Puisi
Delirium
Rayuan Api
Begitu aku menjadi bukan tukang apa-apa.
Hanya membiarkan dua ribu rupiah terbuang
demi tisu-tisu yang membasah.
Hujan sungguh pasrah.
Ketika pohonan membaca api hingga ia
tertidur dan lupa diri.
Belantara semakin api.
01.02.2013
Yang
Begitu Engkau
manis yang begitu madu, asin yang begitu
garam.
Ruh mencari seutuh tubuh
Pada pagi yang begitu subuh
Pada basah yang begitu basuh
Pada suatu ketika dirimu mencari dirinya
sendiri
Diri yang begitu engkau
01.02.2013
Orang-Orang
Pagi
Sinar matahari yang begitu kopi.
Pada suatu entah, sunyi mencari tepi.
Seperti bumi yang menari Rumi
Riuh Manusia kantor pada jalan yang semakin
bermotor
Bersikeras mencari keniscayaan yang kertas
Bersipaut pada bayangan yang mengejawantahkan
cahaya.
Pada didih jalan seterik gurun yang
mengairmatakan peluh demi kenyataan paling senyum.
Jarum jam baru saja terbangun.
Orang-orang melangkah ranum.
01.02.2013
Menuju
hujan
: Januari
Hujan datang begitu rajin.
Aku menanak airnya dan memasak angin.
Tak mengerti aku dengan jarak, juga waktu.
Namun setidaknya itu yang barangkali
membuat kerdil langkah ini jauh.
Anak dara bermain niscaya, kepada airmata
tisu-tisu basah percuma.
Begitu aku bukan tukang apa-apa.
01.02.2013
Tarian-Tarian
Separuh Dansa
Ingin sekali kupu-kupu hinggap di sekuntum
bunga.
Memilin cincin pada sebuah ruang hampa di
jemari.
Pada puncak yang begitu gunung tubuh itu
berlari.
Mencari hampa paling sunyi.
Sebagus bumi menari Rumi.
Riak terdengar mendadak bergerak hampir
hentak.
Sebentar lagi riuh jadi suara.
Aku berteduh di tubuh.
Separuh.
01.02.2013
Dan
Barangkali Engkau
: Desember
Kepada bulan-bulan yang menasbihkanmu
sebagai akhir riwayat perjalanan tahun.
Kau membuatku berani keluar rumah dan
hujan-hujanan
Basah dirimu begitu berpidato kepadaku.
Sungguh
Tentang hidangan yang akan terlampau gigil
menunggu tuannya
Dan walaupun kisah tentang kerinduan
bukanlah hal yang menakjubkan
Namun perjumpaan itu seperti pelangi yang
mewafatkan yang hujan
Begitu kau lakukan itu padaku.
: Desember
25012013
Percakapan
Tentang Piala
Kau menepuk pundak dan kita saling kenal.
Aku bilang “sampai jumpa di final”
--Di
stadion—
Beberapa raut wajah menunggu dan aku
tersenyum sia-sia untukmu
Terompet membunyikan dirinya pada
sunyi-sunyi telinga dan peluit ikut serta
Inilah dunia sembilan puluh menit yang
sering dibicarakan
Seperti yang anda ketahui, beberapa berjudi
atau tertidur di depan televisi
Di tribun beribu pasang mata mengembun
Namun takkan pernah peluhku mengairmatakan
tangis
Tiada sudah ada ruang di bola itu untuk aku
bermimpi
Papan skor
itu mencuri sudut kerlingku, terbentang tulisan-tulisan dan beberapa tepuk
tangan berpidato untukku
Tangan-tangan mungil itu menyulut cahaya
dan bermain lampion.
Di sini. Stadion.
Kelak aku akan kembali dan bawa serta piala
yang kutitipkan untukmu.
18.01.2013
Deska Setia Perdana, lahir di Pati, 15 Desember 1990. Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni IKIP PGRI Semarang. Puisinya pernah dimuat di Suara Merdeka, Buletin Keris, Lembah
Kelelawar, Majalah Vokal, serta masuk dalam antologi puisi “Menembus Ranah
Seniman Pati” (2009); “Adalah Debu” (2010); “Dongeng Tentang Batu”(2012). Cerpennya
pernah dimuat juga di antologi “Perempuan Bersayap di Kota Seba” (2011). Esai
tergabung dalam kumpulan esai “Mengingat Guru“ (2012). Bergelut di UKM KIAS
(Kajian Ilmu Apresiasi Sastra) dan Komunitas LACIKATA
Semarang.