Esai
Oleh Khoirul Anwar
Ada garis diametral yang memisah, menyingkurkan
keduanya. Desa adalah perawan yang belum teraba tangan-tangan jahil. Ia simbol
kepolosan, kesederhanaan dan kemandirian. Namun, desa, juga terkadang gambaran
keterbelakangan, kekalahan manusianya menaklukkan roda zaman. Sehingga
tersudutkan dengan kata-kata “kamu ndeso”.
Lain halnya dengan kota. Adalah tempat
berkumpulnya manusia “berpendidikan”. Bertemunya manusia yang suka bereksperimen
dalam segala hal: budaya, politik, kesenian, kesehatan bahkan seks. Kota
menjadi laboratorium mini yang semua dimasukkan dalam botolnya, kemudian digojak.
Di kota kita menemukan yang riuh di
luar tetapi sepi di dalam. Kota itu hingar bingar bersama, tetapi sunyi dalam
relung rumah tangga. Kota dalam kacamata desa merupakan tempat yang
menyeramkan: sekali masuk, engkau terjerat dan berubah karenanya. Kota itu
penuh monster yang menjelma liluput memikat.
Itulah tangkapan saya ketika seorang teman
menyodorkan draf novelnya. Dalam draf yang masih “mlampo” itu, ia ingin melakonkan
kisah seorang gadis desa yang “ngangsu
kaweruh” di kota. Sebagai manusia yang sejak kecil hingga remaja berkutat
dengan kehidupan desa, dengan segala atribut normanya, merasa canggung
menghadapi “riuh-rendah”nya kota. Si gadis harus setia dengan norma “desa”
tetapi juga terus tergenjet dengan
alunan-alunan rayuan kota yang begitu memikat.
Sang gadis yang lagi ranum dadanya
harus berperang dengan suara batin yang mendapat perapian dari nasehat orang
tua: “Jangan pacaran selama kuliah!”. Saya kira ini peringatan yang wajar dan
sangat umum. Pacaran dalam pandangan orang tua menjadi biang keladi “bubrah”nya para pencari ilmu.
Selain itu, ada semacam ketakutan
melihat gaya pacaran sekarang yang mengaburkan kejelasan: antara sudah menikah
dan masih pacaran, seakan sama. Apalagi di kota yang notabene sifat saling
“asah asuh” sudah memudar. Ditambah dengan jauh jangkauan pengawasan orang tua,
tentu ini menambah kekuatiran.
Apakah orang tua tidak belajar memercayai
sang anak? Bisa saja, meskipun “anakmu bukanlah anakmu” sebagaimana syair
Kahlil Ghibran, tetapi setiap “anak polah
bopo kepradah”, orang tua tetap saja tidak bisa lepas tangan, cul setir, membiarkan anaknya menyusuri
dunia yang akan dijamah meskipun bisa saja secara intelektual sang anak lebih
unggul dibanding orang tuanya sendiri.
Akan tetapi, orang tua sudah lebih lama
merasakan asinnya samudera kehidupan dengan segenap iming-imingnya. Orang tua selalu
diliputi keraguan, setinggi title, gelar akademik, tetapi selama sang anak
masih menyandang “anak” maka ia selalu di bawah pengawasan orang tua. Sebagai
anak, apakah kita legowo?
Berangkat dari desa dengan bekal
nasehat, memegang panji kepercayaan dan rasa ingin membahagiakan orang tua
seakan ajian ampuh menaklukkan beringasnya kota. Perlu diingat, kota mempunyai
“ajian jala sutra” yang mampu melepuhkan “aji-ajian” yang belum matang, apalagi
aji-ajian tersebut dulu diperoleh karena “terpaksa”.
Dengan mudahnya ia akan mlempem dengan ajian jala sutranya kota.
Jala sutra begitu lembut menyerang, tidak frontal dan tidak kelihatan perkasa.
Ia menyusup, perlahan mempengaruhi syaraf-syaraf, membiarkan Anda bertarung
sendiri dengan aji-ajian yang anda miliki. Setelah Anda terkecoh, jala sutra bles melumpuhkan daya pertahanan itu.
Lemas tak berkutik dengan digdaya kota.
Begitu pula yang dialami sang
perempuan: dua semester atau bahkan empat semester ia masih bisa bertahan
dengan hiruk pikuknya kota, tak tergoda dengan riuh rendahnya glamour kota.
