Oleh Muhammad Rajab
Judul
Buku : Travel Writer
Penulis : Yudasmoro
Penerbit : Metagraf (Grup Tiga Serangkai)
Cetakan
I : 2012
Tebal : 204 halaman
ISBN : 978-602-9212-44-0
Akhir-akhir ini travel writer
sangat ngetren di dunia anak muda. Selain menyenangkan, menjadi travel
writer dapat memberikan keuntungan tersendiri secara finansial. Tren
tersebut sebenarnya sudah cukup lama menghidupi para pelancong dari negara-negara
Barat. Di Indonesia sendiri, travel writing sebetulnya sudah mulai
digandrungi di era tahun 1980-an dengan tokoh-tokohnya seperti Hok Tanzil,
seorang profesor dan Norman Edwin, seorang pendaki gunung, pencinta alam legendaris,
dan wartawan. Tak berlebihan kalau Yudasmoro menyebut mereka berdua dalam buku
ini sebagai bapak Travel Writer Indonesia.
Buku ini ingin menegaskan bahwa travel
writer bukan hanya sekadar pelancong yang menggendong rangsel besar sambil
membawa laptop dan kamera. Bukan juga sekadar petualang yang bepergian saat
akhir pekan dan kembali dengan segudang foto kenangan dan souvenir. Namun,
seorang travel writer adalah seorang penulis, jurnalis, dan fotografer
profesional yang mampu mendedikasikan kemampuannya untuk mengungkap
cerita-cerita tentang esensi dari sebuah perjalanan.
Travel writer adalah sebuah job
yang menuntut sikap profesionalitas yang tinggi. Bahkan, beberapa situs di
luar negeri sudah melegalisasi travel writer sebagai the best job in
the world. Seorang travel writer harus mengerti arti pariwisata
secara luas. Itu tidak bisa dihindari karena pekerjaan inti seorang travel
writer adalah mengangkat bidang pariwisata.
Secara sederhana, travel writer bisa
diartikan sebagai penulis perjalanan, penulis wisata atau jurnalis travel. Konteks travel writer sendiri bisa
dijabarkan menjadi bermacam-macam implementasi. Ada travel writer yang
fokus menulis buku dan ada yang menulis untuk media massa, baik cetak maupun online.
Ada juga yang menulis untuk keduanya atau sebagai blogger (hlm. 5).
Untuk menjadi travel writer yang
handal dan profesional tidak cukup dengan melancong, menulis, mengirim ke
media, lalu dapat honor. Tapi, ia juga harus menguasai ilmu bisnis. Karena ilmu
bisnis sangat berperan dalam kesuksesan karir travel writer. Konsep
dasarnya tidak jauh beda dengan konsep dagang dalam ilmu ekonomi pada umumnya.
Seorang travel writer tak ubahnya seperti seorang pemilik warung. Ia
membeli barang dagangan dengan harga borongan untuk dijual di warung,
menjualnya kepada pelanggan, dan dapat untung dari margin harga jual
barang.
Sebagai contoh, Elizabeth Gilbert, sang
penulis Eat Pray Love pernah mengakui bahwa keahliannya dalam bidang
menulis sebetulnya termasuk dalam skala biasa-biasa saja. Namun, keunggulannya
dalam mengolah ilmu marketing justru berperan besar dalam memasarkan
bukunya dan menjadikannya salah satu penulis terkenal di dunia saat itu (hlm. 15).
Oleh karena itu, travel writer dapat
dikatakan layaknya sebagai seorang pengusaha. Untuk itu, travel writer harus
memiliki visi dan misi yang jelas dalam bidangnya. Target yang jelas, ide,
kemampuan menyusun jadwal dan kedisiplinan mengejar target adalah beberapa
kunci yang wajib dimiliki. Silahkan menengok fondasi bisnis para pengusaha
ternama, mereka semua memiliki dasar visi dan misi yang kuat.
Sama dengan bisnis, travel writer harus
punya perangkat pendukung dalam mengerjakan pekerjaannya. Fungsinya adalah
untuk memperkenalkan, memasarkan, dan sebagai standar profesionalisme seorang travel
writer. Di antara perangkat pendukung itu adalah; powerful blog, mengenal
media, membangun jaringan, kartu nama, ide, internet, jejaring sosial, dan
komunitas (hlm. 18-29).
Buku setebal 204 halaman ini patut
diapresiasi. Selain menghadirkan kiat-kiat menjadi seorang travel writer handal,
buku ini juga menyajikan contoh-contoh artikel dan gambar karya travel
writer yang menarik (hlm. 70-93). Singkat
kata, buku ini menyadarkan kita bahwa travel writer merupakan pekerjaan
yang menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi, bukan sekadar asal
jalan-jalan dan menulis.
Muhammad Rajab, penikmat buku, tinggal di Malang