Puisi
Khalwat
Usai membacakannya pada hujan aku membatin kembali mantra-mantra yang usang. Selembar daun jambu luruh di hatiku oleh kelelawar, “Sebiji pun tak pantas buatmu.”
Mega telah kembali berpancar dari layar malam menuju bawah mimbar. Aku selagi menang memerangi dingin dan angin, kunyalakan suluh. Merangkai gayuh hati. lafaz talbiyah berhamburan bersama peluh. Hanya peluh.
Lalu selembar daun jambu tiba-tiba jatuh di depan sajadahku, “Beribu biji pun tak berharga bagi kelelawar.”
Semenjak itu aku menekuri hakikat khalwatku sembari menakari debu di gumpal kalbu yang deru.
Elegi Surau
Senja telah jatuh dari kelopak bocah.
Tawa renyah yang rekat sekali dengan halaman dan sawah.
Layang-layang selesai melayang.
Mendarat pada tiang malam yang sunyi.
Padahal berpendar bulan.
Namun bocah-bocah entah kemana
menyembunyikan sarung dan peci.
Atau malah sembunyi dalam lemari.
Seorang guru ngaji mencari-cari.
Ia tak menemukan apa-apa kecuali tasbih dan mushaf
di bangku sudut musola yang penuh debu.
Dirapalkan dan dihafalkannya.
Disimak sepi yang laun menjelma mimpi.
Rengek Bocah
Seorang bocah merengek meminta ikan dan kolamnya.
Seorang ayah pun tak kuasa. Senantiasa membanting tulang.
Sehabis kuasa, dibelinya lautan dan isinya.
Diberikan kepada anak yang tak bisa berenang itu
hingga tenggelam di dalamnya bersama karang.
Namun sang ayah tak pernah merasa bahwa telah membunuhnya.
Lagu Ajal
Lagu itu begitu keras mencengkeramku
mencengkeram dengan kukunya yang meneteskan sisa usia.
aku mendekam dengan selimut yang berbalut do’a
terhimpit dalam sepi yang menyempitkan nyali
terus memutar dan memugar titian tasbih
tercacar di relungku lalu berkabung dalam zikir sharih.
Ya tuhan, lirih-lirih lagu itu menindih
namun begitu keras mencengkeram
dengan kukunya yang setajam ketakutanku
pada-Mu.
Irama Qur’an
Kunikmati alunan musik qur’an,
puisi yang belum cukup kupaham
Tapi iramanya telah bersuruk dalam
kedalaman hatiku yang dangkal.
Tasbih Yang Berkunang
Lama kurapalkan nama-nama indah dan mantra
yang katanya bisa mendekatkan diri pada-Nya
di serambi mushola yang hanya diam
selain suara hati mencoba bertahan dari sepi
dan beberapa kantuk yang meneriaki.
“Hei, tasbihmu hilang dicuri kunang-kunang”
Terompet Akhir Tahun
Seorang bocah memilah terompet
Yang berjajaran di trotoar.
Beraneka warna dan bentuk.
Warna ungu ingin dikasihkan kepada ayahnya
yang entah di mana.
Warna biru pada ibunya
yang ia kenal dari bosnya.
Sedangkan warna-warni pada gurunya.
Tiba-tiba ia murung.
Karung di punggung cuma cukup buat makan.
Lalu sang pedagang memberinya terompet warna merah
berbentuk garuda cuma-cuma. Ia girang.
Matanya nyalang di langit
Terbang menuruni bukit.
Sambil tetap membawa karung
Ia terus meniupkan terompet itu ke hamparan peta
di mana para telinga hanya menempel buat
terompet-terompet tahun baru
milik bocah-bocah bersama ayah dan ibunya.
Khalwat
Usai membacakannya pada hujan aku membatin kembali mantra-mantra yang usang. Selembar daun jambu luruh di hatiku oleh kelelawar, “Sebiji pun tak pantas buatmu.”
