Oleh Khoirul Anwar
Judul
buku :
Pisowanan Alit 1, Nuswantara Negeri Keramat
Penulis :
Ki Herman Sinung Janutama
Penerbit :
LKiS Yogyakarta
Tahun :
Cetakan 1, 2012 (Edisi Khusus Komunitas)
Tebal :
xxvi + 156 halaman
ISBN :
979-25-5367-3
Ki
Herman Sinung Janutama melalui bukunya “Pisowanan Alit 1” secara sederhana dan
mendalam menyuguhkan kepada pembaca tentang Yogyakarta yang istimewa dan memang
istimewa. Ki Herman mengajak pembaca menelusuri sejarah Yogyakarta masa lalu. Sejarah
yang bisa saja kini mulai memudar oleh manusia yang tinggal di Yogyakarta.
Pisowanan alit merupakan bentuk lain dari topo pepe yang dahulu pernah dimiliki masyarakat Yogyakarta. Topo pepe jika dikaitkan dengan gaya
demokrasi sekarang ini adalah demonstrasi, unjuk rasa. Meski antara gaya
demonstrasi sekarang dengan topo pepe
jelas memiliki perbedaan sangat mendasar.
Topo pepe dilakukan oleh rakyat Yogyakarta yang memiliki uneg-uneg, aspirasi yang bisa saja
bentuknya ketidaksetujuan dengan kebijakan rajanya atau hal yang lain. Topo pepe dilakukan di alun-alun dan
bisa memakan waktu berhari-hari sesuai dengan tingkat urgensi aspirasi itu
sendiri. Orang yang melakukan topo pepe
tidak dengan teriak-teriak, melainkan diam. Karena sudah menjadi cara, maka
diamnya ini pun raja sudah tanggap dan “sinuwun” sendiri mendatangi langsung
tanpa perwakilan.
Pisowanan alit 1 yang di tulis oleh Ki Herman tak lain bentuk uneg-unegnya kepada raja. Dilakukan
dengan cara yang berbeda dengan topo pepe.
Pisowanan alitnya Ki Herman diejawantahkan
dalam bentuk tulisan. Pisowanan alitnya
ini terbagai dalam tiga pisowanan.
Pisowanan pertama. Isi dari pisowanan
ini tak lain menyusuri seluk beluk kemanusiaan Jawa, letak geografis Yogyakarta
di hamparan buana, makna “Hamengku Buwono” dalam konsep pemerintahan yang
berkaitan dengan letak geokosmologis Yogyakarta. Gelar “Hamengku Buwono”
bukanlah sekedar kebesaran yang mendongkrak kewibawaan “raja” atau sekedar
gelar “gede-gedean”.
Makna
yang terkandung di dalamnya sebenarnya menyimpan tanggung jawab yang begitu
besar dan berat. Tugas raja bukan hanya memimpin manusia saja dengan segala
keperluan, melainkan juga memimpin alam “halus”, dan alam rohani. Ketiga alam ini
harus disatukan, didamaikan demi terciptanya hayuning bawono. Di sisi lain, hamengku
buwono juga berkaitan dengan letak geografis Yogyakarta yang berada di
ujung lempeng Eurasia. Keberadaan letak geografis ini jauh sebelumnya telah
tersimbolkan dalam jajanan telur merah yang biasa tersedia dalam gelar
sekatenan.
Pisowanan kedua. Yang isinya, membaca “simbol-simbol” keraton. Planologi
atau tata letak Kraton Yogyakarta yang terletak di tengah sumbu imajiner. Area
Kraton Yogyakarta konon dahulu luasnya mencapai 14.000 meter persegi, namun
kini tinggal 1000 meter persegi. Batas Utara ialah tugu Golong
Gilig (Tugu Yogya), batas Selatan adalah Panggung Krapyak. Sisi Barat
dibatasi sungai Winongo, sementara di Timur ada sungai Code.
Panggung
Krapyak yang berada di sebelah selatan Keraton Yogya merupakan simbol
“perburuan”. Krapyak tak lain adalah jiwa muda manusia yang hanyut dalam
perburuan kamukten kaduniaan. Ke utara
lagi, jalan D.I Panjaitan, tumbuh pohon asem di kiri jalan yang bermakna kasampurnan (asam berasal dari bahasa
Sanskerta, yaitu kamal). Orang hidup
harus menuju kasampurnan diri, golek
galehe kangkung.
Memang
sepintas, orang yang melihat bangunan, ornamen yang membentang dari Timur ke Barat,
Selatan ke Utara tak lain hanya sebatas bangunan atau hiasan ruang kota. Namun,
di balik pendirian bangunan, lambing-lambang yang ada, sebetulnya diperhitungkan
dengan matang. Perhitungan itu tidak sekedar keindahan, tetapi do’a dan harapan
bagi tlatah Yogyakarta.
Pisowanan ketiga. Dalam pisowanan
ini membahas tentang kebangsawanan dan kepemimpinan. Raja selalu bernegasi
menguasai. Sedangkan mengusai selalu cenderung otoriter atau menempatkan yang
dikuasai dalam lingkup hegemoni. Rakyat hanya sebagai penyokong kehidupan sang
penguasa. Namun, berbeda dengan konsep kepemimpinan Yogyakarta. Kepemimpinan,
sebagaimana yang tertera dalam bagian buku ini, tujuannya bukan menguasai.
Sebagaimana kata “Hamengku” yang lebih cenderung sebagai “pengasuh” dengan
segenap jiwa, raga, pikiran dan kerohanian untuk menciptakan rasa nyaman
manusia yang dipangku.
Tentunya,
konsep kebangsawanan raja-raja di Yogyakarta berbeda dengan aristokrasi. Kebangsawanannya
lebih dekat dengan istilah noble.
Kebangsawanan noble mempunyai sesanti
atau sumpah setia untuk memakmurkan rakyat yang berada dalam area kekuasaan
mereka. Sumpah setia ini lazim disebut sebagai noblesse oblige.
Buku
ini ditulis dengan gaya “matur”
(menyampaikan sesuatu) dari kalangan alit
(rakyat jelata) kepada sinuwun
(junjungannya). Menghayati tulisan-tulisan yang tersaji dalam buku ini, pembaca
akan menemukan semacam kekhawatiran eksistensi Yogyakarta yang meliputi makna
manusianya, konsep tata ruangnya, dan kepemimpinannya.
Ki Herman
perlu menyajikan uraian-uraian yang bisa membangkitkan rasa percaya diri
“manusia Jawa” yang dinilai tak kalah adiluhungnya untuk menghadapi
ketidakmungkinan di masa mendatang.
Akhirnya,
pisowanan alit menjadi tradisi dialog
antara pemimpin dengan yang dipimpin. Dialog menjadi kunci keberhasilan dalam
menjalani kehidupan di tanah yang satu. Dalam dialog tidak ada yang merasa
dikuasai dan menguasai. Yang ada hanyalah tata cara dan sopan santun untuk
memperjelas siapa yang akan melaksanakan “keluh kesah” tersebut.
Khoirul Anwar, penikmat budaya, tinggal
di Yogyakarta