Editorial WAWASANews.com
Sumber: indonesiarayanews.com |
Sang
Ketua Umum Partai Demokrat akhirnya tumbang dan lunglai, tapi ia santai. Anas jatuh bukan dari
Monas. Serangkaian proses kudeta menjadi bagian cerita politik di balik
penjungkalan Anas Urbaningrum dari pucuk pimpinan partai penguasa, Demokrat.
Sabtu siang (23/2/2013), merupakan pidato politik Anas yang paling berani
sekaligus sebagai sikap dan pandangan politiknya.
Menjadi
politisi, apalagi menggenggam posisi Ketum partai berkuasa, Anas sadar betul
resiko-resiko pelik yang dihadapi. Sejak kongres Bandung 2009 silam, mantan
Ketum PB HMI itu bukanlah sosok yang digadang memimpin partai. Ia bayi yang tak
dikehendaki. Suara sumbang dan upaya merongrong kursi kekuasaan Anas terus
terjadi, dari dalam maupun luar partai.
Anas
kader Demokrat yang bandel. Ia tak seperti Andi Mallaranggeng, yang telah
teruji bisa melayani SBY dengan baik. Oposisi Anas berpikir, AU bagai duri
dalam daging di partai. Kemenangan Anas sebagai Ketum menunjukkan kelasnya
sebagai politisi handal. Ia patahkan kalkulasi politik publik, bahkan pikiran politik
SBY sekalipun “dikelabui”.
Keberadaan
Anas menjadi bara yang tak pernah padam di Demokrat. Kerapkali, ia
berseberangan dengan orang-orang yang dulu dekat dengannya. Pasca penangkapan
KPK, Nazaruddin, mantan bendahara umum Demokrat, bernyanyi soal kasus korupsi
yang menimpanya. Anas, oleh Nazar disebut terlibat pula kasus korupsi
Hambalang.
Tapi
kala itu, Anas masih kokoh dilindungi jubah kekuasaan. Nyanyian Nazar hanya
mampu menarik Angelina Sondakh, Andi Mallaranggeng—sebagai tersangka korupsi. Drama
politik lagi-lagi memunculkan kejutan. Setelah kawan-kawannya berstatus
tersangka korupsi, Februari tahun ini adalah “bulan petaka” bagi Anas. Atas
nama penyelamatan partai, SBY mengambilalih kendali Demokrat dari tangan Ketum Anas.
Anas
tak usah lagi mengurus Demokrat, fokus pada proses hukum di KPK saja. Sinyalemen
politik itu dibaca Anas sebagai bentuk “kudeta merangkak” Dewan Pembina dan
elit politik Demokrat. Anas pun terjungkal dari kekuasaan setelah KPK
menetapkan statusnya sebagai tersangka korupsi Hambalang.
AU
politisi yang dingin, cerdas. Walaupun ia dikudeta, tetap saja ia menunjukkan
ketenangan. Dengan gaya khas, ia taati proses hukum sebagai tersangka sembari
menjemput keadilan. Ia masih bimbang, ini proses hukum atau skenario politik.
Anas tumbang, tapi bukan berarti prahara Demokrat berakhir.
Anas
punya pengikut yang loyal-ideologis, walau ada yang pragmatis. Roda organisasi
Demokrat memang sudah sukar digerakkan Anas, tapi secara kultural-politik,
kuasa Anas belum berakhir. Kudeta akan melahirkan benci bahkan sakit hati.
Peminggiran Anas hanya ada dua pilihan: Demokrat selamat jelang Pemilu 2014,
atau kudeta Anas menjadi petanda buruk Pak Beye dan Demokrat di tahun politik.
(Andre)