Mega telah kembali berpancar dari layar malam menuju bawah mimbar. Aku selagi menang memerangi dingin dan angin, kunyalakan suluh. Merangkai gayuh hati. lafaz talbiyah berhamburan bersama peluh. Hanya peluh.
Lalu selembar daun jambu tiba-tiba jatuh di depan sajadahku, “Beribu biji pun tak berharga bagi kelelawar.”
Semenjak itu aku menekuri hakikat khalwatku sembari menakari debu di gumpal kalbu yang deru.
Semarang, 7 November 2012
Senja telah jatuh dari kelopak bocah.
Tawa renyah yang rekat sekali dengan halaman dan sawah.
Layang-layang selesai melayang.
Mendarat pada tiang malam yang sunyi.
Padahal berpendar bulan.
Namun bocah-bocah entah kemana
menyembunyikan sarung dan peci.
Atau malah sembunyi dalam lemari.
Seorang guru ngaji mencari-cari.
Ia tak menemukan apa-apa kecuali tasbih dan mushaf
di bangku sudut musola yang penuh debu.
Dirapalkan dan dihafalkannya.
Disimak sepi yang laun menjelma mimpi.
Demak–Semarang, November 2012
Rengek Bocah
Seorang bocah merengek meminta ikan dan kolamnya.
Seorang ayah pun tak kuasa. Senantiasa membanting tulang.
Sehabis kuasa, dibelinya lautan dan isinya.
Diberikan kepada anak yang tak bisa berenang itu
hingga tenggelam di dalamnya bersama karang.
Namun sang ayah tak pernah merasa bahwa telah membunuhnya.
Semarang, 12 November 2012
Lagu itu begitu keras mencengkeramku
mencengkeram dengan kukunya yang meneteskan sisa usia.
aku mendekam dengan selimut yang berbalut do’a
terhimpit dalam sepi yang menyempitkan nyali
terus memutar dan memugar titian tasbih
tercacar di relungku lalu berkabung dalam zikir sharih.
Ya tuhan, lirih-lirih lagu itu menindih
namun begitu keras mencengkeram
dengan kukunya yang setajam ketakutanku
pada-Mu.
Semarang, 8 November 2012
Kunikmati alunan musik qur’an,
puisi yang belum cukup kupaham
Tapi iramanya telah bersuruk dalam
kedalaman hatiku yang dangkal.
Semarang, November 2012
Tasbih Yang Berkunang
Lama kurapalkan nama-nama indah dan mantra
yang katanya bisa mendekatkan diri pada-Nya
di serambi mushola yang hanya diam
selain suara hati mencoba bertahan dari sepi
dan beberapa kantuk yang meneriaki.
“Hei, tasbihmu hilang dicuri kunang-kunang”
Semarang, November 2012
Seorang bocah memilah terompet
Yang berjajaran di trotoar.
Beraneka warna dan bentuk.
Warna ungu ingin dikasihkan kepada ayahnya
yang entah di mana.
Warna biru pada ibunya
yang ia kenal dari bosnya.
Sedangkan warna-warni pada gurunya.
Tiba-tiba ia murung.
Karung di punggung cuma cukup buat makan.
Lalu sang pedagang memberinya terompet warna merah
berbentuk garuda cuma-cuma. Ia girang.
Matanya nyalang di langit
Terbang menuruni bukit.
Sambil tetap membawa karung
Ia terus meniupkan terompet itu ke hamparan peta
di mana para telinga hanya menempel buat
terompet-terompet tahun baru
milik bocah-bocah bersama ayah dan ibunya.
Semarang, 25 Desember 2012
Muhammad Faizun,
bergiat di Soeket Teki, SKM Amanat IAIN Walisongo, FLP Ngaliyan Semarang, dan menjadi ketua LFC (Library Fans Club) di perpustakaan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo. Tinggal sebagai merbot di mushola Al-Ikhsan, Purwoyoso Ngaliyan.