Puisi
Aku Ingin Melukis Malam Dengan Darahku
Secuil
kisah terbentang di layar warna kehitaman bercorak bintang
Terjun
dengan kicauan mesra di samping malam
Sejak
itu tangan yang kaku mulai merayu untuk melukis malam
Dengan kuas
panjang bertinta air surga
Angin
merampas dengan ganas
Meski
panas tak bermalam di ketiak sunyi
Aku
sempat cemburu dengan alunan celotehmu
Mengotori
nafas yang panjang tanpa haluan
Semoga
bisa menjamu rasa dengan ramuan pilu
Dibagi
rata tanpa harus pergi bersama intan yang tersimpan dalam rasa
Aku
ingin melukis malam dengan darahku
Ketika
hujan menjadi bencana akan cerita cinta yang terpotong hujatan
Jombang, 151012
Ingin
Kucium Matahari dengan Beriak Isi Tenggorokanku
Panas
menjadi selimut yang terang
Menjamu
rasa rindu akan hujan
Celah
berbenturan dengan do’a
Doa yang
melencar dengan cepat dari orang yang jauh dari peradaban tanah sawah
Bertemu
di kaki langit dengan sepucuk do’a dari daun buah semangka
Yang
berteriak bukan petani yang melawan matahari
Namun
juga pedagang es yang kian dibanjiri rasa haus
Sela-sela
menjadi rasa
Bukan
soal menjadi buta do’a
Harapan
akan hujan
Menumpuk
menjadi bintang yang akan ditaburi awan gelap
Hujan
turunlah dengan harapan yang tak pernah diduga
Ada yang
kecewa dan ada yang menderita
Panas
biarkanlah rasamu menjadi selimut
Bercampur
angin dan debu menjadi istilah hidup penuh dengan godaan
Jombang, 151012
Masih Soal Panas
Di ujung
sana berdiri kokoh gunung menggantung
Ditancapi
dengan bangunan nan merdu penuh dengan gairah
Suara-suara
alam buatan menjadi intrik akan kehilangan masa depan
Susunan
rumah kecil penuh kamar
Bertolak
belakang akan kemapanan
Menjadi
bekal pemilik untuk masuk ke festival neraka
Titik
temu nafsu yang dibungkus rindu
Menjadi
buah kehancuran rasa kenikmatan
Enak di lidah
hancur di tenggorokan
Jombang, 151012
Akupun
Tak Kuasa
Akupun
tak kuasa
Mendengar
deru hujan yang turun perlahan
Penuh
dengan tanda tanya
Akupun
tak tahan
Dengar
tiupan angin yang kencang
Berhembus
penuh rasa di dada
Akupun
takut jauh darimu
Akupun
takut dengan segala semua dosaku
Akupun
tak kuasa
Menahan
air mata yang jatuh perlahan
Dengan
segala dosa
Akupun
tak tahan
Mendengar
celoteh alam yang semakin ganas
Menerkam
manusia
Akupun
takut jauh darimu
Akupun
takut dengan segala semua murkaMu
Biarkanlah
apa yang terjadi
Biar
terjadi
Salatiga, 091012
M. Maksum (Muhammad Mak Al Fine), lahir
di kota Salatiga. Belajar di group Yayasan Cendol Universal Nikko
CENDOL (CErita meNulis dan Diskusi OnLine). Beberapa karyanya dimuat di media massa.
Sekarang tinggal di kota Jombang, tepatnya di pondok Darussalam. Buku kumpulan cerpen pertama Kapan Ibu Mencium
Keningku Lagi.