Cerpen
Oleh
Jufri Zaituna
webgambar.blogspot.com |
Minggu-minggu
ini, Nahwi selalu menghilang dari rumah kontrakan yang tidak lama lagi akan
habis masa berlakunya. Erna, sebagai istri, sabar menunggu suaminya di depan
rumah. Wajahnya terlihat resah memikirkan keadaan suaminya yang setiap malam selalu
menghilang tanpa pamit.
Menghadapi
suami yang hanya bisa menghidupi keluarga dengan sebuah cerita pendek yang
dimuat majalah dan koran minggu. Sungguh terlampau sulit bila ingin hidup
sejahtera. Erna hanya bisa memahami atas kondisi kehidupan yang semakin rumit dengan
bekerja sebagai penjaga warung kopi untuk bisa sedikit mengurangi beban
kebutuhan hidup sehari-hari. Menabung uang gajiannya untuk nyicil sisa pembayaran
kontrakan yang sampai hari ini masih belum terlunasi. Tak lupa setiap pagi Erna
harus membelikan bubur untuk Are, anak pertamanya yang masih berumur dua tahunan.
"Bagaimana
kalau kalian tinggal di rumahku yang dulu itu? Satu-satunya rumah peninggalanku
yang sampai saat ini masih belum sempat kuurus.” Kata Pak Joni, yang pada malam
itu datang ke rumah kontrakannya.
“Rumah
yang mana, Pak?”
“Rumah
pertama kali bapak hidup bersama istriku,”
“Tapi
rumah itu masih banyak kerusakannya. Dari gedeknya yang bolong-bolong, gentingnya
ada yang bocor. Dapur mungkin harus dibuat lagi, karena sisa yang dulu telah
kujadikan gudang tempat penyimpanan barang-barang tak terpakai. Kalau bisa,
kalian juga membuat sumur agar tidak usah jauh-jauh bila butuh air untuk
mencuci dan masak-masak."
"Tapi
Pak!?"
"O,
tidak apa-apa. Kalian tinggal di rumahku itu. Daripada rumah itu tidak ada yang
menempati dan tidak terawat, lebih baik ditempati kalian.”
“Tapi
bagaimana, Pak?”
“Bapak
tidak mengharapkan apa-apa dari kalian. Bapak malah senang sekali jika bisa
membantu kalian. Karena dulu bapak juga pernah mengalami masa-masa seperti kalian.
Masa yang penuh kesulitan, masa menjalani proses hidup berkeluarga.” Pak Joni
sekian lama menunggu Nahwi pulang.
“Kehidupan
bapak tidak jauh beda seperti kalian sekarang. Dari bapak menjadi tukang
bersih-bersih di masjid, tukang becak dan bekerja sebagai pengrajin hiasan
rumah untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarga." Pak
Joni menghisap rokok
"Tapi,
dengan apa kami harus membalas kebaikan, Bapak?"
"Tidak
apa-apa. Santai saja. Besok pagi kalian datang saja ke rumah. Sekarang bapak pamit
pulang dulu."
"Terima
kasih banyak, Pak. Bapak telah banyak membantu kami. Kalau nanti suamiku datang, saya rundingkan kembali." Kata Erna
pada Pak Joni yang melangkah pergi.
"Eh,
jangan lupa sampaikan salamku pada Nahwi! Besok ajak dia melihat lokasi."
***
Di
luar, dingin semakian menggigit kesendirian. Erna masih duduk di kursi bambu. Matanya
menatap tajam pada gelap yang menggelayut di pohon-pohon pisang yang tertancap
di pinggir sungai.
Entah
pada siapa Erna akan mengadukan kebahagiaan yang datang dari Pak Joni. Sementara
suaminya sampai saat ini belum juga datang. Erna masih enggan masuk ke dalam
kamar kontrakannya. Pikirannya terombang-ambing seakan dirasuki roh-roh
kebahagiaan dan bayang-bayang kekhawatiran pada suaminya yang sudah dua hari
tidak juga pulang. suaminya yang minggu-minggu ini selalu murung, gelisah, seolah
ada sesuatu yang dipendam dalam diri suaminya.
Langit
makin gelap. Tak ada setitik bintang yang terlihat malam itu. Sunyi semakin
memperjelas suara jangkrik mengerik di semak-semak. Tak lama, Erna terpaksa
masuk ke dalam rumahnya. Erna menutup pintu, takut ada pencuri atau anjing
tetangga yang sering lewat di depan rumah kontrakannya itu. Erna menghampiri
Are yang sudah tertidur pulas di atas kasur.
Sudah
dua malam Erna tidak bisa tidur karena selalu memikirkan suami yang tidak
seperti biasanya bersikap. Erna berharap malam ini bisa langsung tidur karena
besok pagi akan pergi melihat rumah yang dijanjikan Pak Joni. Ternyata tidak,
pikirannya semakin melayang-layang pada apa yang akan diperbuat nanti ketika
akan menempati rumah barunya itu. Memikirkan bagaimana memperbaiki tempat
tidur, posisi lemari yang pas, rak yang penuh dengan buku-buku suaminya yang
sangat banyak, alat-alat dapur yang mereka punya sendiri dan dari mana uang
yang nantinya digunakan membeli barang-barang yang sudah rusak.
Erna
berharap ada ketukan pintu yang menandakan suaminya datang. Namun sampai kokok
ayam terakhir mengabarkan matahari telah bertandang di ranting-ranting bambu
menyibak angin pagi.
Erna
sudah selesai sembahyang subuh. Lalu Erna memandikan Are yang kelihatan gembira
karena akan diajak jalan-jalan ke rumah Pak Joni. Semangat Erna semakin
bertambah untuk segera cepat-cepat berangkat melihat rumah yang nantinya akan
ditempati bersama suami dan anaknya.