Panji-panji petuah masih dipegang kuat, ibarat antivirus ia masih baru dan ces pleng menanggapi virus-virus.
Akan tetapi “rasa kesepian” tak mampu
ia tahan. Apalagi, ketika masih di desa, rasa kekeluargaan, regejekan sambil petan adalah sarana mengungkapkan uneg-uneg. Sekarang, di kota, yang ramai tetapi sepi di
kedalamanya, ia tak kuat. Kanan-kiri temannya punya pasangan yang dilihatnya
begitu mesra, menjadi tumpuan curhat. “Alamak,
alangkah nikmatnya,” pikir sang gadis.
Mula-mula ia canggung mendulit yang disebut
“pacaran”. Ia hanya ingin “ndulit sak
kuku ireng”nya, tak lebih, sebab ia masih memegang “wanti-wanti” orang tua.
Lama-lama ia menambah dosis “ndulit”nya, yang semula sepucuk kuku kini bisa
satu sloki: hingga mabuk kepayang. Wanti-wanti mati.
Orang tua hanya lamunan nun jauh di
pojok jagat yang terasing katrok. “Bukankah
hidupku adalah hidupku. Hidup adalah pilihan: salahkah jika aku memilih? Untuk
apa aku lahir jika aku tak menggenggam kehidupanku sendiri? Milikku bukan
sekedar wadag tetapi juga jiwa, cita-cita, perjalanannya. Inilah kebebasan!” Ia
menikmati kenikmatan kota yang baru sejengkal itu. Dalam menikmati
“pilihan”nya, ia serahkan “mahkota kulit” kepada sang kekasih. La da lah, begegek ugeg-ugeg, waduh angger
genduk sing ayu dewe, kowe wis keblinger!” kata Semar. Tapi nasi telah basi, hendak diapakan
lagi? Sesal. Berhenti di sini draft itu.
Kota, Arti
Perawan
Desa. Air sungai gemericik mengalir di
sela bebatuan. Sawah-sawah menghampar hijau atau mengemuning padinya. Kicaun
burung sambil jumpalitan di pepohonan. Kabut pagi tipis membalut angkasanya.
Manusianya sumeh tak henti jika
berpapasan satu sama lain, meski belum kenal. Pagi-pagi, laki-laki desa membawa
cangkul di pundaknya. Perempuannya membawa snek
(tenggok) di pinggangnya, melangkah dengan senyum menatap masa depan di
hamparan sawahnya. Jika senja menyapa, mereka berkumpul ditemani lampu teplok, atau, jika tepat purnama, mereka
ndeder ing pelataran sambil menikmati
kopi dan berbagai rebusan polo pendemnya.
Anak-anak bermain petak umpet di bawah siraman purnama atau sekedar mendengar
dongeng dari orang tuanya.
Gambaran yang begitu elok, tak ada gejolak
politik yang dirembuk, tak ada diskusi liberalisme, demokrasi, golongan sesat
dan tidak sesat, update barang-barang
mewah dan riuh rendahnya kehidupan selebritis. Yang ada tinggal semacam klangenan, dunia sendiri. Apakah ini
bentuk kebebalan dengan dunia luar, sikap apatis terhadap perkembangan zaman, ataukah
mereka memang tak ingin merembuk hal-hal yang tak ada sangkut pautnya dengan
kehidupannya meski pengaruh itu ada?
Desa memang unik. Ia yang menggenggam
diam, tak dicuatkan ke permukaan. Loro
lopo berani ditanggung, meski dalam keheningan, diam-diam desa bisa ngentut
yang baunya bisa memosak-masikan
ketentraman bernegara. Manusia yang menghuni tentu paham betul arti demokrasi,
bahkan mereka sudah menjalaninya sebelum kata demokrasi merambah Indonesia.
Mereka mempunyai mekanisme memilih
“tetua” desa dengan cara mufakat, dan ini merupakan sistem yang lebih afdhol daripada sekedar memilih gambar
yang tak dikenal tapi muncul tiba-tiba. Mereka bukannya tak mengenal kehidupan
di luar, tetapi dunia luar ia tempatkan sebagai kabut tipis yang menutupi
gunung kesejatian kehidupan di luar sana itu.
