Puisi
Ketika
Waktu,
Bersama waktu
kuhirup angin malam
Ada rasa dan
makna mengigil
Air di atas
atap membasahi cakrawala
memikat
sunyi dan bintang-bintang
pada dingin
senja di samudera dada
Hitungan
hujan
meronai
singgah kunang
di ranjau
ranjang
Sisa air
minum kuraba
tergapai
sibakan
bambu yang kering
Cahaya
jembatan
dalam
gubahan puisi
tak selesai
aku baca
Siang
merana dalam sungai sepi
meluka pada
waktu
dalam dekap
awan malam
Suram
terasa
bagi pagi
yang cerah
di pucuk
bulan
Bagi
mentari
yang
mencurap aura-aura
di tepi
lorong kosong
Malam pada
bulan
terusap
kunang
di kelopak cahaya
lampu
Ketika
matahari
berdetak di
jantung
sarang
angin mengupas mata
Sarang waktu
singgah di garis terdepan malam itu.
sekelupas
daun menguning
Yogyakarta,
2012-2013
Embun
Embun lebih
baik jadi kenang
daripada
jadi matahari
dalam jiwa jiwa
Luka yang
menimbun airmata
derai puisi
tertata rapi di rak waktu
kematian
tetap mahal dalam linang,
Kapan kapan
adalah kapan kapan
yang tak
berwaktu
ia kosong
dalam kekosongan
Gelap
resah,
detak susah
semua satu
bermuara pada rasa
Resah pada
setiap rasa
susah terus
bergerimis
di ladang
kemesraan
Sesekali
waktu
tergerai
ombak siang
singa
menganga dalam lubang kecil
keberlanjutan
senja yang ramai
tak terbaca
reroncean kering
pada bulan
lima belas
singgah di
perbatasan waktu
Diam yang
berwaktu
pada kata
yang beku
adalah semu
membiru
Reroncean
kering
pada matamu
adalah
senja, katamu
Kini yang
terlihat
cuma jiwa
yang hancur
hingga
sungai kering dalam diriku
Sungguh
menderaslah
hujan janji
pada matamu
yang biru
Aku
bernafas
karena kau
sudah teraliri air cinta
yang sudah
berwaktu-waktu
Mungkinkah
aku dapat bertahan
aku cuma
diam dalam di kediaman yang jauh
Dan kau
bersinar di malam ini
tapi
mungkinkah aku?
yang ada
dalam jurang matahari
Aku tetap
berdiri di tepi sana
menunggu
malam yang kedua
agar puisi
ini menjadi cahaya,
Pancaran
itu, katamu
pada detak
otak yang bisu
melahirkan
kata-kata yang lain
Pada sebuah
ketika
orang-orang
ramai mengambilnya
hanya untuk
kertas yang belum terisi
Pagi yang
lain
belum
kusapu dalam mimpi
mungkin
rasa sehabis makan?
Air itu
mengalir lagi
pada detak
rasa yang basah
di sampah
kusam
Hingga
mawar malumalu
tersenyum
pada buah api
yang
membara
Akhirnya
adaku
melengkung
pada haluan sungai
yang sedang
dingin dan mati
Yogyakarta, 2012
Aku
Ingin jadi Lampu
Aku
ingin jadi lampu
Di
tepian jalan
Menerangi
surau dedaun
Walau
hujan turun tetap diam dalam cahaya
Ia
menyapa dalam diam
Menegur
dalam hening
Berzikir
dalam sunyi
Kau
diciptakan manusia
Dipasang
untuk satu tujuan
Menyapa
berubah
pada masa
Komunitas
Rudal, 2013
Matroni
Muserang,
lahir di Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Alumni al-Karimiyyah dan Al-In’An,
Aktif menulis di banyak media baik lokal maupun nasional. Buku antologi puisi
bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010), “Madzhab Kutub”
(2010), Antologi Puisi
Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan
Kesenian Jatim, 2010). Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011), Menyirat
Cinta Haqiqi (temu sastrawan Nusantara Melayu Raya (NUMERA, Malaysia,
2012), Rinai Rindu untuk Kasihmu Muhammad (2012), Satu Kata Istimewa
(2012), Sinopsis Pertemuan (2012), dan Flows Into The Sink,
Into The Gutter (2012, dua bahasa, Ingris-Indonesia), Sauk Seloko
(PPN VI Jambi 2012). Kini menjadi mahasiswa
filsafat Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.