Puisi
Rumah Garam
rumahrumah garam berdinding bambu
berdiri dalam diam dan ragu
menatap tambak yang sepi
dan laut di kejauhan yang
menahan diri
musim ini memaksa
tambaktambak kami
kedinginan menahan gigil
sebab hujan
dan rumah garam semakin sepi
petanipetani mulai
meninggalkan
kepada siapa hendak
kuwariskan
ketika anakanak memilih
pergi ke kota
mencoba peruntungan mengais
harapan
apakah mimpi mereka ada di
sana?
Desember 2012
Pada Siang yang Panas
di siang yang panas
bunyi sirine meraung-raung
kencang seperti gonggongan anjing hutan
entah apa yang terjadi di sini
pikiranku tak sedang ada
bersamaku kini
lalu, segerombolan orang tak
beralas kaki melintas
melangkah dengan cepat di
panas aspal jalan kota
melewati baliho besar bergambar
pemimpin jumawa
: aku masih sendiri saja
sudah lama kurindukan bau
tanah yang tersiram hujan pertama
yang akan mengingatkanku
saat-saat kecil waktu di desa
2012
Pekuburan
kamboja tua yang tak lagi berbunga
rumput liar di permukaan tanah
di antara nisan tanpa nama yang murung berdiri
dan kidung doa yang berdengung sunyi
: seorang bocah terlelap seorang diri
2012
Rumah Kayu di Bawah Rumpun Bambu
hari dimulai ketika menutup
mata
ingatan-ingatan berloncatan
perjalanan panjang mesti
ditempuh dengan tergesa
dan waktu yang tersisa
tidaklah lama
rumah kayu di bawah
rumpun bambu
meniupkan ruh kehidupan pada
jiwa-jiwa mungil
mengajarkan betapa hidup
harus dijalani dengan sungguh
walau harus bersimbah darah dan peluh
sejenak masa silam memerangkap
dari kerinduan yang hendak kautangkap
seribu pintu tak juga terungkap
dan lalu rapi tersimpan di balik tingkap
kelebatan kenangan berlalu
gelisah
lalu pelan-pelan waktu akan
mencatatkan riwayat
sebuah kisah teronggok di
mata basah
dan penyesalan bahwa
perjalanan harus teramat berat
2012
Mungkin, Aku
mungkin, aku adalah serangga
yang berdiam di dalam kepala
yang seringkali menghisap
darahmu
hanya agar engkau tahu bahwa
ada aku di situ
mungkin, aku adalah pahit
kopi
yang kauhidangkan saban pagi
agar sejenak hilang musnah
kantuk di matamu
lalu bersegera membuatmu
berlari dari kejaran masa lalu
mungkin, aku adalah batu
yang kausimpan rapat di
dalam hatimu
untuk kaubukakan pintu
ketika tiba waktu
untukmu bertemu kekasihmu
mungkin, aku adalah
sebenarnya dirimu
yang tak pernah kauharapkan
itu adalah aku
2012
Baiklah
baiklah
mari kita kutuk musim ini
agar segera enyah segala
luka dalam diri
lalu seumpama anak kecil
kau akan berlari mengejar
pelangi
yang muncul setelah hujan
pergi
hingga sampai di pinggir
kali
yang airnya sejernih kaca
hingga kau dapat bercermin
di sana
dan melihat ada taman bunga
di atas kepalamu
atau binar-binar kebahagiaan
di kedua matamu
mungkin kau akan segera
tersentak
lalu tergagap sadar :
bahwa hidup terlalu indah
untuk dilewatkan dengan sedu
sedan
baiklah,
mungkin pula kau akan segera
menutup jendela
agar angin senja yang begitu lembab
dan berbau asin garam
tak segera memenuhi paru-parumu
yang akan membuatmu muntah
dan alergi untuk menonton televisi
yang dengannya akan membuatmu berpikir
sendiri
“apa perlunya orang-orang
suci itu ada di bumi?”
2012
Bukan Senja Penghabisan
jika kali ini aku tak
mengajakmu pergi
mungkin lain waktu itu akan
terjadi
perjalanan melewati suka
senang
dan juga gelisah muram,
kadang
lalu di lain waktu itu
mungkin akan kita temukan
sajak-sajak
yang tertulis di prasasti
batu untukmu
sebagai pemberi kabar
ataupun penanda jejak
ingatlah hari di mana senja
tak lagi memusuhimu
bukanlah terakhir matahari
itu tenggelam
sebab segala sesuatu adalah
waktu
untuk kita menghapuskan
dendam
2012
Yudhie Yarcho, tinggal di Jepara;
syair, rock n roll, rokok. Antologi: Bintang Kata, Pekalongan Dalam Kebangkitan Sastra, Sebatang Rusuk
Untukmu, Dongeng Tentang Batu dan Dari Sragen Memandang Indonesia. Tulisannya dimuat media Jambi
Independent, Kompas.com. Berkegiatan di Komunitas
Samudera, Aliansi Penyair Timur dan Kethek Ogleng Baca Puisi. Blog: monotext.wordpress.com