Kota. Jalan-jalannya mirip sungai desa:
kendaraan yang terus mengalir tanpa henti. Jika pagi-pagi kita bisa menemukan
orang yang “lari pagi”, senam untuk menjaga kebugaran. Matahari setinggi
tombak, orang-orang dandan rapi dengan dasi bergelantungan di leher, membelah
dada: mempesona. Menggambarkan keanggunan dan kecendikian pikirnya. Makannya
teratur dengan munculnya istilah-istilah keren breakfast, lunch, dinner kadang juga ditambah party. Sungguh asyik. Jika malam jelang melajang: lampu-lampu kota
menyorot tajam seakan mengawasi penghuninya, mengalahkan sayunya ranum
rembulan. Kafe-kafe hidup, tempat hiburan berbinar. Setiap orang mempunyai
tempat yang sesuai dengan kebutuhannya.
Di tempat-tempat itu segalanya bisa
terjadi dan dibahas: tentang penting dan bahayanya liberalisme, demokrasi yang la raiba fih, tentang harga kebutuhan
pokok yang naik, kehidupan selebritis A yang tersandung kasus atau yang lagi
naik daun. Semua dibahas dengan jeli, rapi dan apik. Sebab setiap orang
menggenggam ilmunya, berpredikat profesional. Segalanya harus gamblang,
kehidupan harus diselami: hidup yang dimengerti adalah hidup yang tak layak
dihidupi.
Kota
tak pernah sepi, meski malam mulai melarut dalam pagi. Manusianya seakan-akan
lahir terus menerus: yang satu tidur, yang lainnya bangun. Kota tak pernah
sepi, meski kelihatan sepi sebenarnya ia tak pernah sepi. Ada saja klesik-klesik dalam ruang pribadi, di
hotel, di kafe yang temaram lampunya. Kota dalam keadaan waspada. Jika ada yang
kecolongan, entah dalam bentuk apa, itu hanya kelalaian atau sekedar
mempersilahkan “maling” mengambil sedikit madunya kota.
Itulah kehidupan kota yang boleh jadi
dalam pandangan manusia desa agak sedikit menakutkan, agak sedikit samar
identitasnya. Tapi kota benar-benar bukan monster, bukan samar hanya saja
begitu banyak manusia yang menghidupinya —dengan segala kepandaian, keinginan,
hasrat hidup layak—, maka kota sulit didefinisikan “jenis kelamin”nya, yang
utuh.
Hubungan desa dengan kota bak bola
lampu dengan anai-anai: selalu memikat, simbiosis yang bukan mutualisme, parasitisme,
maupun komersialisme: dia punya nama sendiri yang berubah-ubah. Kota selalu
menjadi madu manusia desa untuk mendatanginya, meski sedikit takut. Kota
bagaikan lampunya desa, yang mengundang untuk datang, karena mencorongkan sinar terang kemajuan meski
mampu membakar. Mungkin yang perlu dipersiapkan desa adalah bagaimana cara
melindungi diri agar jangan sampai terbakar setelah menyentuh bola lampu kota
yang “panas” itu.
Desa dengan gemericik sungainya, kabut
tipis yang menutupi cakrawala pagi, yang sumeh
manusia-manusianya mungkin saja hari ini kita menemukan dalam keadaan yang
berbeda. Desa telah menyerupai anak bajangnya kota, sebab pemerintah memperhatikan
desa dengan rencana “mbangun deso”. Mungkin
pemerintah menganggap desa selama ini sebagai bayi yang tertidur pulas dan harus
segera dibangunkan.
Kota, dengan kendaraan di
jalan-jalannya bagaikan alur sungai di desa, dengan keriuhan malamnya tanpa
henti mungkin saja hari ini Anda menemukan kota berusaha menjadi desa karena
terlalu penat menanggung kehidupan, desakan keinginan yang tanpa henti sehingga
sadar “tubuh” punya mekanisme metabolisme yang tidak bisa terus-terusan
digenjot.
Tetapi, bisa saja hari ini dan esok
kita tak akan lagi menemukan desa dan kota, sebab desa telah berubah menjadi
kota dan kota bertiwikrama menjadi
hiperkota. Jika kita kangen dengan itu semua: hanya bisa menulis keelokan di
lembaran kertas kemudian larut di dalamnya. Tanpa sadar, kita tidur di atasnya
dan meneteskan liur membanjiri “gambaran” desa dan kota yang tak rampung kita
tulis.
Yogyakarta, 22 Februari 2013
Khoirul Anwar,
tinggal di
Yogyakarta