Oleh Hendra Sugiantoro
Wacana Atlantis Indonesia dikaitkan
dengan Sundaland (Paparan Sunda)
memang menarik perhatian. Pendapat Stephen Oppenheimer lewat bukunya Eden in the East: the Drowned Continent of
Southeast Asia (1999) dan Arysio Nunes dos Santos lewat buku Atlantis: The Lost Continent Finnaly
Found—The Definitive Localitazion of Plato’s Lost Civilization (2005) bukannya
sepi kritik.
Selama bertahun-tahun, setiap teori
yang diajukan tentang lokasi Atlantis memang terus memunculkan pro kontra.
Stephen Oppenheimer dan Arysio Nunes dos Santos adalah dua ilmuwan dari
sebagian ilmuwan yang terpikat dengan kisah Atlantis. Tak seluruh ilmuwan
tertarik mendiskusikan perihal lokasi Atlantis ini dengan asumsi Atlantis
adalah tempat fiktif yang diciptakan Plato.
Atlantis mulanya memang dipopulerkan
oleh Plato. Lewat tulisannya Timaeus
dan Critias, Plato mengkisahkan
seluk-beluk Atlantis yang pada akhirnya hancur dalam sehari semalam akibat
gempa bumi dan tsunami. Plato sebenarnya ingin mengkisahkan Atlantis lewat
karya tulis dalam bentuk trilogi, namun tulisan dengan judul Hermocrates entah kenapa tak kunjung
ditulis.
Bahkan, Critias tak ditulis tuntas alias penulisannya berhenti di tengah
jalan. Perbincangan sebagian ilmuwan tentang Atlantis pada masa kini boleh jadi
tak terbayangkan oleh Plato. Plato memang produktif menulis dalam bentuk dialog
yang memaparkan ide, pandangan, dan pemikirannya.
Selain Timaeus dan Critias, karya Plato lainnya adalah Republic. Karya Plato ini diawali sebagai sebuah penyelidikan
tentang hakikat keadilan. Tak berhenti pada tataran keadilan, tetapi juga
meluas tentang hakikat manusia sampai mencakup sebagian besar
persoalan-persoalan utama dalam filsafat. Malah dikatakan bahwa karya Plato ini
merupakan karya yang berisi cetak biru pertama tentang masyarakat yang ideal.
Soal hakikat cinta, Plato menulis dalam karya yang diberi judul Simposium.
Selain
karya di atas, karya Plato lainnya antara lain Phodeo, Lakhes, Euthyphro, Theaetetus, Parmenides,
dan sebagainya. Bryan Magee menyebut ada sekitar 24 karya Plato, mulai dari 20
halaman sampai 300 halaman menurut ukuran cetakan yang lazim sekarang. Beberapa
judul karya Plato menggunakan nama tokoh yang terdapat dalam tulisannya. Phodeo, Lakhes, Euthyphro, Theaetetus, Parmenides, termasuk juga Timaeus
dan Critias adalah nama tokoh dalam
tulisan Plato. Tokoh-tokoh ini dijadikan Plato sebagai lawan bicara Socrates.
Dalam karya Plato, Socrates yang merupakan guru Plato ini memang dijadikan
tokoh protagonis (Lihat, Bryan Magee, The
Story of Philosophy, terjemahan Marcus Widodo&Hardono Hadi, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius), 2008).
Plato, filsuf Yunani yang hidup
antara tahun 428 SM sampai 348 SM, ini memang memiliki ciri khas dalam
tulisannya. Untuk menyampaikan gagasan, pandangan, dan pemikirannya, Plato
menulis karya dalam bentuk dialog. Socrates dalam tulisan Plato mengajukan
pertanyaan-pertanyaan terkait berbagai persoalan. Dalam Timaeus, Socrates berdialog dengan Timaeus, seorang astronom dari Italia. Begitu pula dalam Critias, Critias yang seorang penyair
dan sejarawan ini menjadi mitra dialog. Dalam hal ini, Plato dapat dikatakan
sebagai penyambung lidah Socrates.
Apa yang dilakukan Plato itu diakui
“mengabadikan” nama Socrates. Dipaparkan Bryan Magee dalam The Story of Philosophy, Socrates (470 SM-399 SM) semasa hidupnya
tidak meninggalkan karya tulis apa pun. Sosok
dan pemikiran Socrates dikenal berkat “tangan kedua”. Plato berjasa sebagai
sumber untuk mengetahui gagasan dan pemikiran Socrates.
Pada titik ini, ada kebingungan yang
melanda dalam memposisikan pemikiran Socrates dan pemikiran Plato. Dalam karya
awalnya, Plato memberikan gambaran yang setidaknya akurat tentang Socrates.
Berbagai hal yang didapatkan dari Socrates ditulisnya. Perlahan, Plato akhirnya
menuangkan pendapat dan pemikirannya sendiri meskipun tetap menggunakan
Socrates sebagai tokoh utama dalam tulisannya.
Dengan kata lain, Plato menggunakan
mulut Socrates untuk menyampaikan gagasan dan pemikirannya pada karya-karya
yang ditulis kemudian. Persoalan bagian manakah Socrates berakhir dan di bagian
mana Plato mulai menyampaikan pemikirannya memang sulit dipastikan. Namun
demikian, tak ada keraguan bahwa dialog-dialog Plato yang awal dan yang akhir
berisi pemikiran dua filsuf yang berbeda. Yang awal adalah Socrates dan yang
akhir adalah Plato.
Begitulah Plato dengan
karya-karyanya. Sebagai seorang filsuf di zamannya, Plato masih memiliki
pengaruh sampai zaman kini. Selain menciptakan nama dan fenomena, Plato juga
tak sepi dari kritik. Plato tetaplah manusia. Ada beberapa pandangan dan
pemikirannya yang juga perlu dikoreksi.
Hendra Sugiantoro,
pegiat Pena Profetik,
tinggal di Yogyakarta