Cerpen
Oleh Sulung Pamanggih
Suatu
ketika istriku meminta aku menikah lagi. Jelas aku menganggap itu adalah
jebakan, semata-mata hanya menguji kesetiaanku. Selama hampir lima tahun hidup
bersama, kami merasa bisa saling memahami. Terangnya, keluarga kami baik-baik saja,
tiada sesuatu pun yang perlu dirisaukan, dan bahagia. Tapi, apa perlunya
jebakan macam itu?
Sore
hari, sepulang dari kerja, istriku terlihat tak seperti biasanya, makin cantik
dan bertambah ramah. Dengan halus, bahkan terkesan hati-hati dia melepaskan
kemeja yang aku kenakan. Aku canggung sendiri dibuatnya. Seingatku, hal itu
memang pernah dia lakukan, tapi hanya saat-saat masih pengantin baru. Perlahan,
kebiasaan itu pun hilang. Aku memaklumi, waktu memang bisa menghendaki
segalanya, apalagi mengubah perilaku manusia.
Namun
sore itu, tiba-tiba dia kembali melakukannya. Aku mendadak merasa diseret oleh
bayang-bayang masa lampau yang bergairah, yang penuh takjub.
Aku
rebah di bangku panjang di ruang tengah, dan menyalakan televisi. Istriku
menghampiri, mengantarkan kopi panas beserta senyum di wajahnya. Lalu duduk di
sebelahku, pelan memijat kakiku.
”Mas,
kau tak ingin menikah lagi?”
“Cuma
lelaki paling sial yang memilih meninggalkan istri sebaik kamu.”
“Aku
serius, Mas...”
“Kau
sendiri yang pura-pura menanyakan itu.”
“Kau
menikahlah segera!”
Aku
tertawa. Tak benar-benar menanggapi. Pastilah. Pastilah istriku sedang
bergurau. Mana mungkin seorang istri minta dirinya dimadu. Ahh, mahluk apakah
kiranya yang telah hinggap di benak istriku sehingga ucapan semacam itu keluar
dari mulutnya?
Aku
memang pernah mendengar kisah seorang lelaki yang dinikahkan oleh istrinya
sendiri lantaran sang istri merasa gagal memberinya keturunan. Tapi tentu saja
itu tak berlaku kepada istriku. Dia adalah perempuan yang hampir tanpa
kekurangan, setidaknya menurutku. Dia telah berhasil memberikan aku seorang
bocah yang lucu menyenangkan. Selalu sigap menyiapkan sarapan ketika pagi tiba.
Memomong anak kami yang mulai gemar berlarian. Serta membuat isi rumah selalu
bersih. Sebagai seorang suami, telah aku rasakan kesetiaannya, menuai
pengabdiannya yang meruah tiada lelah.
Begitulah,
mengapa hingga kini belum terlintas dalam benakku keinginan untuk menikah lagi.
Selain itu, barangkali aku cukup tahu diri. Sebagai karyawan pabrik gula di
kota kecil, yang bekerja sesuai musim, membuatku urung mendambakan istri muda.
Tidak salah bila kemudian aku menganggap ucapan istriku adalah semacam lelucon
yang murahan. Namun, ketika permintaan itu kembali terulang hingga beberapa
kali, apakah masih juga dikatakan main-main?
***
Apa
boleh buat, akhirnya aku tergoda menuruti anjuran istri: menikah lagi!
Pertama-tama tentu aku harus mencari wanita lain yang bersedia kuajak nikah.
Aku sadar, mencari pasangan tidak semudah mencari sepatu, apalagi bagi lelaki
yang sudah beristri. Maka itulah, kuubah penampilanku, setidaknya biar terlihat
lebih rapi. Mulailah aku berpetualang mencari istri baru.
Kukabarkan
petualanganku kepada seluruh kawan lelakiku. Berharap mereka bisa membantu.
Setidaknya, supaya usahaku sedikit lebih ringan. Sedangkan kepada kawan wanita,
yang menurutku cantik, tak henti-hentinya aku merayu. Tetapi sungguh, apa yang
aku dapat hanyalah cemooh. Mereka meminta aku suruh ngaca. Atau paling halus mereka akan menanggapi: “Ingat anak istrimu di rumah!” Ringan saja aku menyahut, “Justru istriku
yang menyuruh aku menikah lagi.” Lalu, dengan sangat enteng pula mereka
membalas, “Sungguh itu kabar baik buat aku seandainya kamu lelaki kaya,
sayangnya... Maaf yahh!”
Mmm.
Sebenarnya masih banyak tanggapan lain dari mereka yang pernah kugoda. Tapi cuma
sebagian itulah yang terus aku ingat. Dan tahu-tahu, sudah dua minggu waktu berlalu.
Aku belum juga menemukan istri baru. Aku putus asa.
Saat-saat
putus harapan itulah terbersit kecurigaan kepada istriku. Maka pada satu malam
yang gerah, akupun menyelidik.
“Bukankah kau sendiri yang bilang, kita sudah
sangat bahagia. Kenapa tiba-tiba kau menyuruh aku menikah lagi?”
Istriku
diam, tatapan matanya pasrah, namun serasa menyimpan tuntutan.
