Cerpen
Asih Prasetiyawati, lahir di Tegal, 14 Juni 1990. Menulis cerpen dan puisi. Cerpennya “Cahaya Beranda” pernah dimuat di Buletin Pustaka Semarang. Puisinya pernah dimuat di Buletin Jejak Edisi November 2012, Antologi Puisi “127 Penyair dari Sragen Memandang Indonesia” (Dewan Kesenian Daerah Sragen, 2012), dan Mekanika Kuantum-Long Distance Relationship (GoresanPena Publishing, 2012). Tinggal di Tegal.
Oleh Asih Prasetiyawati
Foto: kapanlagi.com |
Jangankan dokter, tukang ojek di
komplek saja malas menujukan matanya padaku. Jadi wajar saja kalau Dante sangsi.
Otaknya jenius, dia lulusan kedokteran di fakultas ternama di Jakarta. Tubuhnya
meski tidak terlalu tinggi terlihat wibawa saat berjalan di hadapanku. Aku
hanya mampu menyimpan seabrek cinta pada cucian baju kotornya.
Walau begitu, Dante tidak tahu aku mahir fesbukan seperti teman-teman rumah sakitnya. Temanku di jejaring
sosial lebih banyak darinya, kuharap dia tidak kaget Entin yang dia panggil sehari-hari
di rumah berubah menjadi Agata dalam halaman novel koleksinya. Bukankah pembantu
juga berhak populer?
Dibandingkan dengan Dante, umurku
juga tidak jauh beda. Dante hanya menyisakan dua tahun lebih tua dariku. Lalu
apa yang kulakukan selama ini dosa? Aku mencuci pakaiannya dan hafal dengan bau
keringatnya, aku menyetrika bajunya dan hafal bau parfum yang tertinggal di
bajunya. Aku membuatkan kopi setiap pagi dan hafal berapa gram gula yang pas di
lidahnya. Apakah ini karena kebiasaan? Tidak. Aku tertarik padanya lebih dari semua
kebiasaan itu.
Dante akan terperanjak ketika tahu
novel yang ia simpan di balik bantal putihnya adalah tulisanku.
"Agata, kalau aku bertemu
denganmu, pasti sudah kupeluk," samar kudengar Dante berbicara dengan
novel di tangannya. Ia kemudian mencium novel itu.
Sementara lubang pintu di kamarnya
terlalu kecil, aku hanya mampu melihat geraknya berkelebatan di atas tempat
tidur.
Dokter mana pun juga akan kaget
melihat penulis aslinya adalah seorang pembantu bergigi tonggos.
Paginya aku berani menyapa Dante di ruang makan. Seperti
biasa, ia wangi dan rambutnya tertata begitu rapih. Pandangan matanya begitu
dalam ketika menatap seseorang. Wajahnya teduh dan bersih. Sepotong roti dengan
taburan meses kusajikan di piring putih di hadapannya.
"Sudah sana!" sergah Dante ketika aku masih berdiri
di sampingnya. Betapa menampar sekali perintahnya. Andai saja ada malaikat
tahu, atau melihat, aku berdoa saja begini: "Dengarlah malaikat, dia
begitu sinis padaku. Aku ingin jadi Agata. Agata yang cantik dan berkulit
mulus. Agata yang giginya putih dan rapih seperti deretan pualam putih di laut.
Sampaikan pada Tuhan aku ingin memiliki kaki jenjang dan bodi montok seperti
dokter kecantikan yang selalu mengejar-ngejar dia. Dengarlah. Dengarlah!"
Aku berbalik badan. Memutar tubuhku dengan pelan. Ketika itu
detik per detik sangat kuhayati dengan harapan Dante akan mencabut perkataannya
dan memanggilku untuk minta maaf. Tapi..
"Tunggu apa lagi, cepat
pergi!"
Seketika itu aku tahu malaikat tidak
pernah main pada tubuhku. Kupikir malaikat masih betah pada tubuh Alysa, pengagum
berat Dante. Rambutnya curly-nya dia
biarkan menjuntai harum hingga ke pinggang, dan aku tahu, ketika dia mampir ke
rumah Dante pukul delapan malam, ia sudah menghabiskan berjam-jam waktunya di
salon langganan majikan Jum.
Matanya lentik dengan hiasan eye liner mahal yang kutahu sering digunakan
sebagai make-up artis, begitu pun blash
on-nya mungkin berharga tiga kali lipat dari upahku sebulan. Inilah yang
kusangka curang. Malaikat bersemayam pada wanita sekelas Alysa saja, dan
meninggalkan wanita sepertiku. Ketika dia berjalan, high-heelnya mengetuk-ketuk tanah seolah mengundang mata dunia
untuk menatapnya. Tidak rugi lifestyle
Alysa. Tukang ojek dan satpam di komplek ini sangat tergila-gila dan selalu
menunggu perempuan anggun itu pukul delapan malam.
Aku tidak mengerti apa arti cinta di
mata para pria. Ibuku mengatakan bahwa arti cinta akan berbeda ketika sepasang
manusia tumbuh dewasa. Ibu bersedia menikah dengan ayah karena dijodohkan.
Ketika ku tanya apakah ibu bahagia, apakah ibu mencintai ayah, ibu hanya
terkekeh lalu menjawab enteng: “Kalau tidak cinta, mana mungkin akan ada kamu
di dunia ini.”
Tapi aku tidak puas dengan jawaban
ibu. Ibu selalu bilang kalau aku juga harus menjadi wanita yang menurut pada
suami, menjaga perasaan suami, melayani suami dengan sepenuh hati, jangan
terlalu lama marah pada suami ketika suami madon’.
Lalu di mana letak kebahagiaan seorang wanita dalam kehidupan rumah tangga?
Kenapa wanita harus dituntut lebih legowo
dari kaum pria? Lagi-lagi ibu hanya menggeleng-geleng kepala, katanya aku
terlalu seperti orang Barat. Sesudah itu, ibu menasehatiku agar tidak menjadi
wanita yang ngeyel dalam urusan
bahagia.
Malam hari setelah memungkiri
nasehat ibu, aku justru mimpi aneh. Malaikat mendatangiku. Itu terjadi saat
umurku 17 tahun. Dia berkata agar aku terus menembus pertanyaan besarku tentang
cinta. Malaikat memberi sebuah buku kira-kira besarnya dua kali tubuhku. Perlahan
dengan tubuh gemetar dan keringat dingin yang menderas, ku buka satu per satu
halaman buku. Pada halaman 299 ku baca ada nama Agata. Sekali lagi ku eja:
A-G-A-T-A.
Beberapa saat kemudian aku terpental
dari buku yang ku baca dan diakhiri dengan suara lonceng yang gemerincingnya lebih
keras dari suara pedati sapi di desaku. Kukira itu Jibril. Keesokan harinya
nama Agata benar-benar muncul dalam saku dasterku. Kukira Jibril telah
menyelipkan nama itu ketika aku tidur malam itu.
Dante juga tidak tahu kalau pembantunya
pernah sekolah sampai SMA. Dia hanya mengira aku layaknya Minah atau Jum,
pembantu komplek yang sering ngerumpi dan tidak begitu ngerti tentang cerpen dan aritmatika. Betapa sering dia tertipu.
Itulah kenapa sampai saat ini dia membenci perempuan tapi tidak mau disebut
seorang homo. Dia tertipu oleh Alysa. Pertengkaran yang kusaksikan 3 tahun lalu
di depan ruang makan.
“Bulsit
dengan perkataanmu Lysa!. Kukira kamu setia. Lalu siapa lelaki yang hangat di pelukanmu
itu? Anakmu? Anakmu berusia sepantaranmu?!”
Otot leher Dante membesar tiga kali
lipat. Suaranya yang gegar hampir saja meretakkan piring-piring di dapur.
“Dengar dulu. Dia hanya mantanku dan
ayah anakku. Tidak lebih!” Suara Alysa lebih nyaring dari Dante. Wajahnya
hampir tenggelam oleh air mata.
“Kau bilang hanya?! Kau penipu. Kau
bilang masih perawan. Ah pokoknya kau penipu! Selama tiga tahun kau gilir aku
dengan lelaki itu. Penipu!”
Semenjak itu aku mengerti Dante
adalah orang paling tertipu. Siapa sangka dokter semolek Alysa telah memiliki anak
tanpa pernikahan. Siapa sangka pula orang sejenius Dante tidak mampu membaca
keadaan pacarnya. Maka kupikir Alysa memang beruntung dikelilingi malaikat. Dia
selalu pandai memainkan keindahan.
Boleh jadi Dante sudah patah beribu
patah hati. Perpisahan dengan Alysa membuat dia menjadi pria dingin dan ketus.
Jangankan melemparkan sedikit senyum padaku, pada perempuan cantik mana pun dia
enggan melakukannya. Apakah Dante depresi? Karena kesedihan mendalamnya itulah
ku buat sebuah novel bernama pena Agata. Ya. Agata.
Wanita sempurna yang diinginkan Dante
tertuang pada setiap karakter yang dimainkan Agata. Mungkin itulah yang membuat
Dante sering mencumbu novelku dan
menidurinya setiap malam. Aku ingin menyurupi dan menikahinya lewat novelku. Karena
pada kenyataannya, Dante akan muntah atau bisa jadi anfal ketika melihat tokoh
yang begitu sempurna adalah seorang pembantu tonggos yang memberinya sarapan
setiap pagi.
***
Asih Prasetiyawati, lahir di Tegal, 14 Juni 1990. Menulis cerpen dan puisi. Cerpennya “Cahaya Beranda” pernah dimuat di Buletin Pustaka Semarang. Puisinya pernah dimuat di Buletin Jejak Edisi November 2012, Antologi Puisi “127 Penyair dari Sragen Memandang Indonesia” (Dewan Kesenian Daerah Sragen, 2012), dan Mekanika Kuantum-Long Distance Relationship (GoresanPena Publishing, 2012). Tinggal di Tegal.