Oleh Eko Wahyudi
Profesi guru (pendidik) pada kurun waktu belakangan menjadi sorotan
publik, baik media maupun masyarakat pada umumnya. Terlebih ketika
digulirkannya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Fokus
utama yang menjadi pembicaraan adalah munculnya kebijakan sertifikasi bagi
setiap pendidik dengan berbagai persoalannya. Setidaknya ada empat hal yang
berkaitan dengan proses sertifikasi yaitu guru yang bersertifikasi, tambahan
tunjangan profesi, jumlah jam mengajar, dan jumlah kebutuhan guru.
Guru yang mengantongi sertifikat pendidik adalah mereka yang sudah
diseleksi melalui beberapa tahapan. Di antaranya berkas dokumen portofolio atas
kinerja yang bersangkutan dalam periode waktu masa kerja, Pendidikan Dan
Latihan Profesi Guru (PLPG), Uji Kompetensi Awal (UKA), dan terakhir adalah Uji
Kompetensi Guru (UKG). Dari sekian tahapan tersebut diharapkan tercetak
guru-guru profesional sesuai dengan kompetensi yang diampunya. Jadi tidak dan
atau belum semua guru dinyatakan guru bersertifikat pendidik.
Bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik, berhak mendapatkan tambahan
penghasilan berupa tunjangan profesi setiap bulan senilai satu kali gaji pokok.
Fantastis kelihatannya. Bagi masyarakat yang tidak memahami secara keseluruhan
tugas pokok dan fungsi guru tentu timbul kecemburuan sosial. Mereka menuntut
keseimbangan antara jumlah penghasilan dengan peningkatan kualitas (hasil)
pembelajaran. Wajar dan memang seharusnya begitu.
Kebijakan pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) pun mengalami
penyesuaian sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan. Misalnya penambahan
jumlah jam mengajar menjadi 24 jam per minggu, Uji Kompetensi Guru (UKG), dan “ancaman”
sanksi bagi guru yang tidak mampu mengikuti segala penyesuaian dan peningkatan
profesionalnya.
Jumlah jam mengajar (tatap muka) yang harus ditempuh guru sekarang
adalah 24 jam atau setara empat jam tatap muka perhari. Publik belum memahami
bahwa tugas pokok guru di luar jam tatap muka jauh lebih banyak, misalnya
menyelesaikan tugas administratif seperti merencanakan pelaksanaan
pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis nilai, meremidi dan memberi pengayaan
materi. Beban tugas lain jika guru disampiri tugas tambahan seperti Kepala
Sekolah, Wakil Kepala sekolah, urusan bidang tertentu, dan tugas-tugas yang
melebihi beban kerja guru itu sendiri.
Dari sekian banyak beban kerja guru tersebut tidak dimungkiri akan
mengganggu tugas-tugas pokoknya. Waktu yang tersedia tidak sebanding dengan
hasil yang diharapkan.
Setelah beberapa periode dilaksanakan proses sertifikasi guru,
belakangan timbul beberapa persolan berkait dengan kebijakan penyesuaian jam
mengajar. Jumlah jam mengajar guru ternyata tidak sebanding dengan jumlah guru
yang ada. Bagi mereka yang tidak mendapatkan kecukupan jam mengajar diharuskan
mencari tambahan jam mengajar atau alih tempat tugas ke sekolah lain. Kebijakan
tersebut berakibat menggeser peran guru yang belum bersertifikat pendidik.
Sehingga ada sebagian guru yang harus mengampu mata pelajaran tidak sesuai
dengan kualifikasi pendidikannya. Hal ini berarti sudah menyimpang dari konsep
profesional.
Sikap profesional memiliki empat katagori, yaitu kemampuan
pedagogik, kemampuan sosial, berkepribadian baik, dan kemampuan profesional itu
sendiri. Kemampuan sosial dan kepribadian bersumber dari pribadi guru yang
bersangkutan, sementara kemampuan pedagogik dan profesional diperoleh dari
lembaga pendidikan dan pelatihan.
Sebagai akibat tidak sebandingnya jumlah guru dan jumlah jam mengajar
yang dibutuhkan maka sikap profesional itu diproses hanya dalam jangka waktu
minimal, yaitu selama proses PLPG. Solusi dengan menambah jumlah rombongan
belajar dan memperkecil daya tampung siswa dalam satu rombongan belajar belum
mengakomodasi seluruh guru yang ada. Di sisi lain masih banyak alumni dan mahasiswa
calon guru yang antri untuk mendapatkan kesempatan menunjukkan
keprofesionalannya.
Untuk mengurai permasalahan tersebut, mungkinkah Pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru berupa mengelompokkan beban kerja guru sesuai dengan kompetensi
yang dimiliki. Yaitu guru dikembalikan kepada tugas pokoknya; mengelola
pembelajaran, ditambah tenaga pengelola administrasi pendidikan, dan tenaga
yang mengelola pembinaan potensi siswa.
Eko Wahyudi, S.Pd.
Guru SMP Negeri 1 Karangsambung Kebumen Jawa
Tengah