.
Mahcri-yang
selalu kutunggu kehadiranmu….
Mungkin dengan jiwaku yang kuposkan bersama
surat ini, aku tak akan mengharapkan kehadiranmu lagi. Sudah terlalu banyak
yang telah hadir di mata dendamku. Namun, jiwaku masih kosong tanpamu. Maka
biarkanlah aku menyelipkan jiwaku bersama surat ini. Walau bukan ragaku namun
aku hanya ingin jiwaku selalu bersamamu. Memenuhi waktu, memenjarakan
kerinduan, dan memupuk rasa cinta. Walau jiwaku ini hanya satu, aku rela
memberikannya padamu. Jiwa yang kosong, penuh kepedihan dan kesendirian. Tapi
tenanglah, aku akan membersihkannya untukmu dengan hujan. Hujan kesenduan. Yang
setiap jiwa mengharapkannya. Sehingga kepedihan dan kesendirian akan terbawa
sampai ke lautan hitam yang tanpa ombak. Karena ombak sudah tak dapat hadir
lagi di lautan, ombak telah diredam oleh pedih dan sendiri yang ada di lautan. Ia
sekarang hadir di daratan, mengorosi mesin-mesin motor dan mobil.
Aku tak tahu sampai kapan surat ini akan
sampai padamu. Tapi, yang jelas aku sudah mengeluarkan jiwaku terlebih dahulu. Awalnya
kuraba semua tubuhku karena aku tak mengetahui di mana ia bersarang. Namun,
akhirnya aku menemukannya tepat di dada. Cutter yang selalu ada di meja
belajarku yang membantuku untuk mengeluarkannya, Machri. Jiwa yang tersudut dan
menangis. Ia keluar dengan air mata yang merah. Hanya air yang merah. Mataku
tak akan pernah bisa menangkap keberadaannya, namun perasaanku yang selalu
menderu-deru akan tetap menemukannya. Perasaan yang terlalu dalam untuk memilih,
bukan dipilih. Hingga jiwaku lepas. Merelakan jiwa yang abstrak. Yang keabstrakannya
tak bisa kuceritakan padamu. Kala surat ini sampai padamu, kau pasti akan
mengetahuinya bahwa ada jiwaku di sana.
Mahcri, sepertinya Tuhan memang Maha
Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui segalanya. Dia mengetahui jika aku
telah mengeluarkan jiwaku, Dia juga mendengar do’aku. Saat ini hujan kesenduan akan
turun dari langit. Dan akan kupikirkan bagaimana menyelipkan jiwa itu di
sela-sela suratku ini padamu. Mungkin kamu tak perlu tahu.
Sampai ketemu lagi Mahcri-yang selalu kucinta.
Salam sayang dari yang mencintaimu selalu.
Sari
***
Entah mulai kapan dan sampai kapan ada seorang
wanita yang mengenakan switer di musim kemarau ini. Pakaiannya selalu
tebal dan menutupi seluruh tubuh, sampai-sampai hanya tubuh bagian kepala yang
tampak di mata orang lain. Ia selalu mengitari taman rumahnya dengan 2 buku
yang selalu sama di tangannya. Menciumi bau bunga-bunga di sana. Dan berlama-lama
duduk di bangku kecil yang memang disediakan untuk menikmati keindahan taman
yang selalu dirawat oleh tukang kebun pemilik rumah itu.
Waktu itu, senja tertutup oleh mendung. Seorang
wanita ber-switer masih duduk di bangku taman yang ditanami bunga bermacam-macam
warna. Ia tertunduk dengan rambut terurai yang sesekali tersibak oleh angin lebat
yang mengiringi mendung. Dua buku yang ada di pangkuannya terjatuh karena
terpaan angin. Tak sengaja amplop dan potongan koran yang terselip di antara
kedua buku itu pun ikut berhambur. Dan tak berapa lama kemudian, tetesan dari
langit sudah mulai turun ke bumi. Membasahi apapun yang ada di bumi termasuk
seisi taman. Namun, ia masih diam dan matanya menatap ke tanah. Air hujan yang
membasahinya mengalir dari kepala sampai kaki. Namun, tepat mulai dari dada air
hujan tanpa warna itu berubah menjadi merah. Mengalir sampai ke tanah, memberi
warna pada amplop dan potongan koran yang masih tampak jelas tulisannya: “Mahasiswi Berinisial SR Diperkosa 7 orang
di Dalam Bus.”
Keterangan:
*)
Hadits Nabi yang dalam Bahasa Arabnya
al-insanu mahallul khata’ wan nisyan.
**)
Dikutip dari www.tempo.co, posted pada Minggu, 15
April 2012 pukul 08:47 WIB. Dalam berita tersebut tertulis: "Setiap hari masing-masing orang menghasilkan
2,5 liter sampah, kalkulasikan dengan jumlah penduduk," kata Menteri
Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, Sabtu 14 April 2012 saat meresmikan Bank
Sampah di Palembang.
***) Cerpen
Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma bisa dibaca
diblog duniasukab.com.
Dina Kamalia, mahasiswi Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
Semarang,
bergiat di Beranda Sastra Edukasi (BSE).