***
Erna
berangkat dengan berjalan kaki sambil menggendong Are. Di perjalanan, Erna
berharap akan bertemu dengan suaminya dan langsung mengajaknya menuju rumah Pak
Joni. Namun segala harapannya sia-sia. Sampai Erna keburu tiba di depan rumah
Pak Joni. Erna yang terbiasa jalan kaki, langkahnya semakin cepat ketika
melihat istri Pak Joni sedang menjemur pakaian di depan rumahnya.
"Eh,
Erna! Mana suamimu? Kenapa tidak ikut?"
"Suamiku
sudah dua hari tidak pulang," Erna menurunkan Are dari gendongannya.
"Suamimu
pergi ke mana?" Tanya istri Pak Joni, memegang pipi Are, lalu menciumnya.
"Kemarin
ketika saya sembahyang maghrib, suamiku sudah tidak ada di rumah. Entah kemana
perginya,"
"Ma,
kok Erna tidak diajak masuk?! Pasti dia capek!" Kata Pak Joni yang
tiba-tiba keluar dari dalam rumah membuang puntung rokok di tempat sampah.
"Ayo
masuk! Kami sudah menunggu dari tadi," kata istri Pak Joni sambil
mengambil bak besar tempat cuciannya yang sudah selesai di rentangkan.
Mereka
berjalan menuju pintu yang sudah terbuka lebar. Rumah Pak Joni yang sekarang
sudah berlantai keramik. Tidak seperti rumahnya yang dulu. Rumah yang nantinya
akan ditempati Erna dengan suaminya. Ruang tamu yang luas dan unik. Karena tak
ada sofa dan meja yang mengisi ruang tamu, melainkan lantai yang sebagian
sisinya ditinggikan dari lantai dasarnya, seolah disulap menjadi tempat duduk
para tamu yang berkunjung. Sebagian menjadi tempat Pak Joni untuk melukis. Di
dindingnya, menggantung foto Pak Joni bersama istrinya sewaktu mantenan dulu, karikatur
Pak Joni yang mengendarai becak, lukisan seorang ibu yang menyusui anaknya,
cenderamata yang menumpuk di atas rak buku, serta parang yang meggelantung
melintang di atasnya.
Tak
lama setelah berbincang-bincang di dalam, mereka berangkat menuju rumah yang
nantinya akan ditempati oleh Erna, Nahwi dan anaknya. Mereka berjalan dengan hati-hati,
karena jalannya becek. Erna memilih berjalan membuntuti istri Pak Joni yang
menggendong Are. Lalu di depannya Pak Joni berjalan pelan melewati pinggir kolam
ikan lele, barisan pohon pisang, dan pohon rambutan di sepanjang jalan menuju
rumah yang kelihatan angker, kumuh.
Setelah
mereka sampai di depan rumah itu, dengan segera Pak Joni membuka pintu yang
tidak terkunci itu. Bunyi derit panjang mengikuti dorongan tangan Pak Joni pada
daun pintu. Mereka sama-sama masuk ke dalam ruangan yang berantakan. Perabotan
dapur yang menggantung di setiap gedeknya yang bolong-bolong. Dipan yang sudah
keropos, karpet yang terhampar sudah terlihat kusam warnanya karena debu-debu tebal
menutup warna aslinya.
Pandangan
mereka sudah ke mana-mana. Pak Joni berjalan sendirian mendekati kamar yang
dulu menjadi tempat dirinya menulis cerpen. Kini Pak Joni seakan menziarahi
kembali kuburan masa lalunya sewaktu penderitaan masih hidup bersamanya. Dengan
segera Pak Joni membuka pintu kamarnya yang biasa ditempati untuk menulis. Mendorongnya
perlahan-lahan, sampai pintu itu benar-benar terbuka lebar. Pak Joni langsung
tersenyum ketika melihat mesin ketik peninggalannya masih utuh. Namun seketika kegaduhan
datang dalam mata Pak Joni melihat darah kental berlepotan di sekitar kursi
yang terjungkal.
"Tidaaaaak!"
Teriak
Pak Joni, ketika melihat sosok tubuh yang tergantung. Sosok tubuh yang berputar-putar
seperti gasing yang dimainkan anak Pak Joni sewaktu di rumah. Mata yang melotot
seperti mata kucing. Hidung dan mulutnya mengalikan darah dingin. Lidahnya
menjulur seperti lidah anjing. Seketika pula Istri Pak Joni yang menggendong
Are langsung menyerobot masuk ke dalam, bersama Erna yang langsung pingsan
melihat sosok tubuh yang tergantung itu.
Yogyakarta,
2010-2012
Jufri Zaituna,
lahir di Sumenep, Madura, 15 Juli 1987. Puisi-puisinya dimuat di Majalah Sastra Horison, Kedaulatan Rakyat,
Jawa Pos, Minggu Pagi, Merapi, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal
Sajak, Suara Merdeka, Radar Madura, Kuntum, Muara, Bakti, Sumut Pos,
dan beberapa antologi bersama: Ya Sin
(PBS,
2006), Merpati Jingga (PBS, 2007),
Annuqayah dalam Puisi (BPA,
2009), dan Mazhab Kutub (
Pustaka Pujangga, 2010), kumpulan cerpen pilihan
koran Minggu Pagi Tiga Peluru (Trataq
Media,
2010), Penganten Tamana Sare (Bawah
Pohon,
2011), dan Antologi Puisi Suluk Mataram:
50
Penyair Membaca Yogya, (GREAT Publishing, 2012).