Oleh
Ahmad Suhendra
andi-newsonline.blogspot.com |
The Fund for Peace
menempatkan Indonesia pada peringkat 63 dalam indeks negara-negara gagal 2012.
Hal itu berkaitan
dengan meningkatnya pelanggaran dan
melemahnya penegakkan HAM yang berakibat lunturnya kontrak sosial.
Masyarakat
Indonesia yang plural baik dari segi agama, etnis, suku dan ras dihadapkan pada
kondisi disintegrasi kemanusiaan. Itu terbukti dari serangkaian kasus yang
terjadi di Indonesia. Terlepas dari kompleksitas yang melatarbelakangi konflik yang
terjadi di berbagai daerah, sebenarnya itu semua terkait kesukuan yang bersifat
klasik. Masyarakat yang bertikai lebih mengedapankan ego-etnisisme dibanding “Persatuan
Indonesia” yang sudah termakdum dalam Pancasila.
Konflik
sebetulnya tidak selaras dengan karakter bangsa Indonesia. Karena,
sebenarnya, setiap masyarakat adat memiliki prinsip-prinsip toleransi tinggi. Masyarakat Lampung misalnya memiliki
prinsip sosial yang inklusif, antara lain prinsip sakai
sambaian, pi’il pasengikhi, nemui nyimah dan sebagainya. Prinsip-prinsip itu sebetulnya mengajarkan untuk dapat merawat hubungan sosial
yang baik.
Selain
itu, beberapa budaya masyarakat di Indonesia kental dengan budaya keislaman. Di
dalam tradisi Islam, tindakan yang membawa kemudharatan (keterpurukan/kerugian) sangat ditentang keras. Apalagi tindakan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain.
Menurut
Haryatmoko (2012), “batas toleransi suatu kelompok sosial terlihat pada saat
kebaharuan atau apa uang asing mulai mengancam keberadaan kelompok.”
Nilai-nilai toleransi kesukuan yang sudah terbangun sekian lama pun ikut
ternodai dengan adanya konflik sosial.
Persaudaraan
dalam Islam
Ajaran
Islam yang termakdum dalam al-Qur’an dan hadist
melarang umatnya terpecah belah dan melarang
untuk saling bertikai satu sama lain. Al-Qur’an memberikan ultimatum soal itu dalam surat al-Hujurat: 10, “Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Ayat
di atas menjelaskan bahwa sesama umat Islam itu tidak hanya berarti bersaudara
karena satu turunan, tetapi
juga karena satu ikatan keyakinan. Apabila terjadi konflik, semestinya
diselesaikan secara cepat. Hal ini untuk mencegah konflik yang berkepanjangan
dan lebih luas.
Diperlukan
juga kesadaran solidaritas persaudaraan antar warga di suatu daerah. Karena Nabi
pernah bersabda, “antara satu orang muslim dengan orang muslim lainnya
ibarat satu badan.” Apabila salah satu anggota badan ada yang sakit, maka
anggota yang lain ikut merasakannya.
Hadist di atas menunjukkan begitu kuatnya ikatan persaudaraan yang
dibentuk oleh Nabi pada saat itu. Kesalehan sosial berupa ikatan persaudaraan mendapat
penekanan yang sangat signifikan dalam konteks kemasyarakatan. Kesalehan sosial
itu perlu dibentuk dengan kesadaran sosial berbasis religius-keimanan.
Persaudaraan
Kebangsaan
Islam
memandang aspek kehidupan bermasyarakat harus dirawat dengan utuh dan kokoh.
Nabi Muhammad saw. sudah memberikan contoh dalam membentuk tatanan masyarakat
madani (civil society). Beliau memberikan satu kunci untuk membentuk itu, yaitu menguatkan persaudaraan (ukhuwah).
Sebelum
Nabi datang ke Madinah (Yatsrib), di sana terdapat dua suku yang bertikai, yakni suku Aus dan Khazraj. Kedua suku itu saling menghancurkan, saling membunuh dan
saling berperang selama hampir 120 tahun.
Persengketaan
itu baru dapat terselesaikan ketika Nabi hijrah ke Yatsrib dengan
menitikberatkan pada aspek persaudaraan (ukhuwah) yang memberikan
kemaslahahtan bersama.
Saat
itu masyarakat Madinah sangat plural terdiri atas berbagai
suku dan agama. Negara yang
dibentuk atas masyarakat yang memiliki
konsep nilai yang berbeda dan beragam. Tapi Nabi dapat mempersatukan persepsi
mereka dalam kesepakatan perjanjian Madinah.
Kesepakatan
yang dibuat dapat mengakomodir kepentingan masyarakat yang plural. Dengan
mengedepankan etika berkonsolidasi, maka perbedaan yang ada melebur menjadi
persatuan yang harmonis. Karena tidak terjadi berat sebelah pada kelompok atau
suku tertentu. Nabi dalam hal ini mengedepankan persaudaraan kebangsaan untuk
menyatukan semua elemen masyaraka di Madinah.
Penguatan
basis persaudaraan sesama umat Islam itu penting. Tetapi persaudaraan (ukhuwah)
berbasis kebangsaan yang berasaskan “Bhineka Tunggal Ika” itu juga penting.
Konflik
sosial yang terjadi di beberapa daerah, menjadi tanggungjawab bersama. Belajar
dari kasus konflik Madinah di atas, untuk membentuk masyarakat madani (civil
society) di Indonesia, perlu adanya penguatan persaudaraan berbasis kebangsaan. Persaudaraan berbasis kebangsaan ini dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang plural dan
kompleks.
Oleh Ahmad Suhendra,
peneliti Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga