Cerbung Episode ke 18…
Oleh Sofi Muhammad
Langit kubiarkan
tetap dalam kebiruannya. Meski sesekali ia lambaikan tangan-tangan putihnya
namun sang angin sering kali terlalu cepat muncul. Membawanya pergi kemudian ia
jadi bersih kembali.
Padahal, tak selamanya
kemurnian itu menyenangkan. Kontaminasi terkadang diperlukan tanpa harus
membuatnya menjadi lebih buruk. Yang ada malah semakin sempurnanya hidup. Tanpa
dia, tak akan ada banyak warna.
Tapi, kini angin
sedang tak bersahabat. Kedatangannya selalu saja bertubi-tubi. Menyibakkan apa
pun yang akan menghalangi satu-satunya biru di hatiku. Menjadikannya
benar-benar biru, biru!
“Apa yang
sebenarnya kau cari selama ini?” tanya Rio yang sepertinya tak hendak secepat
itu berhenti menginterogasi.
Sementara itu,
mulutku malah terasa semakin terkunci manakala lagi-lagi, ia bertanya. Seolah
semua pertanyaannya hanya kurasakan bagai sehembusan nafas kosong yang tak
berarti. Aku masih juga tak hendak berbagi yang kurasa itu masih jauh lebih
baik untuk kulakukan kini.
Tak hanya Mbak Dian,
tapi Rio juga pasti. Meski baru praduga tapi seolah sudah kulihat benar
bagaimana ekspresi mereka nanti jika kukatakan bahwa aku sedang mencari
seseorang. Mungkin akan ditertawakan, atau yang lebih parahnya lagi, dimarahi!
Aku benci dan bosan
dimarahi. Bertahun-tahun dulu saat masih di rumah Mami, sudah terlalu sering
aku dimarahi. Alasannya ada-ada saja, padahal kutahu itu hanyalah hobi.
Meski bukanlah hobi
Mbak Dian, atau Rio marah-marah, tapi aku rasa, mereka akan melakukan itu jika
tahu apa yang sedang aku cari. Bukan hanya sekadar sebentuk Arya tapi juga
kebahagiaan. Aku sedang mencari kebahagiaan yang berbeda jauh dari yang mereka
inginkan!
Kurasa, Rio tak akan
pernah mau mengerti andai kuberbagi. Lagi, biarlah tetap kusimpan kini dan
nanti. Tatapannya yang menghiba itu, biarlah kuabaikan saja. Aku lebih tidak
percaya dengannya melebihi pada siapa pun.
“Laras, kau ini
semakin membuatku penasaran,” katanya lagi. “Bertahun-tahun tapi kau tetap saja
bungkam.”
Kuteguk beberapa
air putih demi untuk bisa menyumpal mulutku. Aku tak ingin berkomentar apa pun
yang mampu merangsang pengetahuannya.
Jika sesekali angin
berhembus, kuikuti saja arahnya. Ikut kurasakan kesejukannya walau kutahu bahwa
ia telah membawa pergi separuh jiwaku. Memisahkannya dari ragaku yang kerdil
dan tak mampu melawan keganasannya.
“Yang minum, yang
minum,” seorang pedagang asongan –lagi- menawari kami yang masih duduk
menghadap danau. “Minum, Mbak, Mas?”
“Minum, Pak,”
jawabku segera mengingat air di botol yang kupegang sudah menipis benar.
“Kacang rebusnya
sekalian, Mbak?”
“Ah, tidak.”
“Atau, arem-arem?”
“Nggak, Pak.”
Ketika hendak
kuambil uang di saku, buru-buru Rio membuka dompetnya. Mengambil uang sepuluh
ribu lalu diserahkan pada pedagang asongan itu.
“Aku bisa bayar
sendiri,” kataku mencoba untuk tak berhutang budi.
Tapi, si Rio tetap
tak menghiraukan percobaanku.
“Kembaliannya buat
Bapak saja,” katanya pada lelaki setengah tua yang berdiri di depan kami.
***
Monyet hitam tetap
saja bergelantungan, ular tetap berdesis dan para burung masih juga berkicau.
Jika semuanya tak perlu berubah, apa semua ini bakal selamanya hanya begini.
Nasibku, apa harus terlunta-lunta selamanya dalam angan-anganku?
Kuedarkan
pandangan. Kutatap bebek-bebekan yang sedang berputar mengelilingi danau,
setelah bosan, kulihat gajah besar yang disewakan sebagai tunggangan.
“Mau naik itu?”
tanya Rio.
“Apa?”
“Itu, gajah itu.
Mau?”
“Nggak ah, cuma
seneng liat aja.”
“Naik aja, sama
aku, ya!”
“Nggak, ah.”
Tapi, Rio terlanjur
menyeret tanganku. Hingga aku tak bisa berkutik kecuali hanya menurut saja. Terlalu
banyak orang di kebun binatang ini. Malu jika kutolak tarikannya seperti anak
kecil yang tak mau berangkat sekolah setiap pagi.
Hanya perlawanan
setengan-setengah yang jauh lebih lemah daripada tarikan kuatnya. Tapi, setelah
kupikir-pikir, mungkin aku butuh ini. Terlalu lama diam membuat
tulang-belulangku pegal. Olahraga kecil-kecilan semacam ini pasti akan jauh
lebih baik.
Perorangnya lima
ribu rupiah dalam sekali putar mengelilingi beberapa patah jalan. Tentu saja
Rio yang membayarkan. Ternyata lumayan juga kalau tak sendirian. Apa lagi sama
cowok yang agak sombong seperti dia.
Jam sudah
menunjukkan pukul dua siang. Harusnya aku takut berpanas-panasan. Tapi,
ketakutan itu kini sedang tidak berlaku. Aku hanya ingin bisa menikmati apa pun
yang bisa kunikmati sekarang.
Sambil menunggu,
mencari, menunggu, dan mencari terus, aku toh tak perlu menyiksa diri. Jika ada
seseorang yang menawarkan sesuatu, apa salahnya aku coba karena mencoba pun tak
harus membeli.
“Aku masih penasaran,
Laras,” kata Rio sambil memelukku dari belakang.
Tentu saja
kubiarkan dia karena kami kini sedang bersama dalam satu punggung gajah yang
telah dibayar lima sepuluh ribu dua kepala.
“Dengan apa?”
“Kamu,” jawabnya,
“apa yang kamu cari?”
Aku malas lagi jika
ia mulai membahas itu. Sangat benci jika ada yang hendak menyampuri urusan
pribadiku. Memangnya siapa dia. Saudara bukan, pacar bukan. Pentingnya juga apa
coba. Paling juga tak bisa membantu apa-apa.
“Kamu nyari
seseorang?” tebaknya. “Siapa? Pacarmu?”
“Iya,” jawabku
reflek karena otakku sedang berada di ujung tanduk ketika kami telah turun dan
mulai berjalan hendak pulang. “Aku mencari seseorang yang sangat kucintai,
Arya.”
“Arya?”
Arya? Ya Tuhan, aku
bahkan telah mengatakannya. Ternyata, terlalu lemah jiwa ini jika harus
memendamnya dengan sangat lama. Parahnya lagi, Rio justru menjadi yang pertama
tahu. Aku mulai takut dengan sesuatu. Ada sangat bermacam-macam dugaan buruk di
kepalaku.
Baca juga: