Semarang-WAWASANews.com.
KH. Ubaidillah Shodaqoh |
Adalah
Shoib (42), penjual susu kedelai di Mlonggo Jepara yang sempat berbincang
dengan WAWASANews.com beberapa waktu lalu
soal korupsi dan kebaikan koruptor. Menurutnya, rentenir dan orang yang korupsi
itu jangan dipenjara, mereka itu punya banyak jasa terhadap masyarakat di mana
ia tinggal. Lho kok?
Menurut
Shoib, yang ngrumati (memberikan dana
operasional) kepada masjid, mushalla, dan proyek kebersihan desanya setiap
bulan, tiada lain adalah rentenir dan pejabat kaya yang dulu pernah terlibat
korupsi.
Bagaimana
tanggapan Anda terhadap bersih-bersih dosa rentenir dan koruptor seperti
tragedi di atas?
Walau
korupsi tidak bisa disebut sebagai budaya karena tidak ada nilai kebaikan berlanjut
di dalamnya, namun, dalam banyak kejadian, korupsi bisa menghancurkan nilai
kebudayaan luhur kemanusiaan laiknya kepercayaan, kejujuran, dan saling tolong.
KH.
Ubaidillah Shodaqoh, pengasuh Pondok Pesantren al-Itqon, Bugen, Semarang, dalam
kesempatan berbincang dengan WAWASANews.com
beberapa waktu lalu menyatakan laku dosa besar korupsi itu harus dicegah dengan sock
therapy secara menyeluruh. Bagaimana tidak, gara-gara korupsi sudah
menggejala di mana-mana, kini haji pun, menurut Kyai Ubed, entah bisa dijamin
sah atau tidak secara hukum, mengingat di sana, konon, banyak terjadi praktik
korupsi. Ibadah yang sangat mungkin dibuat lahan korupsi, ya, haji.
Dibanding
jadi bakul susu kedelai seumpama, menjadi koruptor, kata Kyai Ubed, itu lebih
terhormat. “Paling-paling mereka dihukum dua-tiga tahun usai korupsi miliaran.
Setelah itu, mereka menikmati uang hasil korupsi dan masih dihormati
masyarakat,” ujarnya.
Mengapa
demikian, apakah Undang-Undang Tipikor yang selama ini digunakan sebagai medium
memborgol koruptor kurang membuat efek jera? Menjawab pertanyaan itu, Kyai Ubed
menyatakan kalau Undang-Undang Tipikor tidak substantif. “Yang penting sesuai
juklak, bukan korupsi, entah belakangnya nanti gimana, tidak urusan,” ujar kyai
yang juga Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ (PWNU) Jawa Tengah ini.
Karena
itulah, nahi mungkar (memerintahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran) kepada koruptor itu jauh lebih sulit
daripada nahi mungkar kepada ahli
dosa dan maksiat seperti di tempat perjudian, pelacuran, dan semacamnya
sebagaimana dilakukan oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan agama untuk
membasmi maksiat.
Semakin
sulit ketika kita paham bahwa tindakan korupsi itu beda dengan mencuri. “Kalau
mencuri itu mengambil barang orang lain dari tempat yang tersembunyi di luar
penguasaan dirinya, sementara korupsi itu mengambil hak orang lain secara
terang-terangan dari kantong yang telah dikuasainya secara hukum,” ungkapnya.
(Badri)