Cerpen
Oleh Thomas Utomo
oemgiie.blogspot.com |
Aku bangun tidur dengan perasaan
lega luar biasa. Semalaman tidurku nyenyak. Tidak sekalipun aku terbangun
karena mendengar rengekan bocah atau keharusan buat melayani kebutuhan ranjang
suami.
Usai membasuh diri dan menuntaskan
urusan dengan Tuhan, aku pun keluar rumah; pergi berjalan-jalan. Pada saat yang
sama, sinar matahari mulai mencabik sapuan benang kabut. Sambil melemaskan kaki
dan mengisi rongga dada dengan kesegaran udara pagi, kuperhatikan keriaan mulai
nampak di jalanan yang kulewati.
Rombongan mbok-mbok kulihat
berjalan setengah tergesa sambil menggendong rinjing. Satu diantaranya
menggendong rinjing yang sarat akan daun kangkung segar lagi basah oleh
cucuran air yang turut membasahi punggung dan rok si penggendong.
Kulihat pula satu dua laki-laki
menggenjot sepeda dengan sepasang keranjang bambu di kiri-kanan sepeda. Dengan
seksama, kuperhatikan tumpukan tempe iris, tempe bungkus, dan mendoan di
keranjang-keranjang itu.
Tentu saja, itu adalah pemandangan
“biasa” yang rutin nampak dan terjadi di desa pinggiran, macam Ledug ini. Namun
bagiku, pemandangan barusan terasa amat istimewa. Entah mengapa, serasa ada
keharuan yang melumuri dadaku. Tiba-tiba aku sadar, ini adalah kali pertama
dalam lima tahun terakhir aku “bisa” menyaksikan tamasya pemandangan demikian.
Pemandangan gunung Slamet di sebelah
utara, hamparan sawah menghijau serupa karpet, termasuk juga cericit burung prenjak,
turut menambah keharuan rongga dadaku. Diam-diam namun khusyuk, kupanjatkan
syukur tiada terkira buat Yang Maha Esa. Sungguh, tamasya pemandangan sederhana
ini terasa amat mewah bagiku.
***
Biasanya, pagi hari begini, aku
tengah sibuk berkutat dengan urusan rumah tangga yang kecil-kecil namun
merepotkan, seperti memasak, menjerang air kopi buat suami, dan menyusui si kecil
yang mendadak terbangun kaget karena kebiasaan si ayah yang gemar menyalakan
televisi keras-keras sambil mengunyah sarapan.
Setelah melepas kepergian suami ke
kantor, aku bergegas memandikan, menyusui, kemudian mengeloni bayi
kembarku. Setelahnya, aku membenamkan diri dalam timbunan cucian yang tiada
habis-habis. Lalu menyapu, mengepel, pergi belanja, dan seterusnya lagi yang
terlalu bertele-tele jika aku ceritakan. Setelah malam ruyup, bukan berarti
pekerjaanku selesai. Usai memastikan semua pintu dan jendela rapat terkunci,
aku harus melayani kebutuhan ranjang suami.
Dan ini tidak berarti mudah serta
menyenangkan bagiku. Suami selalu membawa pecut, borgol, dildo, dan entah apa
lagi ke ranjang kami. Kesemuanya amat menyiksaku. Namun sebagai istri yang patuh,
aku selalu berpura-pura mengerang keenakan dan berkata “puas” kalau dia tanya.
Selama lima tahun aku menjalani
rutinitas demikian, dari pagi hingga pagi lagi. Lama-kelamaan rutinitas itu
teramat mendarah daging dalam keseluruhan diriku, sehingga seperti mesin
pabrik; aku melakukan kesemuanya dengan urutan yang teratur dan hasil yang
rapi, namun tanpa kepuasan hati.
Dengan kesibukan rumah tangga yang
demikian, tidak kemudian membuat hasil kerjaku dihargai secara sepadan. Dalam
masyarakat, perempuan seperti aku yang terkurung 24 jam dalam tembok bernama
rumah, mendapat julukan ”perempuan yang tidak bekerja.”
