Esai
Oleh Arif Saifudin Yudistira
Ada memori yang tak bisa dihapus oleh
orang-orang Tionghoa ketika ia merayakan Imlek. Imlek tak sekadar peringatan,
ia pun menjadi doa dan harapan untuk menjalani hari-hari depan setelah air mata kering semenjak peristiwa
bertahun-tahun silam. Etnis Cina di Indonesia memang masyarakat yang sebenarnya
datang jauh sebelum negara ini terbentuk. Hanya saja, bagaimana ia diterima,
memerlukan proses perjuangan dan dinamika yang panjang. Baik pada masa
kolonialisme, kemerdekaan, hingga ia melewati Orde Baru, Orde Lama dan Reformasi.
Imlek kini sudah terbuka dirayakan. Masyarakat
etnis Cina tak perlu sembunyi-sembunyi dan ketakutan merayakan hari besarnya itu.
Tidak seperti di masa silam. Di Orde Baru, etnis Cina seperti mengalami
keterbatasan dalam melakukan segala aktifitas budaya, agama, maupun persoalan
bahasa. Nama-nama Cina harus menyesuaikan dengan yang berbau Indonesia. Tradisi
mereka harus dirayakan khusus, hingga untuk memperoleh hak-hak sipil mesti
melewati birokrasi yang ruwet dan sulit.
Sekarang, Indonesia memiliki
warna baru, warna itu adalah warna yang bukan lagi Cina, tapi sudah melebur
menjadi warna Indonesia. Onghokham mencatat bahwa orang-orang Cina Totok yang
ada di negeri ini sudah membaur dengan budaya dan apa yang ada di negeri kita.
Ia mengalami akulturasi maupun asimilasi. Karena tinggal lama di Indonesia
itulah biasanya Cina Totok tak bisa lagi menggunakan bahasa asalinya, atau
sudah tak sefasih dulu. Kini orang-orang tak lagi memilah-milah dan
membeda-bedakan mana Cina Totok maupun Tionghoa. Mereka kini sudah menjadi satu
keluarga, yakni keluarga Indonesia.
Berubah
Ada berbagai perubahan pada masyarakat
Tionghoa. Masyarakat Tionghoa bila di masa Orba memilih jalan apolitis
sebagaimana I.Wibowo (2010) mengatakan: ”terjadi sikap apolitik di kalangan
orang Tionghoa walaupun sikap yang sama tampak hampir semua kelompok orang di
Indonesia”.
Mereka lebih mengurusi lahan garap di
bidang ekonomi. Maka, di masa reformasi mereka mulai mempertimbangkan bagaimana
menyalurkan ekspresi politik dan memperjuangkan hak-hak mereka. Di era B.J. Habibie, mereka mendirikan Partai
Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti).
Meski demikian,
aktifisme politik orang-orang Tionghoa bukan mulus-mulus saja. Ada yang
mendukung, tapi ada pula yang menolak. Salah satunya adalah Kwik Kian Gie yang
menilai bila perjuangan mereka adalah untuk memperjuangkan hak-hak politik
mereka dan melebur ke dalam indonesia, mengapa yang mereka dirikan adalah
partai keturunan.
Kwik
Kian Gie meski aktif di politik, ia memilih partai yang bersifat nasionalis.
Bersama PDI Perjuangan (PDI-P), Kwik Kian Gie akhirnya menjadi salah satu orang
Tionghoa yang menduduki posisi penting sebagai menteri di masa Gus Dur.
Perubahan orang-orang
Tionghoa juga terjadi pada bidang budaya. Dalam hal budaya misalnya, di kota
Solo yang di masa 98 orang Tionghoa mengalami masa yang mengerikan dan traumatik,
kini, paska kepemimpinan Jokowi, ada acara tradisional yang membaur bersama
tradisi ala Jawa-Tionghoa yakni “Grebeg Sudiro“. Acara ini diadakan menjelang
Imlek dan diikuti oleh berbagai kalangan dan bisa dinikmati oleh masyarakat
umum.
Tionghoa
kini sudah bukan lagi masyarakat yang berbeda, upacara Imlek bukan lagi milik
orang Cina semata. Di negeri ini, Imlek pun menjadi milik masyarakat indonesia.
Generasi muda pun menganggap Imlek bukan lagi milik segolongan tertentu, tapi ia
adalah upacara tradisi yang sudah menjadi milik bersama.
Melalui Imlek
itu pula kita bisa semakin mengenali warna tradisi, makanan, hingga kesenian
yang merupakan warisan leluhur. Meski orang Tionghoa memiliki akar dan masa
silam yang tak bisa dilepaskan, tapi mereka pun memiliki kesadaran bahwa mereka
adalah bagian dari Indonesia. Sikap saling menghormati dan menghargai, saling
memberi dan menerima, saling toleransi dan mengapresiasi itulah yang mestinya
dipupuk dan dijaga.
Sebab
bila belajar dari masa silam, konflik berdarah yang ada di masa lalu adalah
karena sentimen yang tinggi, sikap mengunggulkan etnis, hingga permasalahan
kesenjangan ekonomi. Untuk itu, setelah konflik dan darah usai, kita mesti
lebih menjaga agar peristiwa yang ada di masa silam tak terjadi di masa
mendatang. Karena perbedaan yang ada di berbagai hal baik perbedaan agama,
perbedaan etnis, dan tradisi bila diresapi adalah kekayaan dan khazanah yang
luar biasa dari negeri kita.
Imlek
menjadi tanda bahwa negeri ini memiliki berbagai kekayaan dan warna yang
berbeda-beda. Warna itulah yang menguatkan semboyan negara kita “Bhinneka
Tunggal Ika”, meski berbeda-beda kita adalah satu. Warna itulah yang
semakin menjadikan Indonesia, indah.
Maka dari itu Imlek menjadi pelajaran
berharga kepada masyarakat Tionghoa maupun rakyat Indonesia pada umumnya.
Melalui Imlek kita diajak untuk
merasakan bahwa Indonesia memiliki berjuta wajah, tapi tetap dalam satu wadah
dan satu rumah: Indonesia. Meski kita tak bisa
melupakan pelajaran dan peristiwa yang begitu berharga di masa-masa silam.
Arif Saifudin
Yudistira,
mahasiswa UMS, pegiat di bilik literasi Solo