Puisi
Aku
Datang Padamu
Sebutir
apel berlumuran darah. Berhari kau sembunyikan sebagai tampungan maha rindumu.
“Makanlah. Ini bagianmu,” katamu bahagia
Aku
datang padamu dengan begitu sederhana, dari arah yang belum hendak kau pahami.
Tanpa wangi kemenyan, tanpa biji bija, karena kembang-kembang yang dulu
kupetik dari gerai rambutmu, telah hilang dibawa gelombang
“Ini
akhir zaman, Nak. Kalki Awatara sedang memacu kudanya ke arah jantung
kita,” bisikmu. Aku hanya tersenyum membiarkanmu selalu lega
Kau
masih begitu setia menaungi gelisahku, seperti bertahun yang lalu saat
kuguncang jantungmu dengan huru-hara manusiaku. Usiamu makin letih. Aku ingin
mengajakmu pergi dari tanda-tanda luka. Mencapai padang-padang doa
21 Juli 2012, 16:51
Ketika
Pelukan Kita Berlepasan
Ke
dalam luasan retinamu, aku tampung setiap detik dari luruhan usiamu. Malam kita
makin gaduh oleh segerombolan gelisah. Rambutmu jadi kuyup oleh rintik doa,
sedang kita jadi abai ketika jejak-jejak kita berserakan entah kemana
“Aku
telah mencuri sebutir debu dari garis alismu,” katamu. Tapi aku tak merasa
pernah mengolah tubuhmu malam itu, ketika kau membisik, “Di dalam Babad Lombok
pun ada persetubuhan liar.”
Di
sisa reruntuhan tahun-tahun, aku makin tak mengerti caramu tersenyum. Kita
terakhir berbagi rindu ketika kita menggedor pintu sejarah dengan doa yang
lahir prematur
Dari
arah jalan pulang, kau tak henti mengucap: “Tuhan tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan.” Dari dalam rumah ibadah aku mendengarnya sayup-sayup,
menderai-derai, hingga menghujam ke dalam wangi doa
27 Juli 2012
Jero
Nyoman Padiana
“Tangan
suci Maharsi Markandya telah menyerahkan peta pengabdian padaku,” katamu dalam
SMS yang kubaca setelah setahun kemudian itu
Jero
Nyoman Padiana, layaknya perjalanan orang-orang Arya, kau tempuh Lombok-Bali sebagai jarak
keranda-nyala dupa. Aku tahu, di Besakih, tak akan kau temukan munajat sesayat
doaku, karena kau tak kunjung enten dari keteguhan Tri Murti
Semasa
kecil kita pernah sama-sama bermain dadu, mengundi keping-keping uang logam,
yang menjadikan kita lega dengan sekian peluang yang ada. Di setiap destinasi Tirtayatra,
kau membaiat peluang, mengundi takdir layaknya permainan masa kanak. Meski kau
ber-Tirtayatra sampai ke dalam diri, tak akan kau temukan peluang yang
kita legakan dulu
Jero
Nyoman Padiana, aku telah menggedor pura pura-puramu. Di beranda
facebook ini, keteguhan mitologi-mitologi nenek moyang bertandang mengakrabi
peradaban, sedang pura pura-puramu abai merenungi
28-29 Juli 2012
Sembilan Hari Dalam Naungan Langit Denpasar
Rinduku kembali kambuh oleh serbuk
kenangan yang kembali menggerimis pelan-pelan, kenangan akan kota yang
mengakrabkan aku pada narasi-narasi panjangnya yang elok
Denpasar, kota yang jelita.
Sembilan hari kuarungi lautan romansanya. Sembilan hari kuhirup wangi tubuhnya.
Sembilan hari bagai kujumpa puisi dalam ruang sunyi
Pada malam-malam panjang dengan
nyala lampu bagai hamburan kunang-kunang, kurenungi jarak: Denpasar – tanah
kelahiran. Ada kisah yang tak kunjung selesai, layaknya untaian mimpi-mimpi bunga
Denpasar, kota urban yang tak lagi
perawan. Kota yang begitu gaduh oleh gerak menyeluruh. Kota yang berpeluh dalam
mencapai jarak tempuh
2012
Ketika Denpasar Menjadi Tampungan Segenap Doamu
buat ibuku Desak Wayan Sasih
Di puncak doa pada malam-malam
panjang kota Denpasar, bakaran dupa masih mengepulkan maha rindumu. “Tirtayatra
tak sekedar perjalanan tradisi,” katamu. “Bertamu untuk meneguhkan kasih tak
bertepi. Menyelami airmata doa sampai muara. Menyelamatkan atman dari akhir
reruntuhan cahaya yang hampa.”
