Puisi
Irisan
kenangan yang kau lukakan padaku
Hanya
goresan huruf tanpa kata-kata yang meleburkan pertemuan
Sebagaimana
metafor di helai rambutmu jatuh di hidungku
Aroma
pandan seharum melati dan kamboja
:puisi tumbuh di hati dan
rahimmu
“Sayang
ada orang lain di luar pagar” ujarmu
Sambil
menyiram bonsai yang kau sebut rindu
Reranting
dan daun menyembul dari matamu
Yang kau
lihat di matanya yang biru
Mata
cermin yang tergores lukaku
dari lukanya
“Sepasang
merpati tak bernama menjalin kasih tanpa alasan,”
Ucapku
lalu menunjuk jantungmu dalam sangkar
“Sayap
merpati dicipta untuk berkepak
lalu
terbang jauh di angkasa,” desakmu,
“hasrat
dan harapan lebur seketika.”
Sudahlah,
sampai sudah waktumu
“Pecahkan
cermin-cermin itu dan pergilah,”
aku
duduk sambil menyulam sisa darah pada luka menganga.
Yogyakarta,
2012
Seruncing Mata Bambu
kita
tidak sedang menggali kali pada tanah bebatuan
seperti
tangan-tangan orang di kaki gunung batu putih
tidak
lain sekedar memahat nama-nama kenangan
di dada
pemeluk matahari tanpa keluh tanpa letih
bukankah
kisah-kisah senantiasa resah dan basah
pada bibir
kita sendiri setiap kali bercakap-cakap
di bawah
rimbun bambu yang menyimpan rindu
untuk
angin, hujan dan doa-doa pemilik rembulan
kita
selalu mempersoalkan angin gunung
mengadu
lidah saat hujan di malam purnama
sampai
terbiasa saling menelanjangi perasaan
membahasakan
dingin pada ganjilnya pertemuan
Bawah
Pohon, 2012
Perihal Kebingungan Kita Pada Nasib
nun,
duduk disini kita hanya mencoba melapas kebingungan
kekacauan pikiran dan hati yang tidak kita mengerti
lalu kita akan selalu berpura memahami keadaan
sambil bicara lugas dan tegas agar tak tampak dalam kita
kekacauan pikiran dan hati yang tidak kita mengerti
lalu kita akan selalu berpura memahami keadaan
sambil bicara lugas dan tegas agar tak tampak dalam kita
sesuata yang mencemaskan,
tersenyumlah
nun,
sebentar lagi burung-burung akan berkicau dalam sangkar
sebab tak akan ada lagi tempat untuk bersarang
sebentar lagi burung-burung akan berkicau dalam sangkar
sebab tak akan ada lagi tempat untuk bersarang
nun,
cigaret + secangkir kopi setidaknya dapat mengikis
kebingungan
kita yang akut. meski di koran dan televisi
penderitaan
demi penderitaan digelar dengan kemewahan
nun,
kelak airmata akan menjelma embun
di
punggung petani, buruh, nelayan dan sebangsanya
sebab
kita hanya punya air mata dan doa
laa
haula wa laa quawwata illa billahil’aliyyil ‘adziim
Blandongan,
Agustus 2012
Sebelum Kita Berlayar
lalu
kita akan berlayar mengarungi laut kecil
di kelopak mata-Nya, dengan perahu daun nangka
warna coklat di hari senja. bismillah mendanyung.
angin, gelombang dan hujan
di kelopak mata-Nya, dengan perahu daun nangka
warna coklat di hari senja. bismillah mendanyung.
angin, gelombang dan hujan
hanya
isyarat kepergian yang datang.
dan senja-senja yang lain; masih perawan untuk hangat
sebantar lagi surup menebar aroma
bersama tabuhan beduk jantungmu
yang bergelombang ke alir darahku yang adzan
dan senja-senja yang lain; masih perawan untuk hangat
sebantar lagi surup menebar aroma
bersama tabuhan beduk jantungmu
yang bergelombang ke alir darahku yang adzan
sempat
kau bertanya luka di lenganmu
“akulah nyeri!” jawabku
lalu kau
tanya perihal setetes darah
“akulah merah dan amis!”
jawabku
dan kau
tanya muasal merah dan amis
“akulah itu mengalir di aorta nadimu!” jawabku
“akulah itu mengalir di aorta nadimu!” jawabku
mari
kita berlayar
“ke
neraka-Nya?” tanyamu
Yogyakarta,
2012
Di Bawah Pohon Mulberry
Misal aku adalah engkau, Pyramus!