“Atau jangan-jangan, kau yang ingin menikah
lagi?” Aku menyergap. Hal inilah yang menjadi kecurigaanku.
Istriku
hanya menggeleng.
Siapapun
tahu, di saat-saat seperti ini sebuah gelengan macam bagaimanapun tak berarti
apa-apa. Aku hanya ingin kejelasan. Mendengar kelugasan dari bibirnya. Bibir
yang dulu berulang kali membuatku terseok-seok menggapainya.
“Ternyata
selama ini aku salah menilai,” keluhku. “Mungkin kau hanya pura-pura bahagia!”
“Aku
bahagia...” katanya tiba-tiba, terdengar santai tanpa suatu lonjakan.
“Lantas,
kenapa kau memintaku menikah lagi?”
“Jika
hal itu bisa membuatku lebih bahagia, apa kau tak ingin menurutinya?”
Kali
ini aku yang diam. Ini sangat tidak masuk akal. Benakku berputar, susah payah
meraba ucapannya. Aku menerka, sesuatu pastilah telah disembunyikan istriku.
***
Kecurigaanku
kepada istri, justru semakin bertambah. Setiap hal yang dia lakukan, selalu
saja menimbulkan sangkaan buruk di kepalaku. Termasuk sikapnya kepadaku yang
akhir-akhir ini bertambah ramah. Adakah semua itu cara dia menutupi rasa
bersalahnya? Aku membayangkan apa yang tengah dia kerjakan sementara aku berada
di tempat kerja. Dalam bayanganku, mendadak hal-hal buruk yang
berkejar-kejaran.
Tentulah
tidak setiap saat aku dapat mengawasi istriku. Namun aku begitu berhasrat
menciptakan siasat, membuktikan kecurigaan yang kian merekat. Karena jarak dari
rumah ke tempat kerja yang tak terlampau jauh itulah, pada jam istirahat kerja
diam-diam aku menyempatkan diri menengok rumah —setelah sebelumnya meminta ijin kepada atasan. Dari jarak
kira-kira seratus meter itulah aku mengintai rumah, seperti mata-mata tanpa
utusan.
Aku
hampir mengakui tindakanku kali ini adalah bodoh dan sia-sia, bila saja tidak
kudapati seorang lelaki berpakaian rapi menyembul dari rumah kami. Lelaki itu
sempat menengok ke kanan kiri sebelum akhirnya menyalakan sepeda motornya dan
berlalu. Geram menyergap tiba-tiba. Segera aku hadang lelaki itu di
persimpangan jalan. Aku desak bermacam pertanyaan. Kemudian lelaki itu
membeberkan beberapa bukti. Barulah aku ketahui lelaki itu ternyata datang
untuk menagih angsuran televisi yang kami beli sebulan lalu secara kredit.
***
Kepada
seorang kawan, kuceritakan masalah istriku sambil minum arak di salah satu
kedai di ujung desa. Tidak banyak solusi yang aku dapat, namun setidaknya beban
di kepalaku sedikit berkurang. Aku pulang larut malam.
Istriku
telah pulas di ranjang. Aku mendengar dengkurannya yang patah-patah. Aku
dongkol mendengar suara itu, seperti menyimpan kepuasan yang lain. Aku ingin
menendangnya, tapi percuma. Akhirnya aku memutuskan tidur di ruang tengah, di
depan televisi. Meski lelah sekujur badan, meski mata telah kupejamkan, lelap
tak kunjung datang. Peristiwa-peristiwa yang lewat mendadak menyerupai bayangan
yang perlahan bergerak, berarak-arakan mengitari kepala.
Esok
harinya, istriku tetap menyiapkan sarapan untuk kami. Nasi goreng combro dan
teh panas. Kami makan dengan diam. Bunyi piring tertimpa sendok terdengar
berantakan. Tiada obrolan yang lepas dari mulut kami.
Sampai
kemudian istriku berucap, memecah kebekuan di antara kami.
“Aku
ingin sekali melihatmu duduk di kursi mempelai, mengenakan baju pengantin yang
dikerumuni serangkaian melati,” katanya. “Kau pasti akan terlihat sangat
tampan, dan tamu undangan tak henti-hentinya menyalami...”
Mulutku
terpaksa berhenti mengunyah. Makanan tidak aku habiskan. Sarapan pagi kali ini
sungguh seperti ancaman teror. Rasa-rasanya, aku tak perlu menanggapi ucapan
istri. Mungkin karena aku mendadak menyadari, bahwasanya dulu aku pernah
berjanji akan merayakan pesta pernikahan kami yang hingga kini belum sempat
kami langsungkan.
Kutinggalkan
meja makan dan bergegas mandi.
KamarMalas, November 2012.
Sulung Pamanggih, bergiat
di komunitas sastra Lembah Kelelawar, Semarang. Cerpen- cerpennya
pernah dimuat di Kompas, Suara Merdeka, tabloid Cempaka, dan buletin-buletin setempat. Belum lulus kuliah di IKIP PGRI Semarang, jurusan Pendidikan
B. Inggris. Akhir-akhir ini sedang belajar menulis skripsi.