Puisi
Diorama Pada Ritmis Hujan Malam
Tampaknya
langit malam ini akan munurunkan hujan. Melihat kita menjual belikan hati kita
satu sama lain. Pada etalase bantar sungai, kita melukis diorama lampu-lampu
dengan air hujan. Kau mulai terusik oleh dingin ini, yang sebelumnya akan ku
bakar dengan lukisan api di jantungku. Akan tetapi aku telah lupa karena ritmis
hujan malam ini menerjemahkan puisimu tentang kerinduan. Aku hanya mensyukuri
melihat matamu yang berbinar membaca puisi-puisi lama kita.
Kita
melanjutkan lukisan kita yang belum sempurna. Melukis awan, hujan, sungai dan
lampu. Awan-awan tak menyukai percakapan puisi-puisi kita, atau ketika kita
berbicara lewat diorama malam ini. Hujan pun membasahi baju-baju kita: akan
kita basahi dengan cinta. Kita melupakan perjanjian tadi siang tentang
percintaan di malam ini. Dan sungai, mengingatkan kita tentang kelupaan kita
mengairi garba hidup kita masing-masing. Lalu, air hujan kita tuangkan di
kanvas untuk melukis lampu-lampu di bantar sungai.
Diorama
malam yang kita ciptakan belumlah sempurna. Namun pastinya kerinduan akan
melekat di bibirku, ketika kita menyempurnakan diorama ini. Bibirku akan kering
bila nikotin-nikotin tak terhisapnya. Kaulah nikotin yang selalu memberi candu.
Aku tak mau menyudahi malam ini tanpa kau mengobati kecanduanku. Dan kita mulai
melukis diorama kedua bibir di tiap sudut atasnya.
Sebenarnya
aku tak mau menyudahi diorama malam ini. Karena aku ingin menikmati ritmis
hujan malam ini bersamamu. Di bantar sungai yang diterangi lampu-lampu. Akan
tetapi, malam tak pernah abadi menemani waku-waktu kita di sini. Dan hujan
telah reda menghujani kekeringan rindu pada kita masing-masing. Baju-baju kita
telah basah seperti sungai itu. Maka kita harus memeluk diorama malam ini
dengan kehangatan cinta kita.
Muharram
1434 H, Habib Arafat
Lalat Hinggap Di Bendera
Berpuluh
bulu dipintal pada darah mengalir
Beratus
masa mereka berbaur satu,
Pada
bendera satu.
Sesaat
setelahnya, ada lalat hinggap di bendera.
Dan
jatuh di atas tanah yang becek berlendir.
Muharram
1434 H, Habib Arafat
Benar Dan Salah
Lucunya
kita ini
-Benar
itu salah, salah itu benar-
Tuhan
saling kita rebutkan, dengan mencipta keributan
Tuhan
sana kita salahkan, Tuhan sini kita benarkan
Sungguh
melucu kita ini
-Salah
itu benar, benar itu salah-
Tuhan
kita ajak ke pelbagai penjuru mata angin
Sedang
Tuhan selalu dimana-mana
Kita
melucu lagi
-Benar
sama dengan salah-
Kita berkampanye menggandeng Tuhan
Kita berkampanye menggandeng Tuhan
Setelah
menang kita titipkan tuhan di tempat peribadatan masing-masing.
Atau
kita memang tolol sekali, ketololan kita anggap kelucuan kita.
Tuhan
terlalu sibuk daripada kampanye-kampanye kita.
Lantas
kenapa Dia selalu kita ajak ke berbagai arah.
Untuk
menyalahkan Tuhan lainnya demi kampanye-kampanye kita.
Dan
memang benar-benar sangat tolol sekali kita-kita ini.
Kita
pinjam kursi Tuhan dan mengajak Tuhan
Demi
mendapatkan kursi kenegaraan atau kursi lainnya.
Lalu
kursi-kursi Tuhan kita rongsokkan.
Memang
kita ini, benar-benar salah itu salah-salah benar.
Dzulhijjah
1433 H, Habib Arafat
Hujan
Bila Malam telah menyampirkan hujan.
Peluh yang akan selalu bernaung pada dada kita, masing-masing.
Kita akan saling berkejaran dengan hujan,
Tak akan lagi mengering.
Seperti Bumi Noah, yang bergelanyut air mata
Bila Malam telah menyampirkan hujan.
Peluh yang akan selalu bernaung pada dada kita, masing-masing.
Kita akan saling berkejaran dengan hujan,
Tak akan lagi mengering.
Seperti Bumi Noah, yang bergelanyut air mata
Dzulhijjah 1433 H, Habib Arafat
Arafat Abdul Hadi Choliel (Arafat AHC), lahir di Demak, 15
Dzulhijjah 1414 dan sekarang tinggal di Ngaliyan Semarang. Menulis puisi,
cerpen, tajuk, artikel, essay, dan lainnya. Untuk menyapanya, bisa ke Facebook:
Arafat AHC dan bisa mampir
ke blognya: Arafat AHC dan Serat Gusti. Atau bisa menghubungi cr7.rafa@yahoo.co.id dan 085640790588,
087833743942, 089605024633. Puisinya termuat diantologi, “Selayang Pesan
Penghambaan”(Pustaka Nusantara, Grobogan-2012), “Ayat-ayat Ramadlan” (Alif
Gumilang Publishing,Yogyakarta-2012), “Dari Sragen Memandang Indonesia” (DKDS,
Sragen-2012). Puisinya termuat di beberapa media lokal: Rumah Diksi, El-Insyaet,
dll, juga tersebar pada acara di Kudus, Semarang, Pati, Demak, Sragen, dll.
Penulis tergabung pada komunitas Sastra LAH Kudus, yang saat ini mati suri
karena ditinggal anggota-anggotanya ke berbagai penjuru Indonesia.