Cerpen
Oleh Yenni Eka Yuanita
www.partainasdem.org |
“Besok kamu pasti bisa tampil
baik dan menjadi nomor satu. Jangan sampai membuat malu keluarga yang selama
ini merawatmu dengan penuh pengorbanan. Buatlah keluargamu ini bangga, agar semuanya
tidak sia-sia,” kata Hilal sambil mengelus-ngelus pundak sapinya.
Sementara itu, asap keminyan
masih terus mengepul dalam kandang sapi. Ehm, aromanya menyeruak, menusuk
hidung. Di malam yang hanya diterangi damar kembang itu, harum
bunga tujuh rupa, dan jhejhen ghenna’ sudah di persiapkan
keluarga Hilal sejak kemarin di dekat sasaka.
Malam semakin larut. Angin
mendesir kencang. Namun, damar kembang tetap menyala,
menerangi kandang.
“Alhamdulillah, damar
kembang tidak mati. Padahal angin cukup kencang,” gumam Hilal. “Ini
pertanda baik.”
Lenguh sapi terdengar geram,
sementara mulut Hilal komat-kamit merapalkan mantra yang diamalkannya semenjak
mempunyai sapi sonok. Entah, kalimat-kalimat apa yang ia baca. Yang jelas, ia
sangat khusyuk. Sebab ia bertekad untuk memenangkan kejuaraan sapi sonok besok
siang.
Hilal yang berambisi untuk
mempertahankan gelar juara sapi sonoknya yang tahun lalu mendapatkan juara satu
dalam lomba sapi sonok tingkat kabupaten, rela mengeluarkan uang berjumlah
jutaan rupiah untuk biaya perawatan sapi sonoknya yang diberi nama Pangabasan.
Sepekan sekali ia memberi sapi-sapi peliharaannya itu campuran rebusan daun
sirih, gula aren, air, kunyit, jahe, madu, bawang, daun bawang, asam Jawa,
kelapa, dan telur. Dua kali sebulan, Pangabasan juga diberi susu segar dicampur
25 butir kuning telur. Dan pada musim dingin, sapi-sapi itu diberi makanan
tambahan berupa tujuh hingga sembilan telur.
Hilal juga tak pernah lupa,
setiap malam Jum’at meluluri Pangabasan bedak kuning dan air kembang tujuh rupa
agar wangi semerbak menyeruak ketika tiba saat sapi sonoknya itu di arena
lomba.
Sama dengan Hilal, Said juga
merawat sapi sonoknya yang diberi nama Lombang, layaknya anggota keluarganya
sendiri.
Said, lelaki berkulit sawo
matang dan berkumis tebal itu dikenal sebagai saingan berat Hilal dalam setiap
kejuaraan sapi sonok. Dan pada kejuaraan tahun ini, ia berambisi untuk
mengalahkan Hilal.
Untuk memuluskan langkahnya,
Said meminta Tarebung untuk menjadi dukun sapi sonoknya. Ya, Tarebung dikenal
sebagai dukun kondang yang bisa membuat wajah sapi cantik hingga tak jarang
menjadi rebutan untuk dijadikan dukun pribadi. Meski dukun itu bayarannya
sangat mahal, namun Said tidak peduli. Yang penting ia dapat mengalahkan Hilal.
***
Bulan temaram. Cahayanya
menerangi sepasang sapi sonok Said yang sedang berlenggang seiring irama musik saronen yang
dimainkan oleh anak buahnya. Ya, sesuai dengan perintah Tarebung, latihan itu
digelar di depan halaman rumahnya sebelum diarak menuju kuburan demi memperoleh
restu leluhur agar pesona kecantikan Lombang dalam lomba besok siang, tetap
terpancar.
“Ayo tunjukkan
kegemulaianmu,” teriak Said. Ia tetap memaksa Lombang berlenggang mengikuti
irama musik saronen meski Lombang sudah kelelahan.
