Oleh Arafat AHC
“Bila politik kotor, puisilah yang akan membersihkannya,” John F.
Kennedy
Bila kita
mengunggah pernyataan di atas, lalu menguploadnya kembali pada realitas
perpolitikan negara saat ini (rasanya sah-sah saja), mengingat kondisi politik
saat ini begitu miris bila itu dikatakan perpolitikan orang-orang. Puisi memang
berperan dalam membersihkan suatu kotoran yang terkandung dalam politik: meluruskan
politik yang bengkok.
Terlepas dari itu,
politik sarat dengan kongkalikong (bohong-bohongan),
sebab politik sendiri secara bahasa arab berarti “aku bohongi kamu”, yang
berasal dari kata “fawallaituka”. Jadi, apabila politik penuh dengan
kongkalikong bagi saya itu suatu hal yang lumrah. Puisi adalah tempat kejujuran
seseorang (penyair), sehingga wajar apabila seorang penyair tidak berada pada
daerah perpolitikan. Dalam peta kepenyairan dan sejarah kepenyairan, jarang
ditemui seorang penyair menduduki kursi politik, atau bahkan nihil.
Oleh sebabnya
politisi bisa dikatakan antagonis dari penyair, atau sebaliknya. Lalu, apakah
hal tersebut akan terus mengakar sampai bumi ini digiling Sang Pencipta,
sedangkan posisi penyair adalah pembersih, pelurus politik? Kalau para penyair
kekal menjadi musuh dari politisi lalu bagaimana negara ini menemukan titik
kemajuan, sedangkan para penyair kita hanya menjadi kritikus maupun demonstran
kepada pemerintah lewat puisi-puisinya.
Pasca kemerdekaan
Indonesia, politik mulai hidup/barangkali dimulai. Rezim Soeharto merupakan masa
penjamuran perpolitikan yang kotor dari kolusi, korupsi, nepotisme,
pembohongan, hingga penyelewengan sejarah yang merupakan dosa paling besar bagi
saya. Saat yang sama juga terlahirlah Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul,
Chairil Anwar sebagai pahlawan perlawanan penjajah seselimut (baca: rezim
Soeharto), penyair. Mereka hanya disenjatai puisi-puisi untuk melawan agresi
pencucian otak: penyelewengan sejarah dari sekutu-sekutu Soeharto.
Namun disayangkan
ketika perlawanan para penyair hanya sebatas iklan dalam buku-buku sejarah. Mereka
hanya menempati kedudukan kesekian kali di mata masyarakat kita, setelah para
militer, politisi, dan rekan-rekannya. Memang penyair tak pernah pamrih dalam
berkarya juga berjuang menyatakan kejujuran, melawan penindasan, menolak kesewenangan.
Namun setidaknya, penghargaan, meski mereka tak pernah berharap, kita
dedikasikan. Dengan cara apa?
Tentunya penyair
abad ini, bisa dikata penyair muda, terlalu kenyang dengan sejarah nenek moyang
kepenyairan di negaranya. Apa masih kita teruskan perjuangan seperti Wiji
Thukul, hanya demo, mencipta puisi kritis terhadap pemerintah saja, tanpa ada action masuk ke laut perpolitikan?
Bukannya saya melecehkan Wiji thukul sebagai nenek moyang saya, akan tetapi
saya hanya mengkritisi keadaan yang tak pernah berubah di negara kita.
Negara kita
sebenarnya menanti kiprah para penyair sebagai agen aspirasi rakyat. Namun
sampai saat ini peran penyair nihil kepada negara, selain lewat puisi-puisi
saja. Politik merupakan jalan untuk bisa memegang tatanan suatu negara dengan
jalan komunitas politik (baca: parpol). Lalu kalau penyair tidak berpolitik apa
puisi-puisi masih bisa menjadi jalan untuk merubah tatanan negara yang
amburadul?
Meminjam pendapat
penulis buku Pada Suatu Mata Kita Menulis
Cahaya, A Ganjar Sudibyo, bahwa politik sedang menjenuhkan dan puisi tumbuh
bukan karena politik. Memanglah benar apa yang dikatakan Ganz (panggilan A
Ganjar Sudibyo), namun kalau kejenuhan terus berjalan maka akan ada kemungkinan
Indonesia menjadi Indo(Am)nesia, kelupaan jati diri sebelum dilahirkan sebagai
Republik Indonesia.
Maka saya sendiri,
meskipun sampai sekarang merasa wegah
dengan politik, namun kalau tidak penyair yang memulai terjun dalam politik,
setidaknya politik akan selalu sama: jenuh,
kotor, bengkok. Dan saya meyakini kalau penyair berpolitik maka setidaknya
sebagian sisi yang diisi para penyair akan lurus dan aspirasi rakyat bisa ditempatkan
pada kelayakannya.
Negara berbudaya,
berkesenian akan menjadikan negeri ini lebih berkarakter-sesuai kampanye kementerian
pendidikan menerapkan pendidikan karakter, tanpa menambah materi pelajaran
pelajar dengan materi pendidikan karakter- berbudaya, beradab pula.
Sebelum mengakhiri
essay, saya lebih bahagia mengkritisi sesama penyair daripada mengkritisi
pemerintahan yang tak beralamat. Penyair lebih obyektif berfikir daripada
pemerintah saat ini.
Arafat AHC, warga negara Indonesia yang
mencintai dunia kepenulisan, kebudayaan, kesusastraan, kesenian, dan sangat
mencintai arti kehidupan. Lahir dengan nama HABIB ARAFAT di Demak, Jawa Tengah.
Selalu berjalan sampai lelah di pembaringan berbalut kafan.