Oleh M Abdullah Badri
WAWASANews.com, Logos - Apa yang direncanakan Gusti Allah kepada Anda sepuluh tahun yang akan datang? Kalau Anda mengetahui isyarat dan tanda yang akan terjadi di masa depan, berarti mata batin Anda memiliki daya magnetik luar biasa membaca yang sulit dibaca manusia pada umumnya.
Walau banyak orang mengatakan, masa depan adalah misteri, namun, setotalnya sudah diatur sedemikian rupa jalannya oleh yang menciptakan hidup, Sang Maha Hidup. Bila Anda meyakini hal yang demikian, maka, meminta kepada Tuhan, dianggap tidak sopan. Mengapa? Semua makhluk yang diciptakan sudah diberikan jatah.
Namun, setiap kita, kala akan mendapatkan jatah yang sudah terberi dari sananya, sudah ada isyarat. Pandai-pandai saja membacanya. Anda akan mendapatkan jatah beasiswa misalnya, tandanya, banyak jalan dilapangkan menuju ke sana. Dengan rencana matang pun, kalau jatah beasiswa itu bukan terbaik buat Anda menurut Gusti Allah, sampai jungkir balik pecirit kuning pun selalu ada rintangan menghadang. Hanya Kera Sakti yang mampu merubahnya setelah negosiasi nasib dengan para Dewa. Itu kalau Anda memiliki daya linuwih magnetik membaca tanda masa depan.
Kanjeng Guru mengatakan, Tuhan itu bukan keponakanmu, bukan pula anakmu, ia adalah Tuhanmu, yang menciptakanmu tanpa perintahmu. Jangan meminta yang tidak diberi. Cara meminta paling pas kepada-Nya adalah: “Gusti, aku meminta ENTAH, yang penting engkau ridlo, selamat dunia, sentosa akhirat, selalu tunduk sembah kepada-Mu”. Begitu Kanjeng Guru bertutur.
Dalam konteks ini, merencanakan sesuatu, kadang menyisakan kegagalan di kemudian hari. Bukan salah, namun hal itu akan jadi bumerang kala rencana yang sudah rapi itu, ambruk di tengah jalan sebelum sampai tujuan. Dalam rencana, yang lebih penting adalah manajemen siap diri hadap masalah. Siap menerima risiko. Bila rencana adalah ikhtiyar lahir mencapai tujuan, maka, risiko adalah persiapan psikologis menanggulangi keretakan hati karena kecewa atas gagalnya sebuah rencana di masa lalu.
Kanjeng Guru mengikuti alur hidup yang demikian. Bahkan kala saya tanya apa rencananya hari ini, dia menjawab: “Jangan direncanakan, siapkan saja segalanya, yang penting semua yang kita kerjakan atas dasar ikhlash,” katanya. Nah, iklash inilah yang dihasilkan dari laku “Gusti, aku meminta ENTAH.”
Banyak kawan saya yang menurut mata lahir umum disebut mapan, uangnya banyak, karirnya tetap, namun, dalam banyak kesempatan refleksi bersama, kadang ndongkol dengan apa yang telah dikerjakan di kantor, rumah, atau kampusnya. Seakan, apa yang dilakukan selama ini tidak punya tujuan kecuali uang. Ia bekerja, demi uang. Ia belajar, demi karir. Ia menikah, demi nafsu, bukan mengikat nafsu. Hampir semua yang dikerjakan, dikritik sendiri. Dalihnya mudah, daripada tidak sama sekali lebih baik melakukan apa yang ada di hadapan mata. Padahal ia sendiri mengatakan bahwa apa yang dilakukannya selama ini seakan bukan yang terbaik bagi dirinya dan masa depannya.
Sebelum lulus kuliah, seorang kawan merencanakan akan menikah dengan pacarnya. Ada juga yang merencanakan berkarir jadi wartawan atau guru. Semuanya terwujud. Alhamdulillah. Namun, apa itu menjamin dia bersyukur? Ternyata belum tentu. Yang jadi wartawan atau guru, ingin keluar dari pekerjaannya itu. Yang menikah, malah ingin poligami. Semuanya berawal dari sebuah rencana, tapi saya mengatakannya, kurang siap segala.
Akibat mencaci pekerjaan dan kesibukannya selama ini, ia retak hati; kurang memiliki rasa syukur. Padahal, dalam syukur, ada kebahagiaan yang terpancar. Bukankah semua yang dilakukan orang yang maksiat ataupun ibadat itu dalam rangka mendapatkan kebahagiaan atau nge-flay, menurut bahasa pemabuk?
Manusia Wali
Kanjeng Guru mengatakan, yang siap atas segala yang ditentukan oleh Gusti Allah hanya mereka yang tidak memiliki rasa takut (khouf) dan susah (hazan). Yakni para wali, yang telah mampu membaca tanda-tanda yang akan terjadi di masa yang akan datang. Seorang wali kenamaan mengetahui kalau ia akan meninggal atas sebab dibunuh orang. Catatan dari sononya ia tahu akan demikian karena telah diberikan tanda jauh-jauh hari. Ia tidak tahu bagaimana cara ia dibunuh nanti, tapi dia siap sedari awal.Karena mengetahui, tidak ada lagi gunanya ia takut dan sedih. Mengapa? Ketakutan itu selalu berawal dari ketidaktahuan atas apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Orang yang susah pun demikian. Ia sedih karena tidak mengetahui jalan keluar dari masalah. Betul nian kata Al-Qur’an: inna auliya Allah la khoufun alaihim wala hum yahzanun/sesungguhnya para wali (kekasih) Allah itu tidak memiliki rasa takut dan sedih hati. Ini ciri batin yang perlu dilatih.
Dengan demikian, rencana, menurut saya, adalah bagian terkecil dari manusia untuk meramalkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Hanya bagian terkecil, mengingat apa yang sudah direncanakan, kadang tak sesuai kehendak hati di kemudian hari. Yang lebih penting dari itu adalah menyiapkan segalanya. Menyiapkan gagapnya kegagalan.
Belajar, ngaji, menulis, diskusi, mengajar, berlatih, mengasah kepekaan, adalah bagian dari cara kita manusia mengetahui yang telah digariskan Tuhan. Belajarlah, setiap hari, sampai mati, Anda akan jadi wali! (wn-ab)