Meski disebut sebagai “tidak
bekerja”, bukan berarti aku berpangku tangan, duduk diam bermalas-malasan tanpa
melakukan aktivitas kerja apapun. Nyatanya, aku bekerja penuh waktu; 24 jam,
seperti budak tanpa bayaran. Kukatakan tanpa bayaran, karena kenyataannya
memang demikian.
Suami hanya memberiku uang belanja
yang selalu tandas guna membayar serbaneka keperluan rumah tangga. Tidak
tersisa sepeser pun uang buatku, guna pembeli lipstick atau baju
menuruti model terakhir, sehingga aku tidak bisa berkenes-kenesan seperti
perempuan-perempuan lain.
Penampilanku sedikit berubah hanya
saat hari raya tiba, karena baju baru yang kukenakan. Aku tidak pernah menyukai
baju hari rayaku, karena suami yang membelikannya. Dan baju yang dibelikan
suami selalu kedodoran dengan corak, model, dan warna yang terlalu tua bagi
perempuan sepertiku yang belum lagi menginjak usia 30. Memang aku lebih suka
memakai baju yang tidak ketat, tapi bukan kedodoran yang asal membungkus
tubuhku seperti karung!
***
Semua ketidaknyamanan itu aku tekan
dalam-dalam di rongga dada. Bukan saja karena watak dasar suamiku yang temperamental,
pelit, susah diajak bicara baik-baik, dan mudah melayangkan tamparan, melainkan
juga karena aku tidak mau disebut sebagai perempuan pembangkang yang tidak tahu
bersyukur. Aku juga tidak suka cari perkara. Maka sambil terus menabah-nabahkan
hati, aku selalu berupaya mencari alasan yang menyebabkanku harus bertahan
mendampingi suami.
Sampai suatu ketika, ketabahanku
mencapai batas histeri. Ialah karena suatu pagi, seorang perempuan berperut
balon mengetuk pintu rumah kami. Dia mengaku perutnya membengkak karena
disengat laki-laki berstatus suamiku.
Malam harinya, setelah suami pulang,
aku pun menuntut penjelasannya. Dengan santai, sambil menghirup kopi, suami
membetulkan pengakuan perempuan itu. Dia katakan dirinya khilaf, dengan nada
enteng dan raut muka jauh dari rasa bersalah. Rupanya, sementara aku repot
mengurusi keberesan rumah kami, suami justru menyelinap ke pelukan perempuan
lain! Lebih mengerikan lagi, kejadian ini terus berulang. Disusul
kejadian-kejadian serupa di waktu-waktu berikutnya.
Lalu tanpa minta pendapat siapa pun,
aku putuskan untuk segera menuntaskan pernikahan kami di meja hijau. Tidak ada
gunanya bagiku meneruskan rumah tangga seperti terpanggang api ini. Apalagi
dengan suami yang selalu meninggalkan jejak lebam di sekujur tubuhku, setiap
kali aku mengetahui perselingkuhannya.
Dan dengan pongah, suamiku
memelintir-lintir hadist nabi dan membawa-bawa nama Tuhan untuk mencaciku.
Katanya, aku perempuan laknat lagi durhaka, karena menuntut cerai suami. Suami
pastikan laknat Tuhan akan menimpaku berpuing-puing. Mendengar cacian suami,
terus terang aku tidak peduli. Bagiku, kata-kata laki-laki yang pernah mengisi
ruang batinku itu, tak ubahnya embikan kambing.
Dan kemarin, menjadi hari paling
membahagiakan bagiku dalam lima tahun terakhir: aku dan suami resmi bercerai!
Tentu saja aku menyambutnya dengan syukur tiada terkira.
Mulai pagi ini, aku siap nglakoni
hidup mandiri, tanpa suami yang justru memberati langkah kakiku. Akan kujalani
hidup mandiriku sebaik mungkin, dengan terus menghirup napas semangat dan
gairah. Tiada niatan bagiku untuk menikah lagi. Karena sejak kepincangan rumah
tanggaku, aku berkesimpulan: pernikahan tak ubahnya sebuah pintu. Orang yang di
luar ingin masuk, sedang orang yang di dalam ingin keluar.
Ledug,
6 November 2012
Thomas Utomo, bekerja sebagai guru SD
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Bermukim di Perum Ledug Sejahtera, Desa
Ledug, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.