Kembang-kembang yang mengganda di
ubun-ubunmu, berguguran ke arah wajahku. Pura-pura yang berserakan dalam
radius gaduh kota, telah bertahun kehilangan cemas yang agung. Betapa Denpasar
memanjakan doa-doamu
“Dari kota ini, aku seperti
menemukan arah jalan pulang. Sedang derap kua Kalki Awatara makin mengguncang
sisa usiaku,” ucapmu teramat pelan, saat malam tinggal sejengkal
Dari arah jalan pulangmu, aku
menyaksikan kembang-kembang berguguran disentuh alunan trisandya yang
menyerbu dari gerai rambutmu
27 Oktober 2012
Tiga Pertemuan Kecil
- Monumen
Bajra Sandhi
Adalah keteguhan yang ganda: para
dewa dan Tirta Amertanya di Mandara Giri
Sedang para raksasa yang disembur
wasuki, kini bereinkarnasi
Lahir sebagai raksasa-raksasa
urban
Bukan lagi Tirta Amerta sebagai
destinasi mimpi
Tapi darah, bahkan yang menetes
dari luka ibunya
- Patung
Catur Muka
Empat arah jalan pulang
Menggetarkan doaku
Aku berdiam di sejengkal pijakan
Ketika doa terbaik bernama sunyi
- Pasar
Kumbasari
Sebuah ukiran dengan lekuk-lekuk
tak sederhana
Tertimpa canang yang
dipersembahkan tanpa doa
Sedang aku tak menemukan
kembang-kembangnya masih wangi
Diam-diam, ibuku menggeleng seraya
merapikan doa-doanya
29-31 Oktober 2012
Episode Denpasar
Matahari turun di Denpasar
Kota taman, taman dewa-dewi
Denpasar, destinasi melampaui puisi
Orang-orang asing yang tak lagi asing
jadi nyenyak bertahun-tahun
di-ninabobo-kan kota yang jelita
Perjamuannya layaknya di atas padma
Denpasar, kota cahaya berlapis doa
Matahari berdiam dalam tulangpunggungnya
Sebelum secangkir kopi kuseruput pagi-pagi
Denpasar adalah topik yang melebihi hangat kopi
31 Oktober 2012
Denpasar Berenang
Kota ini
Berenang dalam akuarium
yang serupa tempayan manu
Ada sirip-sirip kecil menua
Labirin tanpa gerak kompas
Air adalah Gangga yang sakral
Amnion bagi kota
Kata adalah miniatur ganggang
Kata adalah miniatur kota
Kota ini
Berenang dalam komputer
Seperti kursor
Memilih, menjelajah
atau kembali
01 November 2012
Lauh Sutan Kusnandar, lahir di Lombok Barat, NTB, 09
Januari 1988. Karya-karyanya telah dibukukan dalam sejumlah antologi bersama,
antara lain: TigaBiruSegi (Desember 2010), Munajat Sesayat Doa
(Januari 2011), Sketsa Angin di Atas Pasir (Maret 2011), Rumah Air
(Juli 2011), Kepadamu, Pahlawanku (2011), Atas Nama Bulan yang
Dicemburui Engkau (2011), Bingkai Kata Sajak September (Februari
2012), Dari Takhalli Sampai Temaram: antologi puisi 22 penyair NTB (2012),
Sajak Pohon Bakau (2012), Indonesia Dalam Naungan Doa Kami
(2012), Ayat-ayat Ramadhan (2012), Selayang Pesan Penghambaan
(2012), Guci Berdarah (Agustus 2012), Suara 5 Negara: antologi
puisi 5 negara –Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan
Thailand- (Agustus 2012), poetry poetry 226 Indonesian poets: Flows
into The Sink into The Gutter –antologi dua bahasa- (September 2012), Bulan
Sembilan (September 2012), Galau Antariksa (Oktober 2012), Sepanjang
Masa (Oktober 2012), Antologi 250 Puisi Cinta Indonesia (November
2012), Permata Kasih (2012), Ayat-ayat Rindu (2012), Selayang Mimpi (2012), Igau Danau:
antologi puisi Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci XII 2012 (2013),
bersama M. Zainul Kirom menulis antologi puisi Jemari Tinta di Pulau Lombok (2012), Lukisan Ibu Pertiwi: antologi puisi tinta emas 3 (2013), Korean Idol (2013), Mekanika Kuantum (2013), Sweet
Pain of Love (2013), Simfoni Serdadu
Gigi (2013), Titian Rindu (2013),
Untuk Indonesia (2013), Amarah (Januari 2013), dan beberapa
judul lagi yang segera terbit. Juga telah dipublikasikan di sejumlah media
cetak.