Cerpen
Oleh Fajri Andika
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
Malam semakin larut. Angin mendesir kencang. Tak ada suara yang bisa ditangkap
telinga. Yang terdengar hanyalah suara isak tangis perempuan yang terdengar
dari atas Jembatan Gajah Wong.
Aku yang pada malam itu berada
di bawah Jembatan Gajah Wong terkejut mendengar suara tangisan itu. Jangan-jangan ada yang mau
bunuh diri lagi, pikirku. Ya, empat hari yang lalu ada seorang perempuan yang
mencoba menghabiskan nyawanya dengan cara meloncat dari atas jembatan itu.
Untunglah aku bisa mencegahnya.
Lalu, siapa perempuan yang menangis itu?
Jangan-jangan perempuan yang kemarin itu lagi. Aku cepat-cepat beranjak ke atas
jembatan.
Dari jarak yang tidak begitu
jauh, kulihat perempuan itu sedang berdiri di pinggir jembatan. Sesekali
tangannya mengusap air matanya. Kalau dilihat dari bentuk tubuhnya, sepertinya bukan
perempuan yang kemarin itu. Tapi, sepertinya dia mau
melemparkan tubuhnya ke dalam sungai yang berada di bawah jembatan. Ini tidak
bisa dibiarkan. Aku harus mencegah perempuan itu, pikirku.
Tanpa pikir panjang, aku
langsung lari, menghampiri perempuan yang memakai pakaian super ketat itu.
“Istighfar, Mbak, istighfar.
Jangan bunuh diri,” teriakku sambil memegang tubuh perempuan itu dari belakang.
“Biarkan aku mati. Biarkan
aku mati. Jangan halangi aku,” teriak perempuan itu,
berusaha melepaskan genggaman tanganku.
“Jangan, Mbak. Bunuh diri
itu tidak menyelesaikan masalah,” kataku, membujuknya.
Karena perempuan itu
tetap berontak, maka dengan terpaksa kuseret tubuhnya dengan sedikit kasar
hingga terjerembap ke tanah. Kulihat dia kesakitan.
“Anda siapa? Kenapa Anda
menghalangi saya bunuh diri?” tanya perempuan itu sambil menangis. “Lebih baik saya mati daripada menjalani
hidup seperti ini.”
“Saya Jufri,” aku
memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan kananku.
“Saya Markoni,” ia
memperkenalkan diri.
“Kenapa Anda mau bunuh
diri?” tanyaku. “Maaf kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan Anda.”
Sesaat perempuan itu terdiam. Matanya menatap
sebuah foto yang ia simpan di dalam dompetnya. Dengan raut wajah marah, ia
berkata, “Semua ini gara-gara kamu, Rusydi. Dasar pengkhianat. Sampai kapan pun,
aku tidak akan memaafkanmu.”
Markoni kembali menangis. Kali ini
tangisannya semakin histeris.
Kuambil sapu tanganku yang
kutaruh di kantong celanaku bagian samping. Lalu kuberikan padanya.
Diambilnya sapu tanganku
itu. Kemudian diusaplah air mata yang mulai menggenangi wajahnya.
“Apa lelaki yang Anda sebutkan namanya tadi itu
yang membuat Anda seperti ini?” tanyaku.
Markoni menganggukkan kepala. Kemudian ia
bercerita.
Markoni mau bunuh diri karena frustasi. Ia sudah
tidak kuat lagi dengan kehidupannya yang berlumuran dosa. Ia menghabiskan
hari-harinya dengan memberikan kehormatannya pada lelaki hidung belang. Ia
menjadi pelacur bukan karena uang. Ia menjual tubuhnya karena merasa tidak akan
ada laki-laki yang
mau mempersuntingnya. Ia merasa kotor. Keperawanannya telah dinodai
oleh mantan tunangannya, Rusydi.
Markoni pertama kali ketemu dan kenal dengan Rusydi
pada saat berkunjung ke rumah neneknya di Bandung. Menurut neneknya, ia dan
lelaki berambut ikal itu masih ada ikatan keluarga. Waktu itu, ia tinggal di
rumah neneknya selama satu minggu. Dan selama berada di rumah neneknya itulah,
ia sering berduaan dengan Rusydi. Meski waktunya cukup singkat, mereka saling
jatuh cinta.
“Maaf, kenapa dia meninggalkanmu?” tanyaku,
memotong ceritanya.
“Maafkan aku, Markoni, aku
harus pergi, begitulah sebagian isi surat Rusydi yang dikirim kepada saya, satu
bulan setelah kami tunangan,” katanya sambil lalu tangannya mengusap air
matanya.
Rusydi memutuskan berangkat
ke Singapura untuk menjadi TKI. Katanya, masalah ekonomi serta hutangnya yang
sudah menumpuk menuntutnya untuk mengadu nasib di negara itu. Tapi lelaki itu
berjanji suatu hari nanti ia akan pulang untuk melamar Markoni.
“Kenapa Mas tidak nyari
kerja di sini saja?” tanya Markoni pada Rusydi
“Kan kamu tahu sendiri,
nyari kerja di sini itu susah,” kata Rusydi. “Kalau di Singapura itu gampang, dan
gajinya sangat tinggi. Ada temanku yang baru kerja tiga bulan di sana sudah
mampu membelikan rumah untuk orang tuanya.”
Akhirnya, dengan berat hati
Markoni merelakan kepergian Rusydi.
Pada awalnya, Markoni dan Rusydi
intens berkomunikasi baik lewat SMS, telepon, maupun saling kirim surat.
Namun, satu bulan setelah kepergiannya, Rusydi tidak memberi kabar. Nomor Hp Rusydi
tidak aktif. Begitu pula dengan surat yang dikirim Markoni, tidak dibalas oleh lelaki
itu.
Betapa remuk hati dan
perasaan Markoni setelah mendapatkan kabar dari sepupunya yang juga menjadi TKI
di Singapura bahwa Rusydi telah menikah dengan perempuan lain. Ia menyesal
telah memberikan kehormatannya pada lelaki itu.
Markoni pusing, galau, tidak
tahu harus berbuat apa. Apalagi ia sering mual. Ia takut hamil. Ia tidak mau
keluarganya menanggung aibnya. Untuk itu, ia mengajak temannya, Juminten, pergi
ke dokter kandungan. Ia hanya ingin mengecek, apakah di dalam perutnya terdapat
janin, hasil buah cintanya dengan Rusydi atau tidak.
Ternyata tidak seperti dugaannya. Kata dokter, mulai
kemarin ia mual-mual bukan karena hamil, melainkan karena masuk angin dan
kurang istirahat. Di satu sisi Markoni senang karena tidak ada janin di dalam
perutnya, tapi ia gundah karena ia tetap merasa kotor, dan merasa tidak akan
ada laki-laki yang mau mempersuntingnya.
“Mana ada laki-laki yang mau
menikahi perempuan yang sudah tidak perawan,” kata Markoni pada Juminten. “Aku
akan merusak hidupku,” tambahnya, dengan nada penuh sesal.
“Jangan berkata seperti itu,
Mar. Aku yakin, suatu hari nanti akan ada laki-laki yang mencintaimu dengan
tulus, dan menerimamu apa adanya,” kata Juminten, berusaha menenangkan perasaan
Markoni.
“Tapi, Jum, aku sudah tidak
perawan. Kehormatan dan masa depanku sudah dihancurkan oleh Rusydi.”
“Sabar, Mar. Istighfar.”
“Hatiku hancur, Jum. Aku
tidak menyangka, dia bakal menyakiti hati dan perasaanku. Padahal, dulu, dia
berjanji akan menikahiku. Aku menyesal telah memberikan keperawananku pada
lelaki bajingan itu.”
Markoni tidak mendengar
nasehat temannya itu. Ia merasa hidupnya hancur, dan tetap merelakan tubuhnya
dijamah dan digauli oleh lelaki hidung belang.
***
“Aku benci kamu, Rusydi,”
kata Markoni sambil menangis.
“Sabar, Mbak. Benar kata
temanmu itu, suatu hari nanti Mbak pasti bertemu dengan seorang lelaki yang
akan menerima Mbak apa adanya,” kataku mencoba menenangkan.
“Emangnya Anda Tuhan?
Emangnya Anda bisa membaca masa depan saya?”
“Bukan gitu, Mbak.
Ehm, maksud saya....”
Belum selesai aku bicara,
tiba-tiba perempuan itu berdiri dan menyuruhku pergi dari hadapannya, “Enyah
dari hadapan saya. Saya menyesal telah menceritakan masalah saya ini kepada
Anda.” Ia berteriak, “sana pergi.”
Markoni mendorong
tubuhku. Sepertinya dia benar-benar tersinggung pada ucapanku tadi.
“Maafkan saya, kalau
ucapan saya tadi menyinggung Anda,” ujarku, berusaha menenangkan Markoni.
Tiba-tiba tangan
kanannya mengambil batu. Mungkin akan dilemparkan kepadaku. Untuk itu, secara perlahan aku pun
beranjak dari hadapannya. Namun aku tetap mengamatinya dari jauh. Aku duduk di
balik pohon beringin, di sebelah barat jembatan. Dan yang jelas perempuan itu
tidak melihatku.
Jam menunjukkan pukul
setengah empat pagi. Kulihat perempuan berwajah oriental itu masih berada di
Jembatan Gajah Wong. Matanya terlempar ke bawah jembatan. Udara semakin dingin,
hingga membuat tubuhku menggigil.
Jogja,
2011-2013
Fajri Andika, mahasiswa Sosiologi FISHUM UIN Suka Yogyakarta.
Bergiat
di Komunitas Rudal Yogyakarta.