Esai
Oleh Khoirul Anwar
Kentut merupakan “sesuatu” yang diharap
tetapi juga dilaknat. Ungkapan pergaulan sehari-hari dalam bahasa Jawa
mengatakan: ”yendiempetdadiloro yen
metudadiperkoro/ jika ditahan akan menjadi penyakit tetapi jika dikeluarkan
menjadi perkara.”
Ya, kentut memang dilema bagi sebagian
orang. Jika Anda tidak bisa kentut barang sehari saja tentunya kelimpungan. Rasa
was-was merajam hati, perut kembung: bayangan jarum suntik sang dokter
menghantui. Berapa biaya yang akan Anda keluarkan jika ternyata tangan dokter
itu terpaksa mengeluarkan kentut dari lokus-nya?
Inilah kentut.
Namun, sebab kentut pula, tak jarang merasa
malu dengan sesama. Apalagi kentut anda tiba-tiba keluar “brutt” nyaring berentetan seperti suara senapan beruntun. Muka Anda terasa
kecut menahan malu. Betapa tidak, orang sekitar akan memandang Anda dengan
tatapan aneh.
Apakah Anda berani menahan kentut?Apakah
Anda berani menjamin jika sistem katup “lubang angin” mampu menahan gempuran
gas dari dalam lokus Anda?
Sistem bertahan tetaplah manajemen yang
mempunyai celah.Sewaktu-waktu bisa terbuka sendiri. Ini hal yang wajar, alamiah
dan sama sekali tidak mengenal sopan santun. Dia akan menjalani sistem
metabolisme yang sudah diatur dengan teratur. Jika dipikir apakah salah sebuah
kentut? Toh itu hal yang lumrah terjadi pada siapa saja: presiden, menteri,
gelandangan. Cantik atau tidak. Semua pasti mengalami.
Barangkali, yang menjadi masalah adalah,
siapa yang mengentut dan di mana kentut itu keluar?Berbunyi atau cuma nylonong begitu saja?Bau atau tidak?Saya
kira inilah yang menjadi pokok soal. Jika yang kentut semacam saya dan terjadi
di antara orang-orang “besar” tentunya mereka akan mencap saya sebagai manusia
kurang ajar, orang yang tidak mampu menahan keinginan. Tapi benarkah kentut itu
keinginan? Bukankah kentut itu kebutuhan?
Lain lagi jika yang kentut itu
presiden, misalnya. Tentunya tak ada orang yang berani mencap presiden tak tahu
diri, yang ada hanya klesak-klesik:
ternyata presiden bisa kentut juga. La da
lah, kita lupa dengan kentut yang siapa saja bisa mengalaminya. Kita sering
menengok jabatan tanpa peduli dan menyadari: setiap yang bernyawa pasti kentut.
Sebagian dari kita masih menganggap
kentut menjadi tolok ukur sopan santun seseorang. Orang kentut sembarangan,
berbunyi, dianggap kurang ajar.Sedangkan, yang ngentutnya cuma nylonong dan tak
berbau dianggap sopan.Entah mulai kapan moral manusia diukur dari kentut? Apakah
moral itu kentut dan kentut itu moral? Yang jelas, realitanya, kentut tetap saja
mempengaruhi kredibilitas seseorang.
Putu Wijaya, dalam cerpen “Tarzan”-nya
melakonkan sekaligus menggugah kesadaran kita tentang arti kentut. Tarzan, yang
sudah siap melamar kekasihnya ternyata gagal hanya gara-gara kentut yang tak
mampu ditahannya.Di hadapan calon mertuanya, kentut Tarzan tiba-tiba menyeruak
beruntun. Dia tak bisa mengelak dari kentut. Sang calon mertua bisa dipastikan
akan menolak lamarannya. Macam mertua mana yang mau menerima menantu yang disaat
datang peristiwa penting “tiba-tiba” angin busuk menyembur kuat? Tak ada,
kecuali calon mertua itu paham dan memahami tentang kentut.Celakanya lagi,
Tarzan hanya pemuda biasa, dari kalangan biasa pula.Sudah jatuh keruntuhan tangga.
Paradigma terhadap kentut yang salah
dapat menyebabkan banyak orang yang mengelak mengaku. Yang ada hanya saling
menunjuk: dia, bukan saya, yang kentut. Ini pertanda matinya kejantanan
seseorang mengakui kentut. Lihatlah, sekarang ingin kentut namun tidak ingin
dikatakan yang kentut. Si pengentut sibuk mencari “kambing hitam”, padahal
kambing hitam pun tak pernah menunjuk orang lain jika kentut.
Orang yang paling malu, paling nervous dengan kentut adalah orang yang
merasa “suci”, sopan, selalu menjaga sopan santun (meski basa-basi).
Orang-orang tipe ini jika kentut hanya diam, jika kentutnya berbunyi dia akan
mencari dalih dengan berbagai alasan: ada konspirasi besar dengan makanan yang
ditelan. Jika bisa, orang lainlah yang dituduh penyebab mengentutnya.
Tenanglah jika menghadapi orang tipe
semacam ini, sebab: ayam setelah bertelur pasti petak-petok. Artinya, orang yang teriak kentut, itulah sebenarnya
yang kentut. Alasannya sederhana, tak ada orang yang mau mengakui kentutnya,
kecuali menuding orang lain yang kentut.
Jika memang Anda sedang kentut, maka
akuilah dengan jantan. Sebab, entahdiakui atau tidak, kenyataannya Anda tetap
saja kentut. Kenapa harus malu dengan kentut, toh setiap manusia pernah kentut juga, bukan? Yang memalukan jika
kita sibuk mencari dalih “konspirasi” dengan keentutan kita.
Khoirul Anwar,
Esais, tinggal di Yogyakarta