Cerpen
Oleh Muhammad Saleh
kavlingsepuluh.blogspot.com |
Setiap kali Ubun sakit, ia selalu
meminta Ras untuk mencarikannya obat di hutan. Obat dari alam lebih manjur
menurut Ubun. Apa-apa yang diambil dari alam itu adalah pemberian Tuhan, begitu
selalu petuahnya.
Ras
merapatkan selimut Ubun. Ia kasihan melihat perempuan tua itu menahan gigil.
Suara guntur kian liar bersahut-sahutan di luar sana. Ras melihat lewat jendela
kecil rumahnya. Langit masih tampak sangat gelap. Halilintar tampak berurat di atas sana. Daun-daun pohon
terombang-ambing oleh angin yang menampar keras. Terkadang, tempias kecil masuk
lewat jendela itu.
Ras tersenyum kecil menatap Ubun.
Perempuan yang telah merawatnya sedari kecil kini terbaring sakit. Sudah dua
hari Ubun meringkuk di atas kasurnya yang lepek dan berbau tak sedap. Katanya,
ia merasakan sakit pada perutnya.
“Biarkan Tuhan menurunkan Rahmat-Nya. Kau duduklah dulu,” serak suara Ubun menatap Ras.
Pandangan matanya sangat layu. Tubuhnya sangat lemas.
“Semoga sebentar lagi hujan akan reda.
Ras bisa segera pergi ke hutan,” tukas Ras.
Ia
masih berdiri di tepi jendela. Di pandanginya hujan yang turun menusuk bumi. Air jatuh di helai-helai daun rumbia yang menjadi atap rumah, untuk
kemudian meluncur jatuh ke bawah dan menghujam tanah, meninggalkan
lubang-lubang kecil berderet di sekeliling rumah.
Sudah beberapa kali Ubun meminta Ras
untuk pergi ke hutan. Ubun minta dicarikan obat penawar sakitnya, berupa
pucuk-pucuk tumbuhan. Namun, gadis kurus itu baru punya waktu hari ini. Tetapi,
hujan pagi ini seolah kembali menunda Ras untuk segera berangkat.
Ras akhirnya menutup daun jendela. Ia
tak ingin berlama-lama memandangi hujan, kasihan Ubun semakin kedinginan. Rumah seketika gelap dan semua benda di dalamnya hanya menjadi bayangan
samar. Ras duduk di bawah jendela, lalu
memeluk kedua lututnya. Ras memerhatikan
Ubun yang membawa selimutnya lebih tinggi menutup badannya.
“Alam punya segalanya.” Ujar Ubun lagi. “Kalau kau ingin
sesuatu pergilah kau ke hutan. Kau akan memperoleh apa yang kau inginkan,”
Ras
hanya mengangguk. Sejak kecil, Ras sudah banyak
belajar tentang alam pada Ubun. Ubun selalu mengajarinya dengan sabar. Walaupun
terkadang, Ras tak mampu mengingat semuanya.
“Apakah alam
akan mencukupi semua keperluan kita selamanya,” Ras bertanya tanpa menatap
Ubun. Selama ini, kebutuhannya tercukupi dari hutan. Namun, ia tak yakin itu
akan bertahan selamanya.
“Selama kita
menjaganya, tentu alam akan memberi semuanya. Timbal balik dari perbuatan kita.
Dari itu jangan kau biarkan tangan-tangan kotor menjamah dan merusak alam,”
Ubun memberi nasehat.
Ras tersenyum. Menjaga hutan dari tangan-tangan kotor,
ulang hatinya.
***
Hujan
sudah reda. Ras membuka pintu dan mendapati alam sama sekali
berbeda dengan sebelumnya. Langit tampak begitu cerah. Sesaput awan melenggang
melayari langit. Walaupun matahari sudah bersinar terang, hawa dingin masih
tetap terasa.
Air
menggenang dimana-mana. Ceruk-ceruk tanah penuh air. Ras melompati ceruk yang
lebih besar. Ras terus berjalan. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Daso, lelaki paruh baya
yang dianggap tetua di dusun itu. Ia menatap Ras penuh kilat. Ada kebencian
dari sinar mata itu.
“Masih hidup jua kah perempuan tua di gubukmu itu?” Daso bertanya sinis. Sudut bibirnya
terangkat.
“Ubun baik-baik saja,” jawab Ras pendek.
Ia tak terlalu berminat meladeni.Ras mempercepat gerak kakinya.
Ubun pernah bercerita pada Ras, kalau
dulu hubungan Ubun dan Daso baik-baik saja. Mereka sama-sama dianggap tetua
oleh warga dusun. Omongan mereka selalu didengar dan dituruti. Tetapi, semua
hancur saat orang-orang kota datang ke dusun itu.
