Oleh Sam Edy Yuswanto
Judul : The
Spirit of Succes, Jalan Meraih Mimpi
Penulis : M.L.
Nihwan Sumuranje
Penerbit
: Tinta Medina, Solo
Cetakan :
I, 2012
Tebal : xviii
+ 174 halaman
ISBN : 978-602-9211-68-9
Buku
berjudul ‘The Spirit of Succes,
Jalan Meraih Mimpi’ menyajikan jalan yang bisa kita tempuh untuk meraih
kesuksesan dalam perspektif Islam. Disajikan dengan gaya bahasa ringan, renyah
dan enak dibaca. Di buku ini, kita juga akan menemukan pendapat para ilmuwan
Barat tentang hakikat kesuksesan sesungguhnya, sekaligus memberikan
contoh-contoh nyata yang akan mendorong jiwa kita untuk melakukan hal yang sama.
Kesuksesan sejati adalah kesuksesan
memanusiakan diri sendiri sebagai manusia, kemudian memanusiakan
saudara-saudara sesama manusia yang ada di luar diri kita (hal. xviii). Puncak
kesuksesan sejati adalah ketika ‘rasa’ dan ‘pikiran’ bersedia memaksimalkan segenap
‘potensi’ dengan menjaga niat untuk tetap fokus di jalan Tuhan, seraya terus
belajar supaya bisa sejalan dengan perintah dan kehendak-Nya (hal. xiv).
Kita tidak bisa menunggu perubahan
dari luar diri kita. Segala sesuatu yang datangnya dari luar, sifatnya hanya
sebagai penunjang, cambuk, atau alat bantu. Namun, apa saja dan di mana saja
kita menemukan nilai manfaat, ambillah, karena itu adalah rejeki kita (hal. 2). Dalam bahasa A
Gym (K.H. Abdullah Gymnastiar), perubahan bisa kita lakukan dengan rumus Tiga M; Mulai dari hal terkecil, Mulai dari diri kita dan Mulai saat ini juga (hal.3).
Bila ditelisik, ternyata tidak
sedikit orang yang larut dalam sikap membanggakan karya gemilang para
pendahulunya. Mereka terjebak dalam kesombongan sejarah dan terperosok masuk ke
dalam jurang romantisme masa silam. Karakter seperti ini harus dihindari,
karena bisa mengakibatkan seseorang terlena, otak menjadi beku, pikiran kaku,
tidak mandiri, mudah gamang dan merasa frustrasi ketika warisan kekayaan atau
jabatan tidak lagi disandangnya. Imbasnya, ia akan kebingungan menatap masa
depan.
Tentunya, bangga dengan kreativitas
para pendahulu boleh-boleh saja. Namun sekadar diniatkan membaca sejarah dan
mengambil hikmah api sejarah, bukan abunya. Kemudian mencontoh jiwa militan dan
idealisme mereka. Sejarah merupakan kumpulan semangat dan konsep untuk berjuang
di masa kini dan masa mendatang. Bila kita tidak menemukan sesuatu yang
menginspirasi dari prestasi para pendahulu, itu artinya kita gagal memahami
sejarah. Budaya instan ‘langsung memiliki’ tidak baik kita pelihara. Alangkah
lebih efektif jika kita menyiapkan diri untuk menikmati proses dan menghargai
tahapan demi tahapan perjuangan (hal. 11-13).
Banyak di antara kita yang sebenarnya
sangat potensial di bidang tertentu. Namun, karena sebuah kesalahan, mentalnya
ambruk kemudian terkapar oleh vonis salah dan gagal. Potensi pun menjadi
tersumbat. Akibatnya, tidak ada sesuatu pun yang bisa disumbangkan untuk
masyarakat luas. Alih-alih berguna, malah lebih dekat dengan julukan sampah
masyarakat. Itu terjadi karena kita merasa terbelenggu oleh kesalahan.
Seolah-olah kesalahan tidak bisa diperbaiki dan tidak dapat dikreasi (hal. 28).
Tragedi terhebat dalam hidup ini adalah
‘kematian’ di dalam diri seseorang yang sesungguhnya masih hidup. Musuh
terbesar orang sukses adalah rasa malas. Makan banyak, tidur sepuasnya,
minta-minta melulu, ini adalah ciri-ciri utama orang malas. Anehnya, ia selalu
menuntut fasilitas layaknya fasilitas yang didapatkan oleh pekerja keras. Jika sudah
begini, segera cari dan temukan titik sentuh yang bisa membangkitkan jiwa dari
rasa malas yang bersemayam di otak kiri dan otak kanan. ‘God Spot’ rohani harus
secepat mungkin kita dapatkan. Anggap saja kemalasan adalah tamu yang mampir
sebentar, bukan tuan rumah dalam kesadaran kita (hal. 41-42).
Banyak sekali orang yang memiliki
ide brilian, namun tak kunjung sanggup mengemukakan idenya, apalagi
mengejewantahkannya dalam level tindakan. Mereka merasa takut saat mendengar
sejumlah nama yang dianggap menyeramkan. Tanpa potensi kreatif, peluang
keunggulan kita pun akan terhenti sampai di sini (hal. 77). Keberanian, selain
diperoleh dari kekuatan iman, juga diperoleh melalui kekuatan fisik. Islam
menganjurkan penganutnya untuk memanah, berenang dan menunggang kuda. Memanah
menghasilkan ketepatan, berenang menghasilkan fisik kuat dan bagus, sedangkan
menunggang kuda menghasilkan keberanian (hal. 79).
Ketika kita bimbang ke mana kaki
akan dilangkahkan, atau ketika kita berada dalam pusaran aktivitas rutin, selayaknya
kita berhenti sejenak untuk diam. Diam bukan berarti tidak ada aktivitas.
Memang, badan tidak bergerak dan lidah tidak berucap, tetapi dunia ide terus
bergulir dan memutari masa lalu, berdialektika dengan kekinian, meraba dan
merekayasa apa yang bisa kita kerjakan pada masa yang akan datang. Aktivitas
diam sangat membantu kita untuk lebih mengenali diri sendiri. Seberapa besar
kita mengenali diri, kira-kira sebesar itulah kebahagiaan dan kesuksesan yang
bisa kita capai (hal. 109).
Jalan menuju kesuksesan memang terjal
penuh lika-liku. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani dan tak gampang
menyerah untuk melewatinya. Kesuksesan hakiki adalah jika kita sukses menjalani
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat kelak.
Sam Edy Yuswanto, penikmat buku,
bermukim di Kebumen.