Tumbuh cinta di taman mawar kan kunamai Thisbe
Biar aku bukan prajurit perang dalam mitologi yunani
Ke kota Ratu Semiramis aku akan mencari kuburmu
Dengan seluruh zat mawar kan kuharumi jejak dinding rumahmu
Dinding pertemuan roh cintamu-Thisbe yang api
Misal aku hidup di Babilon, Phiramus
Getar cinta yang angkuh dalam jiwa kelakianku
Akan kusiram bara amarah leluhurmu dengan air mawar tamanku
Biar yang menyala hanyalah api cintamu-Thisbe
Sebab cinta adalah rute keabadian hidup-matimu
Dan cintaku menemukan peta sejarah ke pusara cintamu
Misal cintaku ditakdirkan suci dalam Kitab-Nya, Phiramus!
Akan kusempurnakan kelana cintamu di antarara perang kekuasaan
Dengan air cinta yang subur tanpa dinding keangkuhan
Dan akan aku bongkar dinding pembatas cintamu
Tempat kau saling membisikkan bahasa cinta
Misal aku api dan aku adalah penyihir, Phiramus!
Akan kuantar kau ke makam Ninus, di bawah pohon Mulberry
Tempat buah manis bibir Thisbe jatuh di bawahnya
Biar kau menemui cintamu tepat waktu
Biar tak ada selendang tercabik-cabik taring srigala
Biar tak ada cerita darah muncrat dari jantungmu
Misal aku Malaikat-mu, Phiramus!
Tak akan kubiarkan kau meratapi kesangsiangmu
Ratapan cinta yang angkuh “Akulah yang telah membunuhmu, Thisbe!”
Sambil kau ciumi selendang sampai di bawah pohon Mulberry
dan tak harus ada sesalmu,“kau juga harus meminum darahku, Thisbe!”
Misal aku adalah serigala, Phiramus!
Demi cintamu, aku tak akan memangsa di malam perjanjian itu
Biar cintamu-Thisbe tak harus lari ke dalam persembunyian
Biar ia tak memeluk dan mencium bibirmu yang telah dingin
Misal aku adalah pedangmu, Phiramus!
Aku tak akan memasuki jantung kematianmu
Biar tak ada yang tersedu karena ketajamanku
Blandongan, 2012
Selendang
Sulaiman, Lahir di Pajhagungan, Gapura, Sumenep.
Pembimbing Sanggar Conglet PP. Al-In'Am Sumenep. Kini, Mahasiswa Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Puisinya dimuat diberbagai Media Massa: Seputar
Indonesia, Suara Karya, Merapi, Joglosemar, Minggu Pagi, Metro Riau, Harian Lahat, Majalah Frasa, Majalah Sagang,. Dan beberapa antologi Puisi bersama: Sang
Penyair (Perpust Press 2007), Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga 2010), 50 Penyair Membaca Jogja; Suluk Mataram
(MP 2011), Bima Membara (HMP 2012), Presidin Untuk Presidenku (SANY
Publishing 2012), Jembatan Sejadah (SP
2012), Satu
Kata Istimewa (Ombak 2012), Igau Danau (Sanggar Imaji, 2012), Dialog Tanian Lanjhang (Majelis Sastra
Madura, 2012), Antologi Bulan Sembilan
(FLP Kudus 2012) dan Pahlawanku Lukisan Ibu
Pertiwi (Wangsa Indira Jaya,
2013).
Bergiat di Lesehan Sastra Kutub, Sanggar
Nuun Yogyakarta, Sanggar Jepit
Yogyakarta dan Masyarakat Bawah Pohon Yogyakarta.