Puisi
Malam
di Bawah Jembatan
Rintik hujan terus mengguyur tubuhmu
yang renta
Mataku merindukan air mata, memeluk
tubuhmu dengan mesra
Angin menemaniku menari di ujung
rambutmu yang basah
Akupun mati derita, lalu terpisah hanya
luka yang tersisa
Luka, mematahkan kepala tuhan yang
terjatuh di pangkuanku
Menyusun rintik hujan menjadi malam,
lalu larut di bawah jembatan
Inginmu mengambang pada malam, air
mataku tak bisa mengartikan
Meski tuhanku dan tuhanmu sudah aku
telanjangkan
Lalu kepada siapa air mata ini akan
mengembara mengadu nasibnya,
Kepada angin, awan, atau kepada hujan
?.
Rasanya tak mungkin, karena mereka tak
bisa berpikir
Aku hanya berharap tuhanmu yang mati
tercenung
Masih bisa berkilap membuka kelaminmu
yang berlagu
Setidaknya aku bisa tenggelam ke dalam
mimpimu
Diantara Langkahmu yang terus menghelai
langkahku
Saat jam tanganku sudah lelah mengeja
waktu
: Hidupku dalam kematian dan matimu
dalam kehidupan
Jogja, 2013
Kertas
Ibu membekaliku selembar kertas
Putih, bersih, suci seperti jiwa
Muhammad.
Menyuruhku untuk menulis
Mengajariku untuk membaca
Supaya aku mengenal Tuhan dan agama
Jogja, 2013
Aku dan Kamu
Sejarahku dari tanah dan batumu
Meski engkau tak lagi bersamamaku
Ari-ariku masih terikat dengan tubuhmu
Karena,
Tulangku,
Dagingku,
Darahku,
Nyawaku,
Semuanya terlahir dari bapak dan ibumu.
Jogja, 2013
Statusmu
adalah sajakku
Kosong-kosong: kosong satu
Diriku hinggap dalam facebookmu
Kubaca dan kuraba setiap statusmu
Lalu kuolah dalam otakku
Kosong satu: kosong-kosong
Fikirankku melompong lalu bolong
Beranak dalam kepongpong
Tenggelam dalam gentong
Penaku berjalan jadi ular
Dalam jiwamu yang selalu liar
Menulis sajak dalam nalar
Hingga aku berkali-kali terlempar dari
kamar
Kuhirupnapasmu
Kuhirup jiwamu
Kuhirup tuhanmu
Lalu kutulisstatusmu dalam sajakku.
Jogja, 2013
Mantra
Mengundang
kuundang
Tenggelam
merobek malam
Terbalik
membalik kelapa jingga
Mendongeng
dalam cerita
:
mantra memeluk jiwa.
Mantra api mati
Mantra air mengalir
Mantra angin terbang
Mantra bumi tenggelam
Mantra langit buram
Mantra dewa menghilang entah kemana
:
tinggallah aku telanjang dalam mantra.
Rudal, 2013
Tanda
Tanya dan Tanda seru
Hidupku tak punya tanda seru
Hanyalah ada tanda tanya
Karena ayahku dulu bilang,
“Hidup haruslah penuh dengan tanda
tanya, anakku. Kamu harus belajar itu. Hilangkan tanda seru, biar kamu tidak
selalu mengeluh”
Jogja, 2013
Kembalilah
Pagi, siang, sore, malam.
Pagi lagi, siang lagi, sore lagi, malam lagi.
Pagi lagi, siang lagi, sore lagi, malam lagi.
Kembali pagi,
kembali siang, kembali sore, kembali malam.
Cukup!
KEMBALILAH
SEMUANYA
Pada pagiku,
siangku, soreku, malamku.
Aku tunggu dalam kamarku!
Aku tunggu dalam kamarku!
Rudal, 2013
M Kholil Ramli, lahir di Desa Batudinding, Kec. Gapura, Kab. Sumenep, Madura. Kini belajar di Komunitas Rudal Yogyakarta, tinggal di
Yogyakarta.