Oleh Hendra Sugiantoro
Judul
Buku : Guru Cerdas
Penulis : Sudaryanto, S.Pd., M.Hum.
Penerbit : Adi Citra Cemerlang, Solo
Cetakan : I, Februari 2012
Tebal : xii+156 halaman
Dengan membaca dan menulis, guru akan
mampu memperkaya dan mengembangkan keilmuannya. Namun, diakui atau tidak, guru
di negeri ini tampak masih lemah terkait kedua hal tersebut. Hal ini terbukti, salah
satunya, dari mandeknya kenaikan golongan yang
mensyaratkan karya tulis ilmiah yang berupa artikel ilmiah populer, makalah,
buku, diktat, modul maupun karya penelitian.
Membuat karya tulis kerapkali
menjadi sandungan. Karena tak mampu dan kurang mau menulis, guru mentok di
golongan IV/a. Terlalu sedikit guru yang menembus golongan IV/b, apalagi
golongan IV/d. Bagi Sudaryanto, penulis buku ini, hal tersebut merupakan
keprihatinan.
Salah satu penyebab sulitnya guru
menghasilkan karya tulis akibat rendahnya kebiasaan membaca. Tanpa
membaca, menulis sebagai kegiatan produktif sulit dilakukan. Dengan tegas,
penulis buku mengajak guru agar membudayakan membaca setiap hari. Kelak
aktivitas membaca yang dilakukan secara konsisten akan menjadi semacam
kebutuhan dan mengasah kemampuan menulis.
Memang kebiasaan membaca belum tentu
berbanding lurus dengan kebiasaan menulis. Dalam hal ini, guru juga perlu
melatih kemampuan menulis. Bahkan, tak masalah apabila hanya menulis sekalimat
setiap hari. Menurut penulis buku, menulis semestinya dapat dilakukan secara
baik oleh guru, karena sebenarnya banyak ide dan gagasan yang
muncul setiap kali mengajar di kelas. Banyak hal yang bisa dituliskan oleh
guru, seperti menulis artikel ilmiah populer, artikel ilmiah jurnal, makalah
seminar, buku pengayaan siswa, dan sebagainya. Pengalaman mengajar sehari-hari
pun bisa dituliskan.
Faktor biaya
dan waktu mungkin menjadi permasalahan tersendiri yang menyebabkan guru malas
menulis. Aktivitas menulis, jujur diakui, membutuhkan biaya. Menulis perlu
informasi dan pengetahuan dari beragam bacaan, semisal buku, majalah, koran,
dan sebagainya. Belum lagi biaya lainnya seperti mengirimkan karya tulis ke
institusi tertentu. Sementara itu, gaji guru kerapkali tak sepadan dengan
pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya. Adanya aturan
guru harus mengajar sebanyak 24 jam per pekan sedikit banyak juga memengaruhi
aktivitas menulis. Guru cenderung disibukkan dengan jam mengajar, bahkan
mengajar di sekolah lain demi tambahan penghasilan.
Untuk mengatasinya, guru harus
pintar-pintar mencari peluang, seperti sesering mungkin berkunjung ke
perpustakaan. Apa yang sekiranya penting dari bacaan perlu
dicatat. Soal waktu, menulis adakalanya selesai
sehari, namun menulis itu sebuah
proses. Bisa jadi tulisan rampung dalam jangka waktu dua hari, sebulan, dan
seterusnya. Jadi, sekalipun guru sibuk mengajar di sekolah, guru tetap dapat
menulis (hlm. 20-21).
Di sisi lain, guru juga perlu mengatasi
hambatan psikologis. Penulis buku menengarai ada faktor-faktor
psikologis guru tak menulis. Pertama,
marasa diri tak berbakat. Pada dasarnya, kemampuan menulis hanya membutuhkan
tekad dan latihan yang kontinyu, bukan pada faktor bakat. Menulis lebih
membutuhkan minat. Artinya, seorang guru asalkan mau belajar dan berlatih
menulis, kelak akan berhasil menulis. Kedua,
takut salah atau disepelekan orang lain. Dalam hal ini, guru semestinya mampu
mengenyahkan rasa malu dan tak takut dikritik. Guru harus percaya diri dengan
hasil tulisannya. Yang penting, guru harus menumbuhkan semangat belajar.
Ketiga,
tak berani mengambil risiko. Guru yang menulis mungkin menghadapi risiko
material dan nonmaterial. Kalau disadari, risiko pasti ada dalam pekerjaan
apapun. Risiko apapun yang dihadapi guru dalam menulis semestinya mampu
membentuk mental yang kuat. Keempat,
bersikap malas. Apabila tak ada karya tulis yang dihasilkan, guru semestinya
tak lagi beralasan sibuk. Sesibuk apapun mengajar, waktu 1-2 jam setiap hari
sebenarnya masih bisa digunakan untuk menulis. Disadari atau tidak, rasa
malaslah yang melilit benak guru.
Kelima, merasa
diri cukup sebagai konsumen. Hal ini diduga terjadi di kalangan guru yang belum
mau dan mampu memberdayakan otak kreatifnya. Guru masih memosisikan dirinya
sebagai pengguna dan pemanfaat dari karya tulis orang
lain. Hanya menerima gagasan orang lain tanpa mau dan mampu berusaha menanggapi
atau mengomentari secara lebih lanjut masih menjangkiti guru.
Keenam, menutup
diri dari pengalaman dan gagasan baru. Dalam aktivitas menulis, guru dituntut
memiliki pengalaman dan gagasan, terutama yang sifatnya baru. Tak dimungkiri
apabila masih banyak guru yang bersikap menutup diri dari pengalaman, gagasan,
atau hal-hal baru. Hal ini berdampak pada kepribadian, bahkan ilmunya tak pernah
bertambah dan minim pengalaman (hlm. 119-129).
Untuk menjadi guru yang cerdas,
membaca dan menulis tentu tak bisa disepelekan. Inspirasi, spirit, dan motivasi
yang disuguhkan dalam buku ini bisa dijadikan salah satu
referensi
demi menguatkan tradisi keilmuan di kalangan guru. Guru tak mungkin mengabaikan
aktivitas menulis, apalagi membaca.
Hendra Sugiantoro,
pembaca buku, berdomisili di
Yogyakarta