“Jangan paksa aku, Id. Aku
lelah. Aku sudah tidak kuat. Aku.....” Lombang seakan meratap.
“Ayo terus mainkan
musik saronen-nya,” perintah Said pada anak buahnya.
Lombang terus berlenggang
menggerakkan badannya. Namun, tiba-tiba sepasang sapi betina itu roboh.
“Lombang, Lombang,” teriak
Said, panik seraya menghampiri Lombang.
Dalam keadaan tubuh terkapar,
Lombang seolah berkata, ”Cepat bawa aku ke kandang. Aku sudah tidak kuat. Aku
mau istirahat.”
“Ayo cepat bawa Lombang ke
kandangnya,” perintah Said kepada anak buahnya seolah ia paham pada bahasa
Lombang.
Keringat bercucuran di
sekujur tubuh Said. Ia khawatir, takut terjadi apa-apa pada Lombang.
“Bagaimana kalau besok siang
Lombang gagal ikut kontes? Kalau sampai gagal, sama saja aku kalah KO dari
Hilal. Mau ditaruh di mana mukaku?” gumam Said seraya menggaruk-garuk rambutnya,
yang sebenarnya tidak gatal.
“Hei, kau,” Said memanggil
salah satu anak buahnya.
“Ada apa, Bang?” tanya anak
buahnya.
“Cepat pergi ke rumah Keh Tarebung.
Dan jelaskan pada beliau tentang keadaan Lombang.”
Anak buahnya pun langsung
berangkat ke rumah Tarebung.
Said gelisah, mondar-mandir
di depan kandang, menunggu kedatangan Tarebung.
“Apa yang terjadi dengan
Lombang?” tanya Tarebung, yang secara tiba-tiba datang menghampiri Said.
“Lombang pingsan, Keh,”
Said menjelaskan.
“Tenang, biar saya yang
tangani. Serahkan semuanya pada saya,” kata Tarebung, memotong penjelasan Said.
Setelah itu, ia langsung masuk ke dalam kandang.
Beda dengan Said yang dilanda
kekhawatiran karena sapi sonoknya pingsan, justru Hilal sumringah melihat Pangabasan
tidur pulas. Apalagi damar kembang tetap menyala, ia semakin
yakin, Lombang akan menjadi yang terbaik besok siang.
***
Pagi yang cerah, secerah
wajah Pangabasan, yang sedang dimandikan oleh Hilal di depan beranda rumah,
diikat pada sebuah tiang yang terbuat dari kayu jati.
Setelah dimandikan,
Pangabasan didandani dan dihiasi bermacam-macam aksesoris. Badannya diberi baju
kebesaran layaknya permaisuri raja. Baju berbahan kulit yang dililit ke
perutnya, baju berhias pernak-pernik manik-manik. Kepalanya juga diberi
mahkota. Tanduk pun diberi selongsong hiasan emas. Aneka hiasan tampak pula
dipasang melilit di lehernya. Hiasan yang menjuntai hingga mata kaki ini,
kelihatan mewah, membuat Pangabasan tampak semakin anggun.
Setelah semua persiapan
selesai, Hilal bersama keluarga dan semua pemain musik saronen-nya
berdo’a agar Pangabasan menjadi juara satu. Bahkan ia mengundang seorang Kyai
untuk memimpin do’a.
***
Pangabasan dan Lombang
bersiap-siap di garis start. Di belakang kedua pasangan sapi itu, Said dan juga
Hilal dengan memakai baju loreng merah putih, celana komprang warna gelap,
sedang khusyuk merapal mantra.
Sesaat kemudian, kedua
pasangan sapi sonok itu perlahan mulai berjalan, meninggalkan garis start
dengan iringan musik saronen.
Meski terik matahari
menyengat kulit, namun tidak mengendorkan semangat para pemilik sapi sonok, tak
terkecuali Hilal yang penuh dengan semangat, bergoyang mengikuti irama
musik saronen. Sesekali ia berbisik kepada Pangabasan, “Ayo
Pangabasan, tunjukkan kegemulaianmu. Nikmati musik saronen-nya.”
Tak mau kalah dengan Hilal,
Said juga dengan penuh semangat bergoyang dan memberi semangat kepada Lombang.
Sementara itu, di luar arena, dengan penuh khusyuk, mulut Tarebung komat-kamit
merapal mantra.
Sorak-sorai penonton semakin
menggema, membuat suasana perlombaan sapi sonok siang itu semakin meriah. Ada
yang meneriakkan nama Pangabasan, dan ada pula yang menyebut-nyebut nama
Lombang. Namun, di tengah-tengah hingar-bingar penonton itu, tiba-tiba tubuh
Lombang roboh, tersungkur ke tanah.
Melihat tubuh Lombang roboh,
tidak sedikit dari penonton masuk ke dalam lapangan. Beberapa panitia lomba dan
pihak keamanan pun berusaha mencegah para penonton agar tidak masuk ke dalam
arena. Namun, para penonton tetap menerobos pagar pembatas, hingga dalam
sekejap, di dalam arena itu jadi lautan manusia.
Para penonton yang masuk ke
dalam arena tidak melihat Said, mereka hanya melihat tubuh Lombang yang masih
terkapar di tanah.
“Di mana Said?” tanya salah
seorang penonton.
“Enggak tahu.
Tadi dia di sini,” ujar penonton yang lain.
Tiba-tiba salah satu dari
penonton berteriak, “Itu Said.” Dia melihat Said meloncati pagar pembatas,
keluar arena.
Ya, dengan nafas
tersengal-sengal, Said meloncati pagar pembatas, menghampiri Tarebung yang
berada di luar arena.
“Kurang ajar kau, Keh.
Kau apain Lombang, hingga dia seperti itu,” teriak Said sambil
mengeluarkan celuritnya.
“Apa maksud sampean?”
tanya Tarebung sambil mengusap keringat di wajahnya.
“Gara-gara kamu, Lombang
pingsan.”
“Kenapa sampean menyalahkan
saya. Saya hanya melakukan ritual sesuai dengan perintah sampean.”
“Hah, banyak bacot. Rasakan
sabetan celuritku ini,” kata Said, marahnya memuncak.
Seraya berkata seperti itu,
Said menyerang Tarebung. Ia langsung mengarahkan celuritnya ke leher lelaki
itu. Namun, dengan cepat, Tarebung melompat tinggi, menghindar dari sabetan
celurit Said.
“Rasakan ini,” teriak Said.
Kali ini ia tidak mau gagal. Dengan penuh tenaga, ia kembali mengarahkan
celuritnya ke leher Tarebung. Namun, secara tiba-tiba Hilal berada di
tengah-tengah Said dan Tarebung sambil menangkis sabetan celurit Said. Hilal
berusaha melerai perkelahian itu.
Jogja,
2012
Keterangan:
Sapi Sonok :
Sapi yang diperlombakan dalam kesenian Madura. Sapi sonok menampilkan sepasang
sapi betina yang telah terlatih menunjukkan kebolehannya melakukan
gerakan-gerakan indah dan gemulai, yang dihias bak ratu kecantikan dengan
dandanan menarik.
Damar Kembang: Lampu berwadah mangkuk,
bersumbu pintalan kapas, dan berbahan bakar minyak kelapa. Damar
kembang merupakan pelengkap ritual dalam prosesi sapi sonok. Mati dan
menyalanya damar kembang diyakini sebagai firasat.
Jhejhen Ghenna’ : Semacam kue, yang merupakan
pelengkap ritual sapi sonok.
Sasaka :
Tiang penyangga kandang sapi.
Keh :
Kakek/panggilan untuk dukun sapi sonok.
Saronen :
Musik khas Madura.
Yenni Eka Yuanita, mahasiswa Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Suka Yogyakarta