Oleh Muhammad Najib
semangatjihad.wordpress.com |
Secara
harfiah kata jihad berarti letih, sukar, dan sungguh-sungguh. Sedangkan secara
etimologis jihad berasal dari akar kata bahasa Arab (Jaahada-Yujaahidu-Mujaahadatan-Jihaadan) yang berarti mengerahkan segenap potensi dengan ucapan dan
tindakan. Di antara pecahan kata dari kata jihad adalah mujahadah
(optimalisasi amal shalih), jahdun (kerja keras) dan juhdun
(usaha). Kata jihad juga bisa dihubungkan dengan ijtihad, yang oleh para ulama
fiqh diartikan sebagai pengerahan kemampuan dengan sungguh-sungguh untuk
menggali dan memahami makna yang dikandung oleh al-Qur'an dan al-Sunnah.
Jihad dalam
al-Qur’an
Kata Jahada dalam
al-Qur’an disebutkan sebanyak 42 kali dengan bentuk yang berbeda. Hal ini telah
diteliti oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi di dalam indeks al-Qur’an. Salah
satu ayat yang menggunakan kata jihad, terdapat dalam surat al-Ankabût
ayat 69: “Dan orang-orang yang berjihad (jâhadû) untuk mencari keridlaan Kami, maka benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” Dari ayat di atas, jihad bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh para ulama.
Salah satu penafsiran yang ujung-ujungnya memunculkan gerakan yang oleh orang-orang Barat disebut
terorisme adalah pemahaman tentang jihad yang dimaknai berjuang lewat berperang.
Dalam konteks
ini, jihad masih dimaknai sebagai berjuang yang pada masa Nabi Muhammad
dilakukan dengan perang. Padahal, berperang pun tidak dilakukan oleh Nabi
sembarangan. Ada tahap-tahap yang harus dilakukan, sebelum akhirnya menempuh
jalan perang. Sebab, dalam konteks beragama, Nabi Muhammad Saw. selalu
menjadikan agama tidak untuk memaksa. Sebagaimana yang tercantum dalam surat
al-Baqarah ayat 156: “Tidak ada paksaan dalam agama,....”
Pada ayat di atas, Nabi tidak memaksa orang untuk memercayai dan
mengikuti agamanya. Hanya saja, Nabi berusaha sekuat tenaga menawarkan ajaran Islam
yang diyakininya dengan cara mengajak (da’wah), sehingga mau mengikutinya
tanpa paksaan.
Terorisme bukan
Jihad
Selain
al-Qur’an, hadits-hadits yang berbicara seputar jihad juga sangat banyak. Salah
satu yang compatible dengan pemahaman jihad sebagai perang adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
surga berada di bawah naungan pedang.” Dalam Shahih al-Bukhari
disebutkan, “Barang siapa yang kakinya berdebu karena jihad fii sabilillah,
maka Allah akan mengharamkan kepadanya neraka.” Dari dua hadits nabi
tersebut, maka pemaknaan teroris sebagai jihad ada benarnya juga. Namun,
pemahaman itu adalah wujud interpretasi yang tidak menggunakan konteks
kekinian. Hadits tersebut muncul untuk membakar semangat sahabat menyebarkan
Islam yang memang pada saat itu mempunyai tradisi perang yang sangat kental.
Dalam konteks
kekinian, jihad harus relevan dengan tradisi dan peradaban. Bahkan, Nabi pernah
bersabda, “Kalian lah yang lebih tau urusan kalian”. Maksud dari ‘urusan’
dalam hadits tersebut adalah masalah yang sesuai dalam konteks kekinian. Itu
artinya, sangat tidak relevan jika hidup di zaman sekarang, tapi masih
menggunakan tradisi pada zaman dahulu ketika Nabi masih hidup.
Oleh sebab itu,
terorisme sangat tidak relevan jika dikaitkan dengan Islam. Apalagi, sekarang ini,
semua agama telah hidup berdampingan. Sikap toleransi dan menghargai agama lain
harus ditanamkan kuat-kuat oleh umat beragama.
Jihad Kekinian
dan Keutamaannya
Dalam kitab Riyâdh
al-Shâlihîn, Imam al-Nawawi mencantumkan hadits keutamaan jihad sebanyak 67
hadits. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra.,
bahwa suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh seseorang “Wahai Rasulallah,
perbuatan apa yang paling mulia?” Kemudian
Nabi menjawab “Percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.” Sahabat itu bertanya
lagi “Kemudian apa?” Nabi menjawab “Jihad di jalan Allah.” Lantas
bertanya lagi “Kemudian apa?” Nabi menjawab “Haji mabrur.” Dari
hadits tersebut jihad menempati urutan kedua setelah iman dalam konteks amal
yang mulia (al-a’mâl al-afdhâl).
Selain itu,
dalam konteks amal yang dicintai Allah (al-a’mâl al-mahbub), jihad
menempati urutan ketiga setelah shalat tepat waktu dan berbakti kepada kedua
orang tua. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra. Ia
bertanya kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasulallah, amal apa yang paling
dicintai Allah?” Nabi bersabda “Shalat tepat waktu.” “Kemudian
apa?” tanya Ibnu Mas’ud selanjutnya. “Berbakti kepada kedua orang tua.” “Kemudian
apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. Lalu Rasulullah menjawab “Jihad di jalan
Allah”. Keutamaan yang tidak kalah hebatnya adalah riwayat sahabat Abi
Yahya bahwa Nabi bersabda “Barang siapa yang menyumbangkan dananya untuk
jalan Allah, maka akan ditulis baginya pahala sebanyak 700 kali lipat.”
Dari
keutamaan-keutamaan jihad di atas, maka sangat perlu seorang muslim
melakukannya. Ada dua cara orang berjihad pada masa sekarang. Pertama,
dengan berdakwah, yaitu menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam kepada
manusia serta menjawab tuduhan sesat yang diarahkan pada Islam. Dalam konteks
ini, bisa saja dakwah dengan perkataan (bi al-lisân) ataupun dengan
perbuatan (bi al-arkan).
Itulah yang
harus dipikirkan oleh cendekiawan muslim saat ini. Bukan lagi menyalahkan
pihak-pihak yang tidak jelas keberadaannya. Dengan begitu, tentu potensi terjadinya
jihad-jihad yang ngawur akan terkurangi, bahkan hilang.
Kedua, jihad dengan harta (bi al-mâl), yaitu
menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah Swt. Jihad yang satu ini memang
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, tidak mudah orang melepaskan
harta yang didapatkan dengan jerih payah. Apalagi di era matrealistik seperti
sekarang ini.
Selain itu,
harus diingat sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw. yang mengatakan jihad terbesar setelah perang
Badar Kubro adalah jihad melawan hawa nafsu. Oleh sebab itu, marilah memahami
jihad dengan konteks kekinian dan kedisinian, bukan hanya berpikir jangka
pendek yang akibatnya berimbas pada banyak orang.
Muhammad
Najib, mahasiswa Tafsir
Hadits dan Pegiat di JHQ (Jam’iyah Hamalatil Qur’an) Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang.
Keterangan:
Naskah ini
pernah diikutsertakan Lomba Esai Tafsir dalam rangka Semarak Mukernas FKMTHI di
Semarang, 11 Desember 2012. Kerjasama publikasi dengan WAWASANews.com