Orang-orang kota datang menawarkan
kesejahteraan di dusun itu, asal mereka dibiarkan membuka hutan dan mengambil
kekayaan di dalamnya. Daso yang sudah merasa bosan hidup dalam kekurangan sangat
setuju, juga beberapa warga lain. Namun, Ubun tak setuju. Ia menentang keras.
Sehingga terjadilah perseteruan mereka hingga hari ini.
Ras semakin mempercepat langkah. Ia
merasa, Daso masih memperhatikan punggungnya.
***
Perlahan kaki Ras memasuki hutan.
Suasana teduh dan dingin langsung ia rasakan. Ras memperhatikan sekitar.
Pohon-pohon besar mengelilinginya. Semak belukar dan pepohonan kecil membentang
di hadapan. Ras menyibak belukar dengan kaki panjangnya. Dapat ia dengar suara
kicauan burung-burung yang bermain di atas-atas ranting pohon. Suara-suara
teriakan monyet dan binatang lain menyatu dalam gendang telinga. Gemeretak
ranting yang ia injak menyertai langkah Ras.
Tak lama memasuki hutan, Ras tersenyum.
Ia tak perlu masuk lebih jauh lagi ke dalam hutan. Tumbuhan yang ia cari kini
sudah ada di hadapannya. Ras memetik beberapa pucuk daun Singkong, lalu
memasukkan dalam kantong kain yang telah ia bawa dari rumah. Ras masih ingat
ucapan Ubun, ambillah apa yang kau ingin
dari hutan, tapi cukup seperlunya saja.
Begitu keluar hutan dan memasuki jalan
setapak, Ras sangat terkejut. Daso dan dua lelaki yang sangat dikenal Ras,
Marji dan Dama menghalangi langkahnya. Ras menghentikan langkah. Ia mundur
beberapa depa.
“Kenapa kalian menghalangi jalanku?”
ketus Ras bertanya. Perasaannya mulai tak enak. Matanya silih berganti menatap
ketiga lelaki itu. Sikapnya waspada. Daso dan dua lelaki itu malah terkekeh.
“Kau
tak perlu takut. Kami tak akan mengerjaimu,” ujar Daso.
“Kalau begitu biarkan aku lewat,”
Ras geram. Ketiganya sama sekali tak
mengindahkan kata-kata Ras. Ras menerobos. Namun, Marji dan Dama dengan cepat
menangkap tangan Ras. Ras berontak. Pegangan keduanya semakin kuat.
“Kau tak akan bisa lari,” Marji dan Dama
memegang Ras kuat-kuat.
“Lepaskan tanganku!” teriak Ras.
“Aku tak akan menyakitimu, jika kau mau
menuruti perintahku,” Daso mendekatkan wajahnya ke depan Ras. Ras berpaling
membuang muka.
“Apa yang kalian inginkan?” Ras coba
melunak. Ia tak mungkin bisa melawan. Ras kalah jumlah dan kekuatan. Daso
tersenyum. Ia tahu, Ras bukanlah gadis yang mudah menurut, jadi ia harus
sedikit berlaku kasar. Kerjasama dari Ras lah yang ia inginkan saat ini.
“Aku ingin kau membujuk Ubun untuk
menjual hutan kita ini pada orang-orang kota itu. Hidup kita akan makmur jika
kau berhasil membujuknya,”
Ras
diam.
“Lihatlah
apa yang sudah ku miliki,”
Daso memperlihatkan dua kebat uang
seratus ribuan dari dalam sakunya. Mata Ras membesar. Seumur-umur Ras belum
pernah melihat uang sebanyak itu. Daso tersenyum penuh arti.
“Dengan uang ini, kita bisa membeli apa
kita inginkan. Kita bisa memperoleh apa-apa yang dipunyai orang kota itu. Kita
akan kaya...,”
Ras bernapas berat. Menjual hutan sama saja dengan
menjual alam, geram hatinya. Ia rasakan cengkeraman Marji dan Dama
sudah mengendor. Ia punya kesempatan.
“Sampai kapanpun aku tak akan
menurutimu,” teriak Ras sambil menginjak kaki Marji dan Dama. Keduanya mengaduh
kesakitan. Ras tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menyentak tangannya. Berhasil.
Ras langsung mengambil langkah seribu.
“Dasar gadis keras kepala,” geram Daso
mengepal tangan. Wajahnya mengeras menahan marah. Daso tak berniat mengejar
Ras. Ia biarkan gadis itu terus menjauh meninggalkannya.
“Bagaimana?” tanya Marji masih kesakitan.
“Kita harus melaksanakan rencana kita
malam ini,” sahut Daso. Ia sudah punya rencana yang matang untuk membuat Ubun
dan Ras bertekuk lutut menuruti perintahnya.
***
“Daso tadi menemuiku di hutan,” pelan
Ras bercerita pada Ubun, sambil menumbuk pucuk daun di dalam cubik untuk dibuat obat. Mata Ubun
seketika membulat, ia menatap gadis kurus itu dari atas kasurnya.
“Apa yang dia inginkan darimu?”
Ras tak langsung menyahut. Ia melihat
ada kekwatiran di mata Ubun. Sangat jelas terlihat dari sorot mata tua itu. Tak
lama, Ras selesai menumbuk. Ia mendekat pada Ubun. Menyingkap baju kurung
lusuhnya, dan mengoleskan ramuan yang sudah dibuatnya tadi di atas perut Ubun
yang sudah keriput.
“Apa yang Daso inginkan darimu?” kejar
Ubun, ia ingin segera mendapat jawaban .
“Daso ingin aku membujukmu agar setuju
dengan rencananya,”
“Kau setuju?”
Ras menggeleng. Matanya memandang keluar
jendela. “Alam dan hutan ini jauh lebih berharga dari apa yang ia tawarkan,”
Ada desah lega dari tarikan napas Ubun.
Ubun mencoba bangkit. Tertatih. Ras lekas membantunya. Ras dan Ubun kini duduk
bersisian di bibir Ranjang.
“Kebanyakan orang-orang kota itu yang tak mencintai alam. Mereka itu licik, curang dan suka
menipu. Mereka datang hanya untuk memeras apa yang dikandung alam. Kemudian
pergi meninggalkan sepahnya,” keluh Ubun. “Lihatnya...mereka baru beberapa kali
ke sini, tapi sudah membuat dusun kita terberai. Sesama kita jadi saling
membenci, hanya demi rupiah yang mereka tawarkan,”
Ras
diam. Ada gelisah yang menguliti hatinya. Apakah yang ia dan Ubun lakukan sudah
benar? Sementara beberapa orang di luar sana sedang membenci mereka. Ah, Ras mencoba mencari ketenangan di
sorot mata tua itu.
***
Ras
gelisah di kasurnya. Ia membolak-balikkan badan ke kiri dan ke kanan. Ras tak
dapat tidur nyenyak. Ia rasakan ada hawa panas yang seolah mengepung bilik
tidurnya. Semakin lama semakin terasa panas. Mimpinya perlahan buyar.
Ras
membuka mata perlahan. Suara gemeritik di atas gubuknya mengusik gendang
telinga. Mata Ras seketika memicing ditusuk cahaya. Jilatan lidah api yang
menguning sudah memenuhi seluruh atap gubuknya. Ras tersentak kaget. Apakah ini
mimpi?
“Api....!
Kebakaran....”
Teriakan
Ubun di bilik sebelah meyakinkan Ras bahwa itu bukan mimpi. Ras melompat. Ia langsung menuju ke bilik Ubun.
Ubun tertatih-tatih bangkit dari kasurnya. Ras segera menyambar tubuh Ubun.
Membupuhnya, dan membawa lari keluar gubuk.
“Gubuk
kita terbakar...gubuk kita terbakar...,” jerit Ubun histeris.
Ras
membawa Ubun menjauh ke tempat aman. Ia langsung berteriak-teriak memanggil
warga dusun. Serempak semua warga keluar dan memandang ke satu arah. Api sudah
menggunung, melalap gubuk Ubun dengan liar.
Tak
ada yang bisa dilakukan lagi. Api sudah terlalu besar untuk di padamkan.
Beberapa warga hanya berusaha menjaga api agar tak merembet ke gubuk-gubuk
lain. Ubun terus menjerit-jerit histeris, melihat gubuknya ditelan lautan api.
Tak begitu lama
api mulai mengecil, dan berangsur hanya meninggalkan asap. Tak ada lagi yang
tersisa. Lenyap. Semua telah menjelma menjadi abu dan angin. Hanya tinggal air
mata, luruh dan jatuh ke bumi, kemudian hilang ditelan tanah.
Daso
mendekat dan berbisik di telinga Ubun dan Ras. “Kalian bisa membangun rumah
yang lebih bagus...,”
Ubun
dan Ras menatap dengan pandangan nanar ke arah gubuk yang hanya menyisakan
kepulan asap. Daso melangkah dengan penuh kemenangan. Sebentar lagi, desisnya.
Barabai, 19 Oktober 2012
Muhammad Saleh, lahir 03 Juni 1985 di Abung, Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Mulai menulis sejak tahun 2010, dan kini puluhan karya telah dimuat di berbagai media. Antara lain: Annida
Online,
Banjarmasin Post, Serambi Ummah, Surabaya Post, Tabloid
Cempaka,
Republika, Majalah Story, Majalah Potret (Aceh), Sabili. Penulis
juga
telah menerbitkan beberapa buah buku: Merah
di Gaza (SK
Publishing,
2010), Cerita 3 Pulau
(GMS Publishing, 2011), Sungguh, Aku
mencintaimu
karena Allah (Qultum Media, 2011), E-book Antologi 15 Cerpen
Pilihan Annida Online 2011 (Annida Online, 2011)