Opini Investigasi
Oleh T. Nugroho Angkasa S.Pd
Anand Krishna |
Sabtu (16/2/2013) silam, aktivis spiritual
lintas agama Anand Krishna telah menyerahkan diri secara sukarela kepada petugas
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel). Sebab, pria kelahiran
Surakarta 57 tahun silam tersebut tak ingin menyaksikan pertumpahan darah di Padepokan
Anand Ashram Ubud, Desa Tegalantang, Bali. Penulis 150 buku lebih tersebut langsung
diterbangkan ke Jakarta dan dibui di LP Cipinang.
Saat itu, ada tim eksekutor dari Kejari
Jaksel yang dibantu 50 orang preman berbadan tegap. Menurut kesaksian Putu Puji
Astuti, jalannya penangkapan terhadap Anand dinodai tindak kekerasan yang
menimpa para murid dan pendukungnya. “Petugas melompati pagar dan memaksa
masuk, puluhan simpatisan Pak Anand dibanting petugas sehingga mengalami luka
fisik dan trauma psikis termasuk kaum perempuan,“ ujar ketua IWAG Peace
tersebut.
Kendati demikian, Astuti menandaskan bahwa sesuai
komitmen awal, Anand dan rekan lainnya akan terus berjuang menegakkan keadilan
dan menyebarkan semangat kasih sayang dan perdamaian. “Bapak tidak ingin melihat
ada tindak kekerasan, apalagi harus menimpa para sahabat yang datang dari seluruh
Indonesia dan bahkan dunia,“ tuturnya.
Kronologi kasus Anand Krishna terbilang
penuh lika-liku. Majelis hakim yang dipimpin Albertina Ho pernah memutuskan
pendiri Yayasan Anand Ashram tersebut tidak bersalah. Putusan bebas atas Anand
dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel)
pada Selasa (22/11/2011).
Majelis hakim menjatuhkan putusan ini pasca
mendengarkan 16 saksi dan 5 saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
serta 8 saksi meringankan dan empat saksi ahli yang dihadirkan pihak Anand.
"Anand Krishna harus dibebaskan dari dakwaan tersebut," ujar Astuti.
Namun, JPU Martha Berliana Tobing
mengajukan kasasi dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam putusan
terhadap Krisna Kumar Tolaram Gang Tani alias Anand Krishna tersebut terdapat
kejanggalan, sebab Jaksa Penuntut Umum mencantumkan kasus pidana merek sebagai
salah satu alasan kasasi.
Seperti dalam salinan putusan Anand Krishna
yang diunduh detik.com dari website MA pada Rabu (14/11/2012), pada
halaman 38 muncul pertimbangan JPU mengajukan kasasi sebagai berikut:
"Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris
tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap
fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan
yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006
yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami, sehingga dengan
demikian sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum
untuk menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang
dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat."
Andi Saputra, jurnalis detik.com kemudian melacak, dan ternyata nomor perkara
20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 adalah sengketa pidana merek. Dalam
berkas perkara MA tersebut, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya. Erik
didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang
Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena
menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain. Lihat link di sini.
Nah, alasan kasasi JPU dalam perkara Anand
Krishna ternyata muncul dalam salinan putusan Anand Krishna. Dalam salinan
putusan Anand Krishna tersebut tertulis Panitera Pengganti adalah Dulhusin dan
Panitera Muda Pidana MA Machmud Rachmi. Majelis kasasi yang terdiri dari
Zaharuddin Utama dengan dua hakim agung Achmad Yamanie dan Sofyan Sitompul
sepakat Anand telah terbukti bersalah, mengapa bisa muncul pertimbangan pidana
merek versi JPU di putusan Anand Krishna?
Tak berhenti sampai di situ, modus
pemalsuan dokumen di lembaga yudisial tertinggi di Indonesia tersebut, beberapa waktu kemudian, oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) divonis hakim
agung Ahmad Yamanie dengan sanksi pemberhentian secara tidak hormat. Ahmad
Yamanie secara sah terbukti melakukan tindak pelanggaran pemalsuan berkas putusan
PK terpidana bos narkoba Hengky Gunawan.
"Memutuskan, menolak pembelaan
diri hakim terlapor menyatakan Ahmad Yamani melakukan pelanggaran pedoman kode
etik perilaku hakim," kata ketua majelis MKH Paulus Effendie Lotulung,
dalam sidang MKH di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta
pada Selasa (8/12/2012).
Dengan demikian, Ahmad Yamanie
merupakan hakim agung pertama kali di Indonesia yang dipecat oleh majelis MKH
bentukan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Yamani juga melanggar putusan
bersama MA-KY tentang pedoman perilaku hakim
Henky Gunawan adalah pemilik pabrik
ekstasi di Surabaya. PN Surabaya memvonis Hengky 17 tahun penjara, Pengadilan
Tinggi (PT) Surabaya menghukum 18 tahun penjara dan kasasi MA mengubah hukuman
Hengky menjadi hukuman mati. Namun oleh Imron Anwari, Hakim Nyak Pha dan Ahmad
Yamani, hukuman Hengky jadi 15 tahun penjara.
Simpati
Kembali ke kasus Anand Krishna yang
berlansgung selama 4 tahun lebih ini, Nasib
pejuang HAM dan tokoh spiritual Anand Krishna (AK) sungguh menyedihkan. Upaya
untuk menjebloskan beliau ke bui secara paksa dan kekerasan pun dilakukan oleh
pihak Kejaksaan. Padahal cara-cara tersebut selain melanggar aturan hukum yang
berlaku, juga menampilkan arogansi dan kesewenangan.”
Lebih lanjut,
menurut Menristek pada era Presiden Gus Dur tersebut, kasus yang dihadapi Anand Krishna menjadi
perhatian internasional karena begitu banyak kecurangan dan pelanggaran yang
dilakukan pihak Jaksa sejak masih di PN Jaksel. Bahkan, putusan bebas murni pun
kemudian dilanggar dengan kasasi oleh MA yang mencabutnya. “Apa yang menimpa
Pak AK adalah bukti nyata bahwa kendati negeri ini telah mengalami reformasi,
tetapi hukum belumlah menjadi panglima.”
“Semoga Pak AK
tetap bersabar dan bertahan dalam melawan kesewenang-wenangan. Dan para
pendukungnya pun tidak terprovokasi oleh prilaku aparat. Saya yakin kebenaran
pada akhirnya akan menang, kendati kejahatan ditopang oleh kekuasaan sebesar
apapun,” tandas pria yang pernah bekerja sebagai peneliti LIPI tersebut. Klik
sini untuk mendapatkan berita pernyataannya.
Sedangkan dari
luar negeri, Sacha Stone yang berada di lokasi eksekusi turut menyampaikan
pernyataan sikap, "In this country,
we cannot identify what is law or no law, what is just or unjust. That's why we
have to bring this case to the international court." (Di
sini, kita tak bisa membedakan mana yang sesuai hukum dan mana yang melanggar
hukum, apa yang adil dan apa yang tak adil. Itulah sebabnya kita harus
membawanya ke mahkamah internasional).”
Lebih
lanjut menurut pendiri Humanitad
Foundation, lembaga independen yang aktif mengadvokasi di 90 negara ini
berpendapat, “Anand Krishna represents
the struggle for the modern Indonesian soul -and must therefore be protected
and defended.” (Anand Krishna merepresentasikan perjuangan jiwa manusia Indonesia
modern, oleh sebab itu ia harus dilindungi dan diadvokasi).
Akhir
kata, penulis bersepakat dengan keyakinan Andreas Susetya berikut ini, “Yang
putih tetaplah putih, yang bersih tetaplah bersih. Permata tetaplah sebuah
permata, yang kilau sinarnya akan tetap ada sepanjang masa. Sebagaimana hukum
tabur-tuai yang bersifat universal, setiap "tangan-tangan kotor"
pastilah akan mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukan, cepat atau
lambat. Sama seperti bejana timbangan yang digunakan untuk menghakimi, itu pula
yang akan diterimanya. Kiranya nilai keadilan dan kebenaran yang sejati akan dapat
ditegakkan dalam diri kita masing-masing. Juga dalam sistem pemerintahan di
negara kita tercinta.” Semoga!
T.
Nugroho Angkasa S.Pd,
guru bahasa Inggris
dan Penulis Lepas, tinggal